Jakarta 01 Februari 2024
Oleh Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH[1]
Indonesia merupakan negara maritim terbesar kedua di dunia dengan luas total perairan 6,4 juta kilometer persegi dan terdiri dari 17.504 pulau. Didominasi oleh perairan, Indonesia dihadapkan dengan sejumlah ancaman keamanan laut. Sedikitnya ada delapan bentuk ancaman faktual dan berpotensi terjadi di perairan Indonesia.
Kepala Bakamla RI, Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan dalam diskusi daring bertema "Penguatan Sistem Keamanan Laut di Indonesia", ancaman tersebut berupa pelanggaran wilayah, perompakan bersenjata, kecelakaan, kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime), penangkapan ikan secara illegal, pencemaran, terorisme, dan invasi.
Aan mengungkapkan, dari rentetan ancaman itu, yang paling kerap terjadi adalah penangkapan ikan secara ilegal, seperti terjadi di perairan Natuna Utara dan dilakukan oleh kapal-kapal asing berbendera Vietnam.
"Ancaman paling berbahaya yaitu masalah trans organized crime seperti penyelundupan, perbudakan, narkoba, komoditas minerba. Ini merupakan ancaman yang perlu kita tindak lanjuti," kata Aan, Jumat (5/6)[2].
Mengalir dari pernyataan Kepala Bakamla, Laksdya Aan Kurnia bahwa di laut ada delapan macam ancaman factual yang berpotensi terjadi di perairan Indonesia. Kedelapan anncaman itu adalah pelanggaran wilayah, perompakan bersenjata, kecelakaan, kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime), penangkapan ikan secara illegal, pencemaran, terorisme, dan invasi.
ANCAMAN KEAMANAN MARITIM PADA DASARNYA ADALAH ANCAMAN PELANGGARAN HUKUM DILAUT.
1. Pelanggaran wilayah itu melanggar UU 43/2008 tentang Wilayah Negara. 2. Perompakan bersenjata itu melanggar UU 34/2008 tentang TNI. 3. Kecelakaan dilaut itu melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran. 4. Kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime) itu melanggar UU 6/2011 tentang Keimigrasian. 5. Penangkapan ikan secara Ilegal itu melanggar UU 45/2009 tentang Perikanan. 6. Pencemaran Laut itu melanggar UU 17/2008 ttg Pelayaran. 7. Terorisme itu melanggar UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme. 8. Invasi itu melanggar UU 34/2004 ttg TNI.
Sangat jelas bahwa delapan macam ancaman factual yang berpotensi terjadi di perairan Indonesia itu pada dasarnya adalah Pelanggaran terhadap Undang-undang atau pelanggaran hukum. Dengan demikian tindak lanjutnya adalah harus melaksanaan Penegakan hukum. Di Indonesia pelaksanaan penegakan hukum diatur dan berpedoman pada UU 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Pasal 7 KUHAP mengatur tentang kewenangan Penyidik dalam melaksanakan penegakan hukum yaitu :
Pasal 7 KUHAP
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima-laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka ;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Selanjutnya siapa saja yang berhak mendapat status penyidik diatur pada pasal 6 KUHAP yaitu :
Pasal 6 KUHAP(1) Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Sangat jelas bahwa berstatus sebagai Penyidik adalah pejabat Polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. Jelas pula bahwa pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) wewenangnya diberikan oleh Undang undang.
Lalu ada pertanyaan, kewenangan PPNS diberikan oleh Undang-undang yang mana ? Jawabannya dapat dibaca pada pasal 7 ayat 2 KUHAP yaitu :
Pasal 7 KUHAP
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Jadi sangat jelas bahwa kewenangan PPNS diberikan oleh masing-masing Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya.
Pelanggaran hukum dilaut itu hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal yang melakukan pelayaran. Demikian pula pelanggaran hukum dilaut termasuk yang delapan menurut Kepala Bakamla itu hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal yang berlayar.
Hanya kapal-kapal yang berlayar itulah yang dapat melakukan :
1. Pelanggaran wilayah itu melanggar UU 43/2008 tentang Wilayah Negara.
2. Perompakan bersenjata itu melanggar UU 34/2008 tentang TNI.
3. Kecelakaan dilaut itu melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran.
4. Kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime) itu melanggar UU 6/2011 tentang Keimigrasian.
5. Penangkapan ikan secara Ilegal itu melanggar UU 45/2009 tentang Perikanan.
6. Pencemaran Laut itu melanggar UU 17/2008 ttg Pelayaran.
7. Terorisme itu melanggar UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
8. Invasi itu melanggar UU 34/2004 ttg TNI.
Dengan perkataan lain yang menjadi subyek hukum peraturan perundangan di Laut dilaut adalah kapal-kapal yang berlayar. Aturan yang mengatur tata tertib pelayaran itu adalah UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran mengatur tentang Penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Jadi penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran adalah : 1. Polri, 2. Penyidik lainnya yaitu TNI AL (baca penjelasan pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran) 3. Pejabat PPNS dilingkungan instansi yang tanggung jawabnya dibidang Pelayaran.
Instansi yang tanggung jawabnya di bidang Pelayaran adalah Direktorat Jendreal Perhubungan laut. Dengan demikian Pejabat PPNS tertentu Direktorat Jendral Perhubungan laut (Dirjen Hubla) diberi wewenang khusus sebagai penyidik.
Sahbandar dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) adalah PPNS Dirjen Hubla. Dengan demkian otomatis Sahbandar dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) adalah Penyidik Tindak Pidana UU 17/2008 tentang Pelayaran sebagaimana diatur oleh Pasal 283 ayat (1) UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 283 ayat (1) UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran.
Lingkup Kewenangan Sahbandar dan KPLP sebagai PPNS diberikan oleh Pasal 283 ayat 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 283 ayat (2).
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait dengan tindak pidana pelayaran;
h. mengambil sidik jari;
i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang pelayaran;
m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
n. mengadakan penghentian penyidikan; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
PEMBENTUKAN SEA AND COAST GUARD.
Pembentukan Sea and Coast Guard ditemukan pada paragraph 14 Penjelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai tersebut merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai.
Mengalir dari penjelasan UU 17/2008 tentang Pelayaran dinyatakan bahwa Pejaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut dan Perkuatan Kesatuan Penjaga laut dan Pantai.
Mengingat Bakamla saat ini dianggap sebagai reinkarnasi dari Bakorkamla, maka pembentukan Pejaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dapat dilakukan dengan menggabungkan KPLP dan Bakamla.
Penggabungan itu dapat dilakukan dengan membuat Peraturan Pemerintah pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) berdasarkan pasal 281 UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 281 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
KEWENANGAN PEJAGA LAUT DAN PANTAI (SEA AND COAST GUARD). Kewenangan Pejaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) diatur pada pasal 278 ayat 1 daUU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 278 ayat (1) UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:
a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan d. melakukan penyidikan.
Jadi sangat jelas bahwa Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) berwenang melakukan Penyidikan sebagaimana diatur pada huruf d.
Status Pejaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) diatur pada pasal 278 ayat 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 278 ayat (2) UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Jadi sangat jelas bahwa Pejaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dalam melakukan Penyidikan berstatus sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil Direktorat Jendral Perhubungan Laut (Pejabat PPNS Ditjen Hubla) untuk melakukan Penyidikan tindak Pidana Pelayaran
PEJABAT PPNS DIRJEN HUBLA SEBAGAI KOORDINATOR PENEGAKAN HUKUM DILAUT.
Dalam kapasitas sebagai Pejabat PPNS Ditjen Hubla, Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) ditetapkan sebagai KOORDINATOR PENEGAKAN HUKUM DILAUT sebagai mana yang diatur oleh pasal 277 ayat (2) UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 277 ayat (2) UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) Penjaga Laut dan Pantaimelaksanakan koordinasi untuk:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut; b. menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu; c. kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan d. memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara terpadu.
KESIMPULAN.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Ancaman Keamanan Maritim pada dasarnya adalah Ancaman Pelanggaran Hukum dilaut yang diatasi dengan melakukan Penegakan Hukum dilaut.
2. KPLP dan PLP (Sea and Coast Guard) memiliki status yang sama yaitu Pejabat PPNS tindak Pidana UU 17/2008 tentang Pelayaran dan ditetapkan sebagai KOORDINATOR Penegakan Hukum dilaut, yang berada dilingkungan instansi yang tanggung jawabnya dibidang Pelayaran.
3. Bakamla dibentuk berdasarkan UU 32/2014 tentang Kelautan yang berada dilingkungan instansi yang tanggung jawabnya dibidang Kelautan dan Perikanan, sehingga tidak akan mungkin melakukan penegakan hukum pidana Pelayaran.
4. Selama PLP (Sea and Coast Guard) belum terbentuk, pelaksanaan tugas PLP (Sea anda Coast Guard) dapat dilaksanakan sepenuhnya oleh KPLP karena keduanya memiliki status yang sama yaitu Pejabat PPNS tindak Pidana UU 17/2008 tentang Pelayaran yang berada dilingkungan instansi yang tanggung jawabnya dibidang Pelayaran.
5. Pembentukan Pejaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) dapat dilakukan dengan menggabungkan KPLP dan Bakamla dengan membuat Peraturan Pemerintah pembentukan Penjaga Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) berdasarkan pasal 281 UU 17/2008 tentang Pelayaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar