MENCERMATI HASRAT LIBIDO KPK UNTUK MENJADI LEMBAGA FULLY SUPER BODY
Jakarta 19 Februari 2024
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH[1]
Sejak terjadinya kasus TIPIKOR Kepala Basarnas, terlihat jelas bahwa KPK berupaya untuk menjadikan dirinya Lembaga Super Body yang dapat berbuat apa saja. Untuk mewujudkan impiannya itu turut serta pula para akademisi. Salah satunya bapak Gandjar Laksmana Bonaprapta yang merupakan Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia.
Sehubungan dengan kedudukannya, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, termasuk yang dilakukan secara koneksitas. Karenanya konsep koneksitas harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan.
Hal ini disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Gugum Ridho Putra (Pemohon) pada sidang lanjutan uji materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Kamis (25/1/2024) di Ruang Sidang Pleno MK. Sidang kelima terhadap Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
“Dengan berbagai kekhususan yang dimiliki KPK, tidak berlebihan apabila KPK menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang ditemukannya dan/atau dilaporkan kepadanya, sepanjang memenuhi kriteria perkara tindak pidana korupsi sesuai kewenangan KPK yang diatur di dalam undang-undang. Pada dasarnya, meski mempunyai kedudukan yang khusus, Pimpinan KPK memiliki kedudukan yang sama dengan pimpinan Polri dan Kejaksaan sepanjang menjalankan tugas pemberantasan korupsi. Oleh karenanya, segala peraturan perundang-undangan pemberantasan korupsi juga berlaku bagi KPK sepanjang tidak diatur lain,” jelas Gandjar.[2]
Oleh karena itu, Pemohon dalam petitumnya meminta MK menyatakan UU KPK dan KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat. Antara lain yaitu frasa kata “mengkoordinasikan dan mengendalikan” pada Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. (*)[3]
Untuk itulah bersama ini disampaikan tanggapan terhadap pernyataan yang disampaikan oleh Gandjar Laksmana Bonaprapta selaku Ahli Hukum Pidana dari Universitas Indonesia yang dihadirkan Gugum Ridho Putra.
1. Pernyataan pertama :
“Sehubungan dengan kedudukannya, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, termasuk yang dilakukan secara koneksitas”.
Tanggapan pertama :
Dalam pernyataan ini jelas bahwa ada beberapa subjek hukum yang diatur dalam Undang-undang. Sependapat dengan beliau bahwa KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.
Sistim peradilan Indonesia diatur pada pasal Pasal 24 ayat (2) UUD 45 yang selengkapnya berbunyi :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan PERADILAN UMUM, lingkungan peradilan agama, lingkungan PERADILAN MILITER, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi
Selanjutnya diperkuat oleh Pasal 18 UU No 48 / 2009 ttg KEKUASAAN KEHAKIMAN yang materi selengkapnya berbunyi :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Jadi sangat jelas bahwa menurut UUD 45 Kekuasaan Kehakiman itu dilaksanakan oleh a. Peradilan Umum, b. Peradilan Agama, c. Peradilan MIliter, d. Peradilan Tata Usaha Negara dan e. Mahkaman Konstitusi.
Itulah sebabnya Peradilan Umum dan Peradilan Militer itu mutlak terpisah. artinya kedua badan peradilan itu memiliki kekuasaan yang tidak bisa saling mengganggu.
Lingkungan berlakunya Peradilan Militer diatur pada Pasal 5 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER mengatur bahwa :
(1) Peradilan militer merupakan pelaksana kekuasaan kehakiman di lingkungan Angkatan Bersenjata untuk menegakkan hukum dan keadilan dengan memperhatikan kepentingan penyelenggaraan pertahanan keamanan negara.
Jadi, Peradilan Militer berada di lingkungan TNI.
Selanjutnya Kewenangan Peradilan Militer diatur pada Pasal 9 ayat (1) UU 31/1997 ttg PERADILAN MILITER mengatur bahwa :
Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer berwenang:
1. Mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah:
a. Prajurit;
Jadi sangat jelas bahwa menurut UUD 45 subjek hukum dari Peradilan di Indonesia terbagi atas subyek hukum orang yang berstatus militer dan subjek hukum orang yang berstatus non militer atau sipil.
Yang jadi pertanyaannya adalah, KPK berwenang menangani sendiri semua tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh subjek hukum yang mana ? Apakah subyek hukum orang yang berstatus militer dan subjek hukum orang yang berstatus non militer atau sipil ?
Semua orang tahu bahwa KPK itu dilahirkan oleh UU 30/2002 tentang KPK. Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK mengatur bahwa :
(1) Pengadilan TINDAK PIDANA KORUPSI berada di LINGKUNGAN PERADILAN UMUM.
Jadi sangat jelas bahwa PENGADILAN TINDAK PIDANA KORUPSI (TIPIKOR) yang ditangan KPK HANYA DILINGKUNGAN PERADILAN UMUM SAJA. Artinya KPK hanya menangani perkara TIPIKOR oleh orang yang berstatus non militer atau sipil saja.
Lalu bagaimana bila terjadi suatu tindak pidana yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang berstatus militer dan orang yang berstatus non militer atau sipil.
Untuk mengadili TIPIKOR yang dilakukan secara bersama-sama oleh orang yang berstatus militer dan orang yang berstatus non militer atau sipil dibentuk Peradilan Koneksitas.
Peradilan Koneksitas dibentuk apabila terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Jadi sangat jelas bahwa Peradilan Koneksitas itu berada DILUAR PERADILAN UMUM, sehingga berada DILUAR JANGKAUAN KPK. Artinya KPK tidak berwenang menangani TIPIKOR yang dilaksanakan pada Peradilan Koneksitas.
2. Pernyataan kedua :
“Karenanya konsep koneksitas harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu dan bukan dipisahkan apalagi diserahkan atau dilepaskan”.
Tanggapan kedua :
Pada dasarnya menurut UUD 45 bahwa Peradilan militer dan Peradilan Umum itu mutlak terpisah. Akan tetapi penanganan perkara TIPIKOR harus secara utuh dan tidak boleh tarpisah. Agar supaya penanganan perkara TIPIKOR terlaksana secara utuh dan tidak terpisah itulah maka dibentuk Peradilan Koneksitas. Jadi Konsep Peradilan Koneksitas pada dasarnya memang agar penangan perkara secara utuh. Bukan “harus diterjemahkan sebagai penanganan perkara secara utuh atau satu penanganan perkara secara utuh” . Tanpa diterjemahkan pun pembentukan pengadilan Koneksitas tujuannya agar adanya satu penanganan perkara secara utuh.
Dalam peradilan Koneksitas tidak ada pemisahan. Kalau terjadi pemisahan maka judulnya akan berobah menjadi Peradilan militer dan Peradilan Umum.
KPK mutlak harus menyerahkan atau melepaskan perkara TIPIKOR kepada Jaksa Agung bila perkara TIPIKOR itu diadili di Peradilan Koneksitas. Alasannya sangat sederhana, bahwa Peradilan Koneksitas berada diluar Peradilan Umum sehingga berada diluar kewenangan KPK.
Ketika terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer, maka Jaksa Agung yang berwenang untuk mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Hal itu diatur pada Pasal 39 UU 31/1999 tentang TIPIKOR yang materi selengkapnya berbunyi :
Jaksa Agung mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk pada Peradilan Umum dan Peradilan Militer.
Selain itu, hal ini disebabkan pula karena kewenangan Jaksa Agung ini sejalan dengan Asas Dominus Litis dan Asas Oportunitas yang hanya dimiliki oleh Jaksa, serta prinsip Single Prosecution System (sistem penuntutan tunggal) yang menempatkan Jaksa Agung sebagai Penuntut Umum Tertinggi merupakan best practices sekaligus standar yang berlaku dalam praktik penuntutan secara internasional.
Itulah sebabnya jaksa selalu ada baik itu dipengadilan militer maupun di pengadilan umum.
3. Pernyataan ketiga :
“Ketentuan Pasal 42 UU KPK dimaknai KPK RI wajib mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP”.
Tanggapan ketiga :
Ketentuan Pasal 42 UU KPK tidak wajib dimaknai bahwa KPK RI mengkoordinasikan dan mengendalikan penanganan perkara tindak pidana korupsi koneksitas sesuai Ketentuan Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, dan Pasal 94 KUHAP. Alasannya juga sangat sederhana yaitu karena Peradilan Koneksitas berada diluar kewenangan KPK. Pelaksanan pasal ini justru akan bertentangan dengan Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK sekali gus bertentangan dengan pasal Pasal 24 ayat (2) UUD 45. Apabila suatu perkara TIPIKOR diadili di Pengadilan Koneksitas, maka KPK wajib menyerahkan perkaranya kepada Jaksa Agung.
4. Pernyataan keempat.
“Ada usulan untuk membentuk subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK”
Tanggapan keempat.
Tidak ada urgensi dan landasan hukum untuk membentuk subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK. Pembentukan subbidang penanganan korupsi koneksitas dalam struktur organisasi KPK justru bertentangan dengan Pasal 54 ayat (1) UU 30/2002 ttg KPK. Disamping itu bertentangan pula dengan kompetensi abolut Sistim Peradilan dalam UUD 45, KUHAP dan UU 31/1997 tentang Peradilan Militer. Laksanakan saja Pasal 26 UU KPK karena saat ini sudah sejalan dengan Pasal 28 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kesimpulan.
Sangat terlihat hasrat libido KPK untuk menjadi kan dirinya lembaga fully super body. Dalam rangka memenuhi Hasrat libidonya KPK tidak segan segan memanfaatkan para akademisi. Sangat disayangkan pula para akademisi begitu mudahnya ikut dalam pusaran ambisi kekuasaan KPK.
Semoga untaian tulisan ini dapat bermanfaat bagi para hakim MK dalam memutus Perkara Nomor 87/PUUXX/2023 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan Wakil Ketua MK Saldi Isra dengan didampingi tujuh hakim konstitusi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar