Jakarta 02 Februari 2024
Oleh Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH[1]
Sekarang ini pemerintah dan DPR dan Pemerintah sedang gencar-gencarnya ingin menyatukan para penegak Hukum dilaut berada dalam Komando satu instansi. Bahkan adapula instansi yang sangat bernafsu untuk meyatukan para penegak hukum dibawa komandonya. Berbagai macam cara digunakan untuk mewujudkan impiannya itu.
Hal itu berawal dari pernyataan Kepala Bakamla RI, Laksamana Madya TNI Aan Kurnia mengatakan dalam diskusi daring bertema "Penguatan Sistem Keamanan Laut di Indonesia", ancaman tersebut berupa pelanggaran wilayah, perompakan bersenjata, kecelakaan, kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime), penangkapan ikan secara illegal, pencemaran, terorisme, dan invasi.Aan mengungkapkan, dari rentetan ancaman itu, yang paling kerap terjadi adalah penangkapan ikan secara ilegal, seperti terjadi di perairan Natuna Utara dan dilakukan oleh kapal-kapal asing berbendera Vietnam.
"Ancaman paling berbahaya yaitu masalah trans organized crime seperti penyelundupan, perbudakan, narkoba, komoditas minerba. Ini merupakan ancaman yang perlu kita tindak lanjuti," kata Aan, Jumat (5/6)[2].
Mengalir dari pernyataan Kepala Bakamla, Laksdya Aan Kurnia bahwa di laut ada delapan macam ancaman factual yang berpotensi terjadi di perairan Indonesia. Kedelapan anncaman itu adalah pelanggaran wilayah, perompakan bersenjata, kecelakaan, kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime), penangkapan ikan secara illegal, pencemaran, terorisme, dan invasi.
ANCAMAN KEAMANAN MARITIM PADA DASARNYA ADALAH ANCAMAN PELANGGARAN HUKUM DILAUT.
1. Pelanggaran wilayah itu melanggar UU 43/2008 tentang Wilayah Negara.
2. Perompakan bersenjata itu melanggar UU 34/2008 tentang TNI.
3. Kecelakaan dilaut itu melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran.
4. Kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime) itu melanggar UU 6/2011 tentang Keimigrasian.
5. Penangkapan ikan secara Ilegal itu melanggar UU 45/2009 tentang Perikanan.
6. Pencemaran Laut itu melanggar UU 17/2008 ttg Pelayaran.
7. Terorisme itu melanggar UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
8. Invasi itu melanggar UU 34/2004 ttg TNI.
Sangat jelas bahwa delapan macam ancaman factual yang berpotensi terjadi di perairan Indonesia itu pada dasarnya adalah Pelanggaran terhadap Undang-undang atau pelanggaran hukum. Dengan demikian tindak lanjutnya adalah harus melaksanaan Penegakan hukum. Di Indonesia pelaksanaan penegakan hukum diatur dan berpedoman pada UU 8/1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
KUHAP mengatur bahwa masing masing Undang-undang telah ada Penyidiknya sendiri-sendiri. Dengan demikian delapan Undang-undang minimal ada delapan penyidik.
Karena minimal ada delapan penyidik yang berbeda-beda, maka ada sekelompok orang yang ingin menyatukan para penyidik itu dibawa komando satu instansi.
Orang-orang yang berpikiran semacam itu sepertinya belum membaca UU 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan. Pasal 7 ayat 2 UU 12/2011 tentang Pembentukan Aturan Perundangan mengatur bahwa kekuatan hukum sesama Undang-undang adalah sama kuatnya. Sehingga tidak ada satu UU pun yang dapat mengatur UU yang lainnya. Sebagai konsekuensinya para penyidik pun tidak bisa disatukan dibawa satu komando seperti yang dimimpikan segelintir orang selama ini.
Itulah sebabnya memimpikan adanya satu instansi yang menjadi “komando” pelaksanaan hukum dilaut itu tidak akan pernah terwujud.
Hal itu pula yang menyebabkan bahwa delapan pelanggaran UU itu tidak mungkin diserahkan kepada penyidik salah satu instansi saja. Akan tetapi hanya bisa “DIKOORDINASIKAN” oleh salah satu penyidik dari salah satu instansi.
Subyek hukum atau pelaku dari para pelanggar hukum dilaut termasuk yang delapan menurut Kepala Bakamla itu adalah kapal-kapal yang berlayar.
Kapal-kapal yang berlayar itulah yang dapat melakukan :
1. Pelanggaran wilayah itu melanggar UU 43/2008 tentang Wilayah Negara.
2. Perompakan bersenjata itu melanggar UU 34/2008 tentang TNI.
3. Kecelakaan dilaut itu melanggar UU 17/2008 tentang Pelayaran.
4. Kejahatan terorganisasi lintas negara (transnational organized crime) itu melanggar UU 6/2011 tentang Keimigrasian.
5. Penangkapan ikan secara Ilegal itu melanggar UU 45/2009 tentang Perikanan.
6. Pencemaran Laut itu melanggar UU 17/2008 ttg Pelayaran.
7. Terorisme itu melanggar UU 15/2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
8. Invasi itu melanggar UU 34/2004 ttg TNI.
Itulah sebabnya maka ‘KOORDINATOR’ Penegakan hukum dilaut adalah instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang Pelayaran.
Instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya dibidang pelayaran adalah Kementrian Perhubungan dhi Direktorat Perhubungan Laut (Ditjen Hubla) sebagaimana yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran mengatur tentang Penyidik UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
Jadi penyidik tindak pidana UU 17/2008 tentang Pelayaran adalah : 1. Polri, 2. Penyidik lainnya yaitu TNI AL (baca penjelasan pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran) 3. Penyidik PPNS dilingkungan instansi yang tanggung jawabnya dibidang Pelayaran.
Pasal 6 KUHAP juga mengatur tentang penyidik yaitu :
Pasal 6 KUHAP(1) Penyidik adalah :
a. pejabat polisi negara Republik Indonesia; b. pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Sangat jelas bahwa menurut KUHAP yang berstatus sebagai Penyidik adalah pejabat Polri dan Pejabat Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Diatur dengan jelas bahwa pejabat pegawai negeri sipil (PPNS) wewenangnya diberikan oleh Undang undang.
Lalu ada pertanyaan, kewenangan PPNS diberikan oleh Undang-undang yang mana ? Jawabannya dapat dibaca pada pasal 7 ayat 2 KUHAP yaitu :
Pasal 7 KUHAP
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada dibawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a.
Jadi kewenangan PPNS diberikan oleh masing-masing Undang-undang yang menjadi dasar hukumnya.
Telah diketahui bahwa pelanggaran hukum dilaut itu hanya dapat dilakukan oleh kapal-kapal yang melakukan pelayaran atau dengan perkataan lain yang menjadi subyek hukum peraturan perundangan di Laut dilaut adalah kapal-kapal yang berlayar. Aturan yang mengatur pelayaran itu adalah UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Instansi yang tanggung jawabnya di bidang Pelayaran adalah kementrian Perhubungan dhi Direktorat Jendreal Perhubungan laut. Dengan demikian Pejabat PPNS tertentu Direktorat Jendral Perhubungan laut (Dirjen Hubla)yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik.
Sahbandar dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) adalah PPNS Dirjen Hubla. Dengan demkian otomatis Sahbandar dan Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) adalah Pejabat PPNS Tindak Pidana UU 17/2008 tentang Pelayaran sebagaimana diatur oleh Pasal 283 ayat (1) UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 283 ayat (1) UU 17/2008 tentang Pelayaran.
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran.
Lingkup Kewenangan Sahbandar dan KPLP sebagai PPNS diberikan oleh Pasal 283 ayat 2 UU 17/2008 tentang Pelayaran yaitu :
Pasal 283 ayat (2).
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait dengan tindak pidana pelayaran;
h. mengambil sidik jari;
i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang pelayaran;
m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
n. mengadakan penghentian penyidikan; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Sangat jelas bahwa pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran dan pasal 283 UU 17/2008 tentang Pelayaran ini tidak bisa dipisahkan dan merupakan urat nadi penegakan hukum UU 17/2008 tentang Pelayaran. Tanpa materi pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran dan pasal 283 UU 17/2008 tentang Pelayaran Kementrian Perhubungan dhi Ditjen Hubla akan menjadi seperti macan ompong.
Ada segelintir orang yang mencoba merevisi UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 32/2014 tentang Kelautan. Revisi dengan menghilangkan materi pasal 282 UU 17/2008 tentang Pelayaran lalu memasukannya kedalam UU 34/2014 tentang Kelautan. Dengan harapan bahwa Bakamla akan mendapatkan kewenangan sebagai penyidik dilaut.
Akibat yang akan terjadi :
1. Kementerian Perhubungan dhi Ditjen Hubla dhi Sahbandar akan menjadi macan ompong karena kehilangan kewenangan untuk menegakan aturan yang diatur oleh UU 17/2008 tentang Pelayaran. Akibatnya dunia pelayaran Indonesia akan rusak, yang akan berakibat naiknya harga barang dagangan, perekonomian Indonesia runtuh.
2. Dengan masuknya materi dari UU 17/2008 tentang Pelayaran masuk kedalam UU 32/2014 tentang Kelautan, maka secara otomatis pula akan berubah status PPNS menjadi pejabat PPNS dilingkungan instansi yang lingkup tanggung jawabnya dibidang Kelautan dan Perikanan (Karena UU 32/2014 tentang Kelautan berada dibawa Mentari Kelautan dan Perikanan). Jadi Bakamla tetap saja tidak bisa menjadi penyidik untuk Pelanggaran Hukum dilaut.
Kesimpulan :
1. Revisi UU 32/2014 tentang Kelautan untuk mengangkat Bakamla menjadi Penyidik dilaut itu akan sia-sia.
2. Yang paling berbahaya adalah akibat dari revisi itu akan terjadi kekacuan didunia Pelayaran Indonesia, maka perekonomian Indonesia juga akan hancur lebur. Yang akan merasakan akibatnya adalah semua rakyat Indonesia
3. Saya mencurigai bahwa orang-orang yang berniat mengadakan perobahan UU 17/2008 tentang Pelayaran dan UU 32/2014 tentang Kelautan adalah orang-orang yang sudah terbina oleh Intelijen asing untuk dengan sengaja merusak perekonomian Indonesia, termasuk menghaancurkan ciat cita presiden Jokowi, Indonesia sebagai poros maritim dunia.
Saran :
Untuk orang-orang yang masih berpikir merevisi UU 32/2014 dan UU 17/2008 tentang Pelayaran hanya untuk menjadikan Bakamla sebagai Coast Guard, segeralah berhenti melakukan pekerjaan itu. Itu pekerjaan sia-sia, dan sansat berbahaya bagi perekonomian Indonesia.
Sangat mudah untuk menjadikan Bakamla sebagai Coast Guard, yaitu bergabung dengan KPLP untuk selanjutnya merobah nama menjadi Indonesia Sea and Coast yang diatur oleh Peraturan Pemerintah berdasarkan ps 281 UU 17/2008 tentang Pelayaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar