5 September 2025

NMSS Duplikasi IMSS: Proyek Mubazir, DPR Wajib Tolak Rp 5,6 Triliun Sebelum Rakyat Marah!

 NMSS Duplikasi IMSS: Proyek Mubazir, DPR Wajib Tolak Rp 5,6 Triliun Sebelum Rakyat Marah!

Oleh: Laksda TNI Purn Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
KABAIS TNI 2011-2013

Badan Keamanan Laut (Bakamla) kembali membuat langkah kontroversial dengan mengusulkan tambahan anggaran Rp 5,6 triliun untuk membangun National Maritime Surveillance System (NMSS) di 35 titik wilayah Indonesia.
Alasannya, untuk meningkatkan pengawasan kapal dan menjaga keamanan laut.
Namun, faktanya NMSS hanyalah duplikasi IMSS milik TNI AL dan berpotensi menjadi proyek mubazir yang membakar uang rakyat di tengah situasi ekonomi sulit.

Kalau proyek ini dipaksakan, Bakamla bisa bernasib sama seperti DPR: menjadi sasaran kemarahan rakyat.

1. IMSS TNI AL Sudah Ada dan Berfungsi Optimal

Sejak 2007TNI Angkatan Laut telah membangun dan mengoperasikan Integrated Maritime Surveillance System (IMSS).
IMSS dilengkapi radar canggih, kamera, sensor, dan pusat kendali terpadu di berbagai titik strategis, termasuk Selat Malaka — jalur pelayaran internasional tersibuk di dunia.
Sistem ini lahir dari kesepakatan empat negara: Indonesia, Singapura, Malaysia, dan Thailand

IMSS berfungsi optimal sebagai alat deteksi dini terhadap ancaman maritim seperti penyelundupan, perompakan, dan kapal ilegal.
Dengan IMSS yang sudah berjalan, proyek NMSS tidak punya urgensi.

2. Bakamla Tidak Punya Taring, NMSS Jadi Mainan Mahal

Perlu masyarakat tahu: Bakamla bukan penegak hukum.
Sesuai UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, Bakamla hanya punya kewenangan memantau dan berkoordinasi, bukan menindak.
Jika NMSS dibangun, Bakamla tetap tidak bisa menangkap kapal asing ilegal, penyelundup narkoba, atau perompak tanpa melibatkan:

  • TNI AL → penegakan kedaulatan dan pertahanan negara,
  • KPLP → keselamatan pelayaran,
  • Polri → penegakan hukum pidana.

Artinya, NMSS hanya akan menjadi mainan mahal tanpa fungsi nyata, sementara Rp 5,6 triliun uang rakyat terkuras.

3. Fungsi KPLP Sudah Ada, NMSS Picu Konflik Kewenangan

Selain TNI AL, Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) di bawah Kementerian Perhubungan sudah mengoperasikan Vessel Traffic Service (VTS) dan radar di pelabuhan utama.
Tugasnya memantau pergerakan kapal, memberi peringatan dini, dan menjaga keselamatan pelayaran.

Kalau NMSS dipaksakan, akan terjadi tumpang tindih kewenangan antara TNI AL, KPLP, dan Bakamla.
Alih-alih memperkuat keamanan laut, hal ini justru menambah konflik antarinstansi dan membuat koordinasi semakin kacau.

4. DPR Wajib Tolak Anggaran Mubazir Rp 5,6 Triliun

Kondisi ekonomi sedang sulit. APBN dalam tekanan.
Di tengah situasi ini, DPR tidak boleh mengamini proyek raksasa yang tidak relevan.
Kalau DPR meloloskan anggaran NMSS, maka DPR ikut bertanggung jawab atas pemborosan uang negara.

Daripada menghamburkan Rp 5,6 triliun, dana tersebut lebih bermanfaat bila digunakan untuk:

  • Memperkuat IMSS TNI AL yang sudah terbukti efektif,
  • Menambah armada patroli gabungan TNI AL, KPLP, dan Polri,
  • Memberdayakan nelayan dan membangun pelabuhan rakyat untuk menopang ekonomi maritim.

5. Bakamla Harus Waspada, Rakyat Sedang Sensitif

Gelombang kemarahan rakyat terhadap DPR beberapa waktu lalu menjadi peringatan keras.
Publik sudah muak melihat proyek-proyek besar yang menghamburkan uang negara tanpa manfaat nyata.
Jika Bakamla memaksakan NMSS, bukan mustahil Bakamla akan menjadi sasaran kemarahan publik berikutnya.

Rakyat sekarang kritis, punya data, dan siap melawan kebijakan yang merugikan negara.

Bakamla harus paham, ini bukan soal membangun radar atau menambah pos pantau,
tetapi soal kepercayaan publik.
Dan setiap rupiah APBN sekarang dipantau rakyat dengan ketat.

Kesimpulan :

  • IMSS TNI AL sudah ada dan bekerja optimal.
  • KPLP punya radar dan sistem pemantauan sendiri.
  • NMSS hanya duplikasi, tanpa nilai tambah.
  • Bakamla tidak punya kewenangan menindak.
  • DPR wajib menolak Rp 5,6 triliun untuk proyek mubazir ini.

“Jika NMSS dipaksakan, Bakamla akan menghadapi gelombang kemarahan publik, sama seperti DPR.”
“Hentikan proyek duplikasi, perkuat IMSS, integrasikan KPLP, dan selamatkan APBN!”

 

“Rp 5,6 Triliun untuk Bakamla Hanya Pemborosan! NMSS Tumpang Tindih dengan KPLP, DPR Harus Tolak!”

“Rp 5,6 Triliun untuk Bakamla Hanya Pemborosan! NMSS Tumpang Tindih dengan KPLP, DPR Harus Tolak!”

Oleh: Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB
KABAIS TNI 2011-2013

1. Usulan Anggaran Bakamla Sangat Bermasalah

Badan Keamanan Laut (Bakamla) kembali membuat kejutan dengan mengusulkan tambahan anggaran Rp 5,6 triliunpada APBN 2026 untuk pembangunan National Maritime Surveillance System (NMSS) di 35 titik perairan Indonesia.
Alasan Bakamla sederhana: untuk memantau pergerakan kapal, terutama di perbatasan.

Namun, sebagai ahli hukum maritim, saya menilai proyek ini bukan prioritas, melainkan pemborosan. Bukan hanya karena kondisi keuangan negara sedang ditekan, tapi juga karena secara hukum dan fungsi, Bakamla tidak tepatmelaksanakan proyek ini.

2. Bakamla Hanya Bisa Memantau, Bukan Menindak

Bakamla dibentuk melalui UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan dan tugasnya jelas: patroli keamanan dan keselamatan laut.
Namun, Bakamla tidak memiliki kewenangan penegakan hukum penuh. Jika ada pelanggaran, Bakamla tetap harus menyerahkannya kepada TNI ALPolriPSDKP, atau KPLP.

Artinya, meskipun NMSS dibangun secanggih apa pun, Bakamla hanya bisa melihat, tidak bisa bertindak. Menghabiskan Rp 5,6 triliun untuk sistem pemantauan yang tidak disertai kewenangan penindakan adalah pemborosan anggaran negara.

3. Fungsi Sudah Dimiliki KPLP: Ini Duplikasi Anggaran

Perlu diingat, pemantauan pergerakan kapal bukanlah wilayah kosong.
Kementerian Perhubungan melalui Kesatuan Penjaga Laut dan Pantai (KPLP) sudah memiliki infrastruktur modern seperti Vessel Traffic Service (VTS) dan Automatic Identification System (AIS) untuk memantau kapal di seluruh perairan Indonesia.

Hal ini ditegaskan dalam:

  • Pasal 276 ayat (1) UU No. 66/2024 tentang Perubahan UU 17/2008 ttg Pelayaran

Jika Bakamla memaksakan NMSS, maka akan ada duplikasi sistem, duplikasi anggaran, dan duplikasi kewenangan.
Dalam kondisi fiskal yang ketat, ini jelas tidak bisa diterima.

4. APBN Sedang Krisis, DPR Harus Bersikap Tegas

Pemerintah saat ini sedang menjalankan kebijakan penghematan anggaran karena beban subsidi, pembiayaan IKN, dan proyek strategis nasional lainnya.
Menganggarkan Rp 5,6 triliun untuk sistem pemantauan kapal yang fungsinya sudah dimiliki Kemhub adalah bentuk pemborosan APBN.

DPR harus bersikap tegas dan menolak usulan ini. Dana sebesar itu lebih tepat digunakan untuk:

  • Meningkatkan fasilitas dan sistem KPLP yang sudah ada
  • Memperkuat patroli TNI AL dan PSDKP
  • Membenahi koordinasi antarinstansi agar tidak tumpang tindih

5. Rekomendasi: Integrasi, Bukan Duplikasi

Indonesia tidak butuh proyek mahal yang fungsinya tumpang tindih.
Solusinya adalah:

  1. Integrasikan NMSS ke KPLP di bawah Kementerian Perhubungan.
  2. Fokuskan Bakamla pada koordinasi lintas instansi, bukan membangun sistem sendiri.
  3. Optimalkan teknologi yang sudah ada seperti VTS dan AIS.
  4. Pastikan setiap rupiah anggaran digunakan efektif dan tepat sasaran.

Penutup

Keamanan laut memang vital, tetapi menghamburkan Rp 5,6 triliun untuk proyek yang tidak sesuai kewenangan dan tumpang tindih fungsi jelas tidak dapat dibenarkan.
Bakamla seharusnya fokus pada patroli dan koordinasi, bukan membangun infrastruktur mewah tanpa kejelasan manfaat.

DPR RI harus menolak proyek NMSS Bakamla. Indonesia butuh integrasi, bukan duplikasi.

 

30 Agustus 2025

“Krisis Kepercayaan Publik terhadap DPR: Implikasi Politik, Ancaman Keamanan, dan Opsi Strategi Presiden”

 “Krisis Kepercayaan Publik terhadap DPR: Implikasi Politik, Ancaman Keamanan, dan Opsi Strategi Presiden”

Pendahuluan

Situasi nasional Indonesia saat ini berada pada kondisi yang sangat dinamis dan rentan eskalasi konflik sosial-politik. Gelombang demonstrasi yang bermula di Jakarta telah meluas ke berbagai wilayah Indonesia, termasuk Makassar, NTB, Cirebon, Pekalongan, Solo, Bandung, Jambi, dan sejumlah daerah lainnya. Eskalasi aksi massa yang diwarnai pembakaran kantor DPRD dan penyerangan markas kepolisian menunjukkan adanya krisis kepercayaan publikterhadap lembaga negara, khususnya Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Polri.

DPR kini menjadi simbol kemarahan publik. Persepsi masyarakat tentang rakusnya fasilitas dan tunjangan DPR, lemahnya transparansi, serta prioritas kebijakan yang dianggap lebih mementingkan kepentingan kelompok elite dibanding kesejahteraan rakyat, memicu ledakan sosial yang sulit dikendalikan. Di sisi lain, Polri sebagai institusi penegak hukum juga turut menjadi sasaran amarah, akibat berbagai kasus kekerasan aparat dan penanganan massa yang dinilai represif.

Kondisi ini semakin kompleks karena terdapat indikasi kuat adanya penunggang isu dan potensi manuver aktor-aktor eksternal, baik dari jejaring oligarki sumber daya alam (sawit, batubara, dan migas) maupun kemungkinan infiltrasi intelijen asing. Ketika pusat perhatian pemerintah tersita untuk mengendalikan kerusuhan, ada risiko pengambilalihan konsesi strategis dan pelemahan kendali negara atas aset vital nasional.

Dalam konteks ini, Presiden berada pada posisi krusial sebagai pemegang komando tertinggi pengambilan keputusan strategis. Keputusan terhadap DPR harus bersifat tegas, terukur, dan cepat untuk meredam eskalasi nasional, memulihkan stabilitas politik, serta menjaga kedaulatan negara. Langkah-langkah taktis harus memadukan pendekatan politik, hukum, keamanan, dan komunikasi publik.

Pendahuluan ini menjadi dasar bagi analisis berikutnya, yang akan memaparkan:

  1. Peta situasi nasional dan penyebaran kerusuhan.
  2. Indikasi jaringan aktor DPR dan oligarki SDA.
  3. Potensi manuver intelijen asing dan penunggang isu.
  4. Skenario opsi strategis Presiden untuk meredam konflik, memulihkan kepercayaan publik, dan mengamankan kepentingan nasional.

I. Situasi Aktual DPR: Simbol Rakus dan Tidak Peka

Berdasarkan data lapangan dan laporan media:

  • DPR menjadi sasaran utama kebencian publik karena:
    • Kenaikan fasilitas dan tunjangan anggota DPR di tengah kesulitan ekonomi rakyat.
    • Minimnya transparansi anggaran dan akuntabilitas.
    • Kesan DPR lebih sibuk dengan kepentingan kelompoknya sendiri ketimbang kepentingan rakyat.
  • Kantor DPRD di berbagai daerah menjadi sasaran pembakaran, penyerangan, dan penjarahan:
    • Makassar, NTB, Cirebon, Pekalongan, Solo, Bandung, Jambi, dan beberapa daerah lainnya.
  • Di mata publik, DPR dan Polri kini dianggap dua simbol ketidakadilan.

II. Risiko Jika Presiden Tidak Bertindak

Jika Presiden pasif atau hanya memberi pernyataan umum, ada tiga risiko besar:

  1. Krisis Legitimasi Nasional
    • Publik akan menilai Presiden melindungi DPR → turunnya kepercayaan terhadap pemerintah pusat.
  2. Eskalasi Konflik Horizontal
    • Aksi pembakaran DPRD di daerah bisa menyebar lebih luas ke kabupaten lain.
    • Aparat keamanan akan semakin sulit mengendalikan massa.
  3. Ruang Manuver Intelijen Asing dan Oligarki SDA
    • Situasi kacau akan dimanfaatkan untuk melobi izin sawit, tambang, dan migas secara diam-diam.
    • Jika Presiden terlihat lemah, kepentingan nasional bisa disabotase.

III. Opsi Langkah Presiden terhadap DPR

Ada tiga tingkat opsi — politik, hukum, dan komunikasi publik — yang bisa dijalankan secara paralel.

A. Langkah Politik

  1. Memanggil Pimpinan DPR dan Fraksi
    • Presiden perlu memanggil ketua DPR, pimpinan fraksi, dan ketua DPRD provinsi/kabupaten untuk rapat darurat di Istana.
    • Pesan utamanya:
      • Hentikan eskalasi politik,
      • Batalkan atau tunda fasilitas DPR,
      • Komitmen untuk mendukung kebijakan pengendalian SDA.
  2. Tekan DPR untuk Transparansi
    • Instruksikan Menteri Keuangan dan BPK untuk audit anggaran DPR dan DPRD secara terbuka.
    • Publikasi hasil audit untuk memulihkan kepercayaan rakyat.
  3. Bangun Koalisi Nasional Sementara
    • Presiden dapat membentuk “Forum Bersama Stabilitas Nasional”:
      • Presiden, DPR, DPD, MPR, KPU, BIN, BAIS, TNI, dan Polri.
    • Tujuannya untuk meredam konflik elite dan memulihkan legitimasi pemerintah.

B. Langkah Hukum

  1. Audit Harta Anggota DPR dan DPRD
    • Libatkan KPK, PPATK, dan BPKP untuk menelusuri sumber kekayaan anggota DPR.
    • Jika ditemukan indikasi korupsi, proses hukum tegas tanpa pandang bulu.
  2. Evaluasi Regulasi Terkait Fasilitas DPR
    • Ajukan revisi terhadap Perpres dan Peraturan DPR yang mengatur tunjangan dan fasilitas anggota.
    • Batasi hak istimewa DPR agar selaras dengan kondisi ekonomi nasional.
  3. Perkuat UU Anti-Konflik Kepentingan
    • Dorong RUU untuk melarang anggota DPR terlibat langsung dalam bisnis sawit, tambang, dan migas.

C. Langkah Komunikasi Publik

  1. Presiden Bicara Langsung kepada Rakyat
    • Sampaikan pidato nasional yang menegaskan:
      • Presiden memihak rakyat, bukan DPR.
      • Ada komitmen audit fasilitas DPR dan konsesi SDA.
      • Akan dilakukan reformasi tata kelola legislatif.
  2. Libatkan Tokoh Agama dan Masyarakat
    • Gunakan jejaring NU, Muhammadiyah, MUI, dan tokoh lokal untuk meredam emosi publik.
  3. Bangun Pusat Informasi Nasional
    • Koordinasikan Kominfo, BIN, dan BSSN untuk mengontrol narasi publik dan melawan propaganda.

IV. Shock Therapy: “Pukul Meja” terhadap DPR

Jika situasi makin memburuk, Presiden bisa menjalankan opsi radikal:

  1. Pembekuan Anggaran Tambahan DPR
    • Presiden mengeluarkan Perppu untuk menunda anggaran fasilitas DPR sampai kondisi sosial stabil.
  2. Bentuk “Satgas Pengawasan DPR”
    • Libatkan KPK, BIN, dan BPK untuk memonitor kebijakan DPR secara real-time.
  3. Evaluasi UU MD3 dan Tata Tertib DPR
    • Jika DPR tidak kooperatif, Presiden bisa memanfaatkan dukungan publik untuk menekan revisi UU yang memberi hak istimewa berlebihan kepada DPR.

V. Rekomendasi Intelijen

  1. BIN dan BAIS → Pantau lobi-lobi DPR dengan oligarki sawit, tambang, dan migas.
  2. PPATK → Telusuri aliran dana mencurigakan yang terkait elite DPR.
  3. BSSN → Deteksi koordinasi opini publik, termasuk botnet atau propaganda asing yang menargetkan DPR.
  4. TNI dan Polri → Amankan gedung DPR dan DPRD di seluruh Indonesia untuk mencegah pembakaran lanjutan.

Kesimpulan

Presiden harus mengambil kendali atas DPR.
DPR sekarang adalah simbol kemarahan publik, dan jika tidak ditangani, akan menimbulkan krisis legitimasi nasional.
Langkah Presiden harus tegas dan bertahap:

  • Politik: panggil, tekan, dan audit DPR.
  • Hukum: proses indikasi korupsi dan fasilitas berlebihan.
  • Publik: bicara langsung ke rakyat dan bangun kepercayaan.
  • Shock therapy: gunakan Perppu jika DPR melawan.

 

Reformasi Anggaran DPR: Kembalikan Fungsi, Hentikan Privilege

"Reformasi Anggaran DPR: Uang Rakyat Harus Kembali ke Rakyat"

Jakarta 30 Agustus 2025

Oleh : Laksda TNI Purn Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

KABAIS TNI 2011-2013

Pendahuluan

Rakyat Indonesia hari ini menanggung beban fiskal yang semakin berat: kenaikan harga, pemotongan anggaran daerah, dan tekanan ekonomi global. Di tengah situasi ini, muncul ketidakadilan struktural dalam pengelolaan anggaran negara, khususnya pada anggaran DPR RI.
Selama ini, sebagian besar anggaran DPR lebih banyak digunakan untuk hak keuangan anggota, bukan untuk memperkuat fungsi kelembagaan DPR sebagai wakil rakyat.

Saatnya publik bersuara. Anggaran DPR harus direformasi agar berpihak pada kepentingan rakyat, bukan menjadi fasilitas istimewa bagi elite politik.

Masalah Utama

  1. Dominasi Hak Keuangan Anggota
    Saat ini, ±65% anggaran DPR terserap untuk gaji, tunjangan, fasilitas pribadi, dan tunjangan reses.
    Padahal, dalam sistem tata kelola negara yang ideal, anggaran legislatif seharusnya difokuskan untuk fungsi kelembagaan: penyusunan undang-undang, pengawasan kebijakan, dan penyerapan aspirasi publik.
  2. Tunjangan Reses yang Tidak Proporsional
    • Setiap anggota DPR menerima tunjangan reses ±Rp1,1 miliar hingga Rp3,7 miliar per tahun.
    • Tidak ada mekanisme pertanggungjawaban publik yang jelas.
    • Aspirasi rakyat yang dikumpulkan saat reses jarang terlihat dampaknya pada kebijakan.
  3. Minim Transparansi dan Akuntabilitas
    • Laporan keuangan DPR sulit diakses publik.
    • Audit memang dilakukan BPK, tetapi hasilnya jarang dipublikasikan secara detail.
    • Hal ini menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap DPR.

Tuntutan Publik.
Kami menyerukan reformasi total pengelolaan anggaran DPR berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, dan akuntabilitas.
Beberapa tuntutan utama:

1. Hentikan Sistem Privilege Individu

  • Hak keuangan anggota DPR harus disederhanakan dan dihilangkan pos-pos yang berlebihan.
  • Dana tunjangan reses dan perjalanan dinas tidak boleh diberikan tunai ke anggota.

2. Kelola Dana Berbasis Kelembagaan

  • Semua anggaran dikelola Sekretariat Jenderal DPR.
  • Anggota DPR hanya mengajukan rencana kegiatan, sementara pembayaran langsung dilakukan oleh lembaga.

3. Wajibkan Transparansi Digital

  • Bentuk Dashboard Publik DPR:
    • Laporan keuangan real-time.
    • Aspirasi reses dipublikasikan.
    • Data penggunaan anggaran dapat diakses publik tanpa batas.

4. Sesuaikan Besaran Anggaran dengan Kinerja

  • Terapkan performance-based budgeting:
    • Jumlah anggaran DPR harus sebanding dengan produktivitas legislatif.
    • Evaluasi publikasi: berapa RUU disahkan, berapa kebijakan diawasi, berapa aspirasi diakomodasi.

5. Audit Independen dan Publikasi Hasilnya

  • Libatkan BPK, KPK, dan auditor independen.
  • Hasil audit DPR wajib diumumkan ke publik setiap tahun.

Seruan untuk Publik.

Rakyat berhak mengetahui bagaimana uang pajak digunakan.
Jika DPR mengklaim sebagai wakil rakyat, maka setiap rupiah yang digunakan harus jelas tujuannya dan terukur hasilnya.
Sudah saatnya masyarakat:

  • Mendesak transparansi anggaran DPR.
  • Mengawasi penggunaan tunjangan reses.
  • Menolak pemborosan APBN untuk kepentingan politik individu.

“Uang rakyat harus kembali ke rakyat, bukan untuk memperkaya elite.”

Penutup

Reformasi anggaran DPR bukan sekadar isu teknis, tetapi soal keadilan sosial dan integritas demokrasi.
Jika DPR tidak segera melakukan perbaikan, kepercayaan publik akan semakin runtuh dan legitimasi lembaga legislatif akan dipertanyakan.
Kami mengajak seluruh elemen masyarakat, media, akademisi, dan organisasi sipil untuk bersatu mendorong transparansi dan menuntut pengelolaan anggaran DPR yang lebih adil dan akuntabel.