23 Februari 2025

Tanggapan terhadap Ketidakseimbangan antara Penyidik dan Penyelidik dalam RUU KUHAP

Tanggapan terhadap Ketidakseimbangan antara Penyidik dan Penyelidik dalam RUU KUHAP

Jakarta 23 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB


Dalam pasal 6 ayat (1) RUU KUHAP versi 17 Februari , tertulis bahwa penyidik terdiri dari tiga kategori, yaitu:

  1. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia.
  2. Pejabat Pegawai Negeri Sipil (PPNS) yang diberi kewenangan khusus berdasarkan undang-undang sektoral.
  3. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang memiliki kewenangan penyidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.


Namun, pada pasal mengenai penyelidik dalam RUU KUHAP hanya mengakui penyelidik dari unsur Kepolisian Negara Republik Indonesia, sementara PPNS dan penyidik dari lembaga lain tidak memiliki penyelidik sendiri. Hal ini menimbulkan ketidakseimbangan struktural dalam sistem peradilan pidana, yang dapat berdampak negatif terhadap efektivitas penegakan hukum.


1. Mengapa Setiap Penyidik Harus Memiliki Penyelidiknya Sendiri?

a. Konsistensi dengan Struktur Penyidikan dalam RUU KUHAP

  • Jika dalam RUU KUHAP terdapat tiga kategori penyidik, maka secara logis harus ada tiga kategori penyelidik yang sesuai dengan masing-masing penyidik.
  • Hal ini akan menciptakan sistem hukum yang lebih seimbang dan sesuai dengan prinsip efektivitas hukum acara pidana.

b. Efisiensi dalam Proses Hukum

  • Dengan memberikan setiap kategori penyidik penyelidiknya sendiri, maka proses penyelidikan dapat berjalan lebih efektif dan cepat.
  • Misalnya, dalam kasus perikanan, PPNS KKP tidak perlu menunggu penyelidik dari Polri, tetapi bisa langsung memulai penyelidikan sendiri sebelum masuk tahap penyidikan.

c. Menghindari Ketergantungan Berlebihan pada Kepolisian

  • Jika hanya Polri yang memiliki penyelidik, maka PPNS dan penyidik dari lembaga lain akan selalu tergantung pada Polri, yang bisa memperlambat proses hukum.
  • Dalam kasus-kasus tertentu, seperti tindak pidana perikanan atau kehutananPPNS perlu memiliki penyelidik sendiri agar bisa bergerak lebih cepat dalam menangani dugaan tindak pidana.

d. Memperjelas Tanggung Jawab dan Koordinasi Antar Lembaga

  • Dengan memberikan penyelidik kepada masing-masing penyidik, maka kewenangan antara Polri, PPNS, dan lembaga lain menjadi lebih jelas.
  • Ini mencegah tumpang tindih kewenangan dan memastikan koordinasi yang lebih efektif dalam penegakan hukum.


2. Usulan Perubahan dalam RUU KUHAP

Agar struktur penyelidik dan penyidik seimbang, maka RUU KUHAP seharusnya mengatur bahwa setiap penyidik memiliki penyelidiknya sendiri.


Usulan Revisi Pasal tentang Penyelidik dalam RUU KUHAP

Pasal X (Usulan Baru)

  1. Penyelidik adalah pejabat yang memiliki kewenangan untuk melakukan penyelidikan guna mencari dan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana serta menentukan perlu atau tidaknya dilakukan penyidikan.
  2. Penyelidik terdiri dari:
    • a. Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang berdasarkan peraturan perundang-undangan.
    • b. Pegawai Negeri Sipil tertentu yang diberi kewenangan penyelidikan berdasarkan undang-undang sektoral.
    • c. Pejabat dari lembaga negara atau instansi lain yang diberi kewenangan penyelidikan berdasarkan peraturan perundang-undangan.
  3. Penyelidik sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) melaksanakan tugasnya sesuai dengan kewenangan penyidik yang bersangkutan.


3. Kesimpulan dan Rekomendasi

·      RUU KUHAP perlu mengakomodasi keberadaan penyelidik dari PPNS dan lembaga lain, tidak hanya dari Polri.

·      Dengan memberikan penyelidik kepada setiap kategori penyidik, sistem hukum akan lebih seimbang, cepat, dan efektif.

·      Hal ini juga akan mengurangi ketergantungan pada Polri dalam tahap awal proses hukum dan memperkuat penegakan hukum di bidang spesifik.


Dengan demikian, revisi terhadap RUU KUHAP yang menambahkan penyelidik bagi setiap kategori penyidik menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak agar sistem peradilan pidana dapat berjalan lebih efisien dan tidak tersentralisasi hanya pada satu institusi. ðŸš€

 

 

MENANGGAPI KEWENANGAN POLRI SEBAGAI KOORDINATOR PENYIDIK DALAM RUU KUHAP

MENANGGAPI KEWENANGAN POLRI SEBAGAI KOORDINATOR PENYIDIK DALAM RUU KUHAP

Jakarta 23 Febrauari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Adv Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

Pendahuluan

Pada RUU KUHAP, terdapat kewajiban PPNS dan Penyidik tertentu untuk wajib berkoordinasi dengan Penyidik Polri sebelum penyerahan berkas perkara kepada penuntut umum. Hal itu diatur pada pasal 7 RUU KUHAP. 

Selengkapnya RUU KUHAP Pasal 7 :

(2)  PPNS dan Penyidik Tertentu mempunyai wewenang berdasarkan Undang- Undang yang menjadi dasar hukumnya. 

(3)  PPNS dan Penyidik Tertentu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. 

(4)  PPNS dan Penyidik Tertentu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib berkoordinasi dengan Penyidik Polri sampai dengan penyerahan berkas perkara kepada Penuntut Umum. 

(5)  Koordinasi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan untuk Penyidik Tertentu di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. 

Sangat jelas bahwa RUU KUHAP mengatur bahwa PPNS dan Penyidik Tertentu wajib berkoordinasi dengan Polri hingga penyerahan berkas perkara ke Penuntut Umum

Ketentuan ini setidaknya telah melanggar kompetensi absolut lembaga penyidik sektoral.

Berdasarkan kajian teori hukum dan filsafat hukum, kewajiban koordinasi ini dapat bertentangan dengan prinsip legalitas, prinsip efektivitas penegakan hukum, serta asas keadilan, yang menjadi dasar sistem peradilan pidana yang berkeadilan.

I. Analisis dari Perspektif Teori Hukum dan Filsafat Hukum

1. Perspektif Teori Kompetensi Absolut (Absolute Competence)

Menurut teori kompetensi absolut, suatu lembaga negara memiliki kewenangan penuh dalam menangani perkara yang sesuai dengan bidang tugasnya. PPNS di berbagai kementerian telah diberikan kewenangan penyidikan berdasarkan undang-undang sektoral masing-masing, seperti:

  • PPNS Perikanan (PSDKP) dalam UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.
  • PPNS Lingkungan Hidup (KLHK) dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • PPNS di Kementerian Perhubungan dalam UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran.

Dalam teori kompetensi absolut, tidak seharusnya Polri mengambil alih atau menjadi koordinator penyidikan bagi PPNS yang sudah memiliki kompetensi khusus di bidangnyaIronisnya, RUU KUHAP membebaskan Penyidik TNI AL dari kewajiban koordinasi Polri dalam kasus perikanan, karena TNI AL juga merupakan penyidik perikanan, tetapi tetap mewajibkan PSDKP yang lebih ahli dalam regulasi perikanan untuk berkoordinasi dengan Polri.

Ini adalah bentuk inkonsistensi dan tidak sesuai dengan asas kompetensi absolut dalam hukum administrasi negara.

2. Perspektif Filsafat Hukum: Asas Keadilan (Justice)

Menurut Aristoteles, keadilan terdiri dari:

  1. Keadilan Distributif, yaitu setiap orang/lembaga harus menerima perlakuan sesuai dengan kapasitas dan perannya.
  2. Keadilan Komutatif, yaitu semua entitas dalam hukum harus mendapatkan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi.

Dalam konteks ini, melepaskan TNI AL dari koordinasi dengan Polri tetapi mewajibkan PPNS di KKP (PSDKP) untuk berkoordinasi dengan Polri merupakan ketidakadilan distributif dan komutatif.

  • Jika Penyidik TNI AL dianggap kompeten menangani kasus perikanan tanpa harus melapor ke Polri, seharusnya PPNS PSDKP juga diberikan wewenang yang sama.
  • Memaksakan koordinasi ini justru memperlambat penegakan hukum dan bertentangan dengan prinsip efektivitas hukum.

Dalam filsafat hukum modern, hukum yang efektif adalah hukum yang dapat mencapai tujuannya tanpa prosedur birokrasi yang tidak perlu (Fuller, The Morality of Law).

3. Perspektif Efektivitas Hukum (Legal Effectiveness)

Menurut Roscoe Pound, hukum bukan hanya sekadar aturan normatif, tetapi harus mencerminkan kebutuhan sosial dan efektivitas dalam implementasinya.

  • Ketika PPNS telah memiliki kewenangan penyidikan sesuai UU sektoral, tetapi tetap diwajibkan berkoordinasi dengan Polri sebelum menyerahkan berkas ke Jaksa, maka hukum kehilangan efektivitasnya.
  • Alih-alih mempercepat proses hukum, aturan ini justru memperlambat penyelesaian perkara.
  • Koordinasi yang tidak diperlukan ini juga membuka peluang intervensi yang tidak relevan dengan keahlian Polri di bidang hukum sektoral tertentu.

II. Saran Perbaikan Bunyi Pasal dalam RUU KUHAP

Berdasarkan analisis di atas, RUU KUHAP seharusnya direvisi untuk menyesuaikan dengan prinsip kompetensi absolut, asas keadilan, dan efektivitas hukum.

Bunyi Pasal dalam RUU KUHAP Saat Ini yang Perlu Direvisi :

(3)  "PPNS dan Penyidik Tertentu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan Penyidik Polri. "

           (4)  PPNS dan Penyidik Tertentu dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya wajib                               berkoordinasi dengan Penyidik Polri sampai dengan penyerahan berkas perkara                   kepada Penuntut Umum. 

            (5)  Koordinasi dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dikecualikan                         untuk Penyidik Tertentu di Kejaksaan Republik Indonesia, Komisi Pemberantasan Tindak                         Pidana Korupsi, dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut. 

Saran perubahan :

(3)  PPNS dan Penyidik Tertentu dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya bersifat independen serta memiliki kewenangan penyidikan penuh sebagaimana yang diberikan oleh undang-undang sektoral.

(4)  PPNS dan Penyidik Tertentu yang telah diberikan kewenangan penyidikan penuh oleh undang-undang sektoral dapat menyerahkan berkas perkara langsung ke Penuntut Umum.

            (5)  Dihapus saja.

III. Kesimpulan

  1. Kewajiban koordinasi antara PPNS dan Polri sebelum penyerahan berkas perkara bertentangan dengan prinsip kompetensi absolut, karena PPNS lebih memahami sektor yang disidiknya dibandingkan Polri.
  2. RUU KUHAP menciptakan ketidakadilan dalam sistem penyidikan, karena memberikan pengecualian kepada Penyidik TNI AL tetapi tetap mewajibkan PSDKP untuk berkoordinasi dengan Polri dalam kasus perikanan.
  3. Berdasarkan teori efektivitas hukum, kewajiban koordinasi ini justru dapat memperlambat penyelesaian perkara, membuka peluang intervensi yang tidak perlu, dan menghambat penegakan hukum yang efektif.
  4. RUU KUHAP harus direvisi agar PPNS yang memiliki kompetensi khusus dapat menyidik dan menyerahkan berkas perkara langsung ke Penuntut Umum tanpa kewajiban koordinasi dengan Polri.

IV. Rekomendasi

  • RUU KUHAP harus membebaskan PPNS yang memiliki kompetensi sektoral dari kewajiban koordinasi dengan Polri.
  • DPR dan Pemerintah harus memastikan bahwa revisi KUHAP tidak merugikan independensi lembaga penyidik sektoral yang telah diatur dalam UU sektoral masing-masing.
  • Penyidik KPK, Kejaksaan, dan TNI AL telah dikecualikan dari kewajiban koordinasi dengan Polri, maka PPNS di kementerian sektoral yang memiliki keahlian lebih tinggi juga harus diberikan kewenangan yang sama, yaitu dibebaskan dari koordinasi.

 *) Kabais TNI 2011-2013

KEWENANGAN ADVOKAT DALAM PENGUMPULAN BUKTI TAMBAHAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

KEWENANGAN ADVOKAT DALAM PENGUMPULAN BUKTI TAMBAHAN SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KEADILAN DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

Jakartai 23 Februari 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Sistem peradilan pidana di Indonesia menempatkan advokat sebagai penasihat hukum yang berperan dalam memberikan pembelaan kepada tersangka atau terdakwa. Namun, dalam praktiknya, advokat sering mengalami keterbatasan dalam melakukan pembelaan karena terbatasnya akses terhadap alat bukti yang dikumpulkan oleh penyidik.

Saat ini, KUHAP tidak memberikan advokat kewenangan untuk melakukan pengumpulan bukti secara formal. Hal ini berbeda dengan beberapa sistem hukum lain, seperti di Amerika Serikat di mana advokat dapat menggunakan jasa private investigator, atau di Prancis di mana hakim investigatif (juge d’instruction) dapat meminta penyelidikan tambahan.

Oleh karena itu, mengingat saat ini KUHAP sedang direvisi, maka perlu adanya pengaturan dalam KUHAP yang memberikan advokat kewenangan untuk mengumpulkan bukti tambahan yang dapat diajukan kepada Jaksa atau Hakim, guna memastikan prinsip equality of arms antara negara dan tersangka dalam proses peradilan pidana.

II. PERMASALAHAN

  1. Bagaimana konsep kewenangan advokat dalam pengumpulan bukti tambahan dapat diterapkan dalam sistem hukum Indonesia?
  2. Bagaimana batasan kewenangan advokat dalam pengumpulan bukti tambahan agar tidak bertentangan dengan peran penyidik negara?
  3. Bagaimana rumusan pasal yang dapat dimasukkan dalam KUHAP untuk mengakomodasi peran advokat dalam pengumpulan bukti tambahan?

III. LANDASAN HUKUM DAN TEORI

3.1 Landasan Hukum

A. Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat

Advokat telah diatur dalam Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat, yang memberikan hak dan kewajiban kepada advokat dalam menjalankan profesinya. Beberapa hak utama advokat dalam hukum pidana antara lain:

  • Pasal 5 ayat (1): Advokat berstatus sebagai penegak hukum yang bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan.
  • Pasal 16: Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan itikad baik untuk kepentingan pembelaan Klien dalam sidang pengadilan..
  • Pasal 17: Dalam menjalankan profesinya Advokat berhak mendapatkan informasi, data dan dokumennya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain yang berkaitan dengan kepentingan tersebut yang diperlukan untuk pembelaan kepentingan kliennya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Namun, UU Advokat tidak memberikan kewenangan eksplisit kepada advokat untuk mengumpulkan alat bukti tambahan dalam pembelaan kliennya. Itulah sebabnya  peran ini perlu diperjelas dalam KUHAP.

B. Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

KUHAP menempatkan advokat sebagai penasihat hukum bagi tersangka/terdakwa dengan hak untuk melakukan pembelaan, sebagaimana diatur dalam:

  • Pasal 54 KUHAP: Hak tersangka untuk didampingi penasihat hukum dalam setiap tingkat pemeriksaan.
  • Pasal 55 KUHAP: Hak tersangka untuk memilih penasihat hukumnya 
  • Pasal 57 KUHAP: Hak tersangka untuk menghubungi penasihat hukumnya.

Namun, KUHAP tidak secara eksplisit mengatur hak advokat untuk mengumpulkan bukti tambahan, sehingga diperlukan perubahan yang mengakomodasi peran ini agar prinsip fair trial dan keseimbangan dalam peradilan pidana dapat terwujud.

3.2 Teori Keseimbangan dalam Peradilan Pidana

Menurut teori keseimbangan dalam peradilan pidana, hukum pidana harus memberikan hak yang seimbang antara negara sebagai penegak hukum dan individu sebagai pihak yang dituntut. Prinsip ini dikenal dalam hukum internasional sebagai equality of arms, yang berarti kedua belah pihak harus memiliki kesempatan yang sama dalam pembuktian.

Namun, dalam sistem hukum Indonesia, negara memiliki keunggulan dalam pembuktian karena penyidikan dan penuntutan dilakukan oleh lembaga negara (Polri dan Kejaksaan), sementara advokat hanya memiliki peran pembelaan tanpa kewenangan investigasi yang memadai.

3.3 Asas Fair Trial dalam Hukum Pidana

Konsep fair trial (peradilan yang adil) mengacu pada hak setiap individu untuk mendapatkan persidangan yang imparsial dan seimbang. Dalam sistem hukum modern, hak untuk mengumpulkan dan mengajukan bukti bukan hanya hak negara, tetapi juga hak tersangka melalui penasihat hukumnya.

Penguatan kewenangan advokat dalam pengumpulan bukti tambahan merupakan bagian dari upaya memperkuat fair trial dalam sistem peradilan pidana di Indonesia.

IV. KONSEP PENGUMPULAN BUKTI TAMBAHAN OLEH ADVOKAT

4.1 Definisi Pengumpulan Bukti Tambahan oleh Advokat

Pengumpulan bukti tambahan adalah proses pengumpulan alat bukti yang dilakukan oleh advokat secara mandiri atau melalui pihak ketiga yang sah untuk membela kepentingan hukum kliennya dalam perkara pidana.

4.2 Bentuk Pengumpulan Bukti yang Dapat Dilakukan Advokat

  1. Mewawancarai saksi atau ahli yang tidak diperiksa oleh penyidik.
  2. Mengajukan permohonan pemeriksaan ulang terhadap barang bukti atau tempat kejadian perkara.
  3. Mengumpulkan dokumen, rekaman, atau bukti elektronik yang mendukung pembelaan kliennya.
  4. Mengajukan bukti tambahan kepada Jaksa sebelum persidangan dimulai atau kepada Hakim dalam tahap persidangan.

4.3 Batasan Kewenangan Advokat dalam Pengumpulan Bukti

  • Advokat tidak boleh melakukan upaya paksa, seperti penggeledahan atau penyitaan yang merupakan kewenangan penyidik negara.
  • Advokat tidak boleh menghalangi proses penyidikan yang sedang berlangsung.
  • Advokat harus melaporkan setiap bukti yang ditemukan kepada penyidik atau Jaksa untuk diverifikasi.

V. RUMUSAN PASAL UNTUK DIMASUKKAN KE DALAM RUU KUHAP

Pasal Usulan: Kewenangan Advokat dalam Pengumpulan Bukti Tambahan

Pasal X
(1) Advokat yang telah ditunjuk sebagai penasihat hukum tersangka berhak mengumpulkan alat bukti tambahan yang dapat digunakan dalam pembelaan di pengadilan.
(2) Alat bukti tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa keterangan saksi, dokumen, rekaman, atau alat bukti elektronik lainnya.
(3) Advokat dapat mengajukan permohonan kepada Hakim untuk dilakukan pemeriksaan tambahan terhadap bukti yang ditemukan.
(4) Advokat dilarang melakukan upaya paksa dalam bentuk apa pun, termasuk penyitaan, penggeledahan, dan penahanan saksi.
(5) Bukti yang diperoleh advokat wajib disampaikan kepada Jaksa atau Hakim dalam tahap praperadilan atau persidangan.

VI. MANFAAT PENYUSUNAN PASAL INI

  1. Menjamin keseimbangan antara penyidik negara dan pembela tersangka dalam pembuktian perkara pidana.
  2. Mengurangi ketergantungan advokat terhadap hasil penyidikan yang dilakukan oleh negara.
  3. Meningkatkan efektivitas fair trial dan menjamin hak tersangka untuk mendapatkan pembelaan yang optimal.
  4. Mencegah penyalahgunaan wewenang oleh advokat dengan memberikan batasan yang jelas dalam pengumpulan bukti.

VII. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

  • Saat ini, KUHAP belum memberikan kewenangan kepada advokat untuk mengumpulkan bukti secara mandiri.
  • Konsep pengumpulan bukti tambahan oleh advokat bertujuan untuk memperkuat prinsip fair trial dan equality of arms dalam sistem hukum pidana.
  • Perubahan KUHAP yang mengakomodasi kewenangan advokat dalam pengumpulan bukti tambahan akan meningkatkan keadilan dalam sistem peradilan pidana Indonesia.
  • KUHAP harus diperbarui agar advokat memiliki hak untuk mengumpulkan bukti tambahan guna memperkuat prinsip fair trial.
  • Pengumpulan bukti oleh advokat menjadi pelengkap dan penyeimbang penyidik negara.
  • Mengingat saat ini KUHAP sedang direvisi, maka Pasal khusus dalam KUHAP yang mengatur mekanisme pengumpulan bukti oleh advokat agar hukum acara pidana lebih adil dan efektif dapat di usulkan untuk dimasukan dalam RUU KUHAP

Penutup

Makalah ini bertujuan untuk memberikan solusi terhadap ketidakseimbangan dalam sistem pembuktian pidana di IndonesiaDengan memberikan advokat kewenangan untuk mengumpulkan bukti tambahan, sistem peradilan pidana dapat menjadi lebih adil, transparan, dan berorientasi pada perlindungan hak asasi manusia.

Makalah ini juga diharapkan dapat menjadi dasar agar supaya kewenangan Advokat dalam pengumpulan bukti tambahan dapat dimasukan dalam perubahan KUHAP yang sedang dilakukan sekarang demi menciptakan peradilan pidana yang lebih berimbang dan adil bagi semua pihak.

VIII. DAFTAR PUSTAKA

  • Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
  • Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat.
  • Konvensi Internasional tentang Hak Asasi Manusia dan Fair Trial.
  • Fuller, Lon L. The Morality of Law.
  • Pound, Roscoe. Jurisprudence.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi RI tentang Hak Advokat dalam Pembelaan Perkara Pidana.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

20 Februari 2025

Laporan IOJI: Berbahaya Karena Hanya Berdasarkan Asumsi, Bisa Menyesatkan Kebijakan Pemerintah

Laporan IOJI: Berbahaya Karena Hanya Berdasarkan Asumsi, Bisa Menyesatkan Kebijakan Pemerintah

Jakarta 20 Februari 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Laporan yang diterbitkan oleh Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) untuk periode Juni hingga Oktober 2024 mengenai keamanan maritim Indonesia tampaknya lebih didasarkan pada asumsi daripada fakta hukum yang jelas. Laporan ini menyoroti dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh kapal asing di Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tetapi gagal membedakan antara hak-hak yang diberikan oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 dan dugaan pelanggaran yang benar-benar terbukti. Jika laporan ini dijadikan dasar bagi kebijakan pemerintah, maka keputusan yang diambil berpotensi salah arah dan dapat merugikan kepentingan nasional Indonesia.

Kelemahan Utama Laporan IOJI

1. Berasumsi bahwa Kehadiran Kapal Asing di ZEE Adalah Ilegal

Laporan IOJI menyebutkan kehadiran kapal ikan asing (KIA) dari Vietnam dan Tiongkok sebagai ancaman terhadap keamanan maritim Indonesia. Namun, laporan ini tidak menyajikan bukti konkret bahwa kapal-kapal tersebut benar-benar melakukan pelanggaran hukum.

Menurut Pasal 58 UNCLOS, ZEE adalah kawasan di mana negara pantai memiliki hak berdaulat atas eksploitasi sumber daya alam, tetapi juga harus menghormati kebebasan navigasi bagi kapal asing. Artinya, keberadaan kapal asing di ZEE tidak otomatis ilegal, kecuali terbukti bahwa mereka menangkap ikan secara ilegal atau melakukan eksploitasi sumber daya tanpa izin.

Dalam laporan IOJI, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa kapal-kapal yang disebutkan memang melakukan aktivitas penangkapan ikan ilegal. Tanpa bukti konkret, pernyataan bahwa kapal-kapal ini melanggar hukum hanyalah asumsi belaka dan tidak dapat dijadikan dasar untuk tindakan hukum atau kebijakan negara.

2. Tidak Ada Fakta Pelanggaran Hukum atau Putusan Pengadilan

Ancaman-ancaman yang disebutkan dalam laporan IOJI, seperti dugaan praktik penangkapan ikan ilegal oleh kapal ikan asing (KIA), implementasi yang kurang optimal dari Port State Measures Agreement (PSMA), pelintasan kapal riset asing di wilayah perairan Indonesia, dan keberadaan kapal China Coast Guard di Laut Natuna Utara (LNU), tidak didukung oleh fakta hukum yang jelas.

Tidak disebutkan adanya fakta pelanggaran hukum yang telah ditetapkan oleh pengadilan atau putusan resmi dari otoritas berwenang. Hal ini menunjukkan bahwa laporan tersebut hanya berdasarkan asumsi dan bukan pada data hukum yang valid. Menyebut suatu tindakan sebagai ancaman tanpa adanya keputusan hukum dapat menyesatkan opini publik dan mempengaruhi kebijakan secara negatif.

3. Salah Kaprah dalam Memahami Hak Navigasi di ZEE

Laporan ini juga menyebutkan keberadaan kapal riset asing dan kapal penjaga pantai Tiongkok (China Coast Guard/CCG) di ZEE Indonesia sebagai ancaman. Namun, menurut UNCLOS, kapal-kapal asing berhak untuk melintas di ZEE dalam koridor navigasi yang sah. Hal ini merupakan prinsip freedom of navigation, yang diakui dalam hukum laut internasional.

Selama kapal asing tidak melakukan aktivitas yang mengganggu hak berdaulat Indonesia, keberadaan mereka di ZEE tidak dapat dianggap sebagai pelanggaran hukum. Oleh karena itu, menyebut kapal penjaga pantai Tiongkok sebagai ancaman hanya karena keberadaannya di wilayah ini adalah kesimpulan yang gegabah dan dapat menyesatkan kebijakan negara.

4. Mengaitkan PSMA dengan Navigasi di ZEE Secara Tidak Tepat

Laporan IOJI juga mengkritik implementasi Port State Measures Agreement (PSMA) di Indonesia. Namun, PSMA tidak ada hubungannya dengan hak navigasi di ZEE. PSMA hanya berlaku di pelabuhan dan berfungsi sebagai instrumen untuk mencegah kapal yang terlibat dalam IUU fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing) masuk ke pelabuhan Indonesia.

Laporan ini tidak menunjukkan bukti konkret mengenai pelanggaran PSMA di pelabuhan Indonesia, tetapi hanya menyatakan bahwa implementasinya kurang optimal. Jika tidak ada fakta spesifik mengenai pelanggaran atau kegagalan dalam penerapan PSMA, maka klaim tersebut hanya bersifat asumtif dan dapat menyesatkan kebijakan pemerintah.

Dengan demikian, menghubungkan PSMA dengan aktivitas kapal asing di ZEE adalah kesalahan analisis yang dapat menyesatkan pemahaman publik dan pembuat kebijakan.

Dampak Berbahaya dari Laporan yang Berdasarkan Asumsi

Jika laporan IOJI ini dijadikan rujukan dalam pengambilan kebijakan, ada beberapa risiko serius yang dapat terjadi:

  1. Salah Langkah dalam Penegakan Hukum
    • Jika pemerintah bertindak berdasarkan asumsi tanpa bukti konkret, kapal asing yang sebenarnya tidak melanggar hukum bisa menjadi target tindakan yang tidak tepat. Ini dapat memicu ketegangan diplomatik yang tidak perlu.
  2. Mengabaikan Prinsip Hukum Internasional
    • Jika Indonesia menerapkan kebijakan yang bertentangan dengan UNCLOS, maka negara-negara lain dapat memprotes tindakan tersebut dan bahkan menggugatnya di forum internasional.
  3. Meningkatkan Ketegangan di Perairan Sengketa
    • Menyebarluaskan narasi bahwa semua kapal asing di ZEE adalah ancaman dapat memperburuk hubungan dengan negara-negara tetangga dan memperbesar risiko konflik di laut.

Rekomendasi untuk Pemerintah

  1. Menggunakan Pendekatan Berbasis Bukti
    • Sebelum mengambil tindakan terhadap kapal asing, harus ada bukti konkret bahwa mereka benar-benar melanggar hukum. Ini bisa berupa rekaman satelit, dokumentasi aktivitas ilegal, atau laporan investigasi yang terverifikasi.
  2. Mengacu pada UNCLOS sebagai Acuan Utama
    • Kebijakan maritim Indonesia harus tetap sejalan dengan hukum internasional, khususnya UNCLOS, untuk menjaga kredibilitas di mata dunia.
  3. Menghindari Retorika yang Tidak Berdasar
    • Pemerintah sebaiknya tidak menjadikan laporan berbasis asumsi sebagai dasar kebijakan, terutama dalam isu yang berkaitan dengan keamanan maritim dan hubungan internasional.

Kesimpulan

Laporan IOJI berisiko menyesatkan kebijakan negara karena hanya berdasarkan asumsi tanpa bukti hukum yang kuat. Dengan memahami prinsip hukum laut internasional, khususnya UNCLOS, Indonesia dapat mengambil keputusan yang tepat dalam menjaga kedaulatan maritim tanpa melanggar hak-hak negara lain. Pemerintah harus berhati-hati dalam menanggapi laporan semacam ini agar tidak salah langkah dalam kebijakan maritim yang strategis bagi kepentingan nasional.

 

18 Februari 2025

Pengelolaan Anggaran dan Kebutuhan Militer oleh Presiden: Kewajiban yang Harus Dijalankan oleh Pemegang Kekuasaan Tertinggi

Pengelolaan Anggaran dan Kebutuhan Militer oleh Presiden: Kewajiban yang Harus Dijalankan oleh Pemegang Kekuasaan Tertinggi

Jakarta 18 Februari 2025

Oleh Laksda TNI (Purn) Adv. Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB


I. Pendahuluan

Pasal 10 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) secara eksplisit mengatur bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia (TNI), Angkatan Laut (AL), dan Angkatan Udara (AU). Hal ini mencerminkan bahwa Presiden tidak hanya memiliki wewenang dalam menentukan kebijakan strategis pertahanan, tetapi juga dalam mengelola sumber daya yang diperlukan untuk mendukung kelangsungan dan kesiapsiagaan pasukan militer. Oleh karena itu, pengelolaan anggaran, termasuk pencarian komponen cadangan dan pendukung lainnya, seharusnya berada langsung di bawah kendali Presiden, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi.

Namun, pada kenyataannya, anggaran militer saat ini disalurkan melalui Kementerian Pertahanan (Kemhan), yang tidak sepenuhnya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar yang tercantum dalam UUD 1945. Kemhan, meskipun memiliki peran administratif dalam mengelola kebijakan pertahanan, tidak dapat sepenuhnya diandalkan untuk mengelola dan menentukan komponen cadangan dan pendukung bagi TNI, AL, dan AU. Pengelolaan anggaran, serta segala persiapan dan perencanaan terkait dengan komponen cadangan, pendukung, dan kebutuhan militer lainnya, harus menjadi tanggung jawab langsung Presiden.

Makalah ini akan menjelaskan mengapa Presiden seharusnya mengelola langsung anggaran serta mencari dan mempersiapkan komponen cadangan dan komponen pendukung militer, serta mengapa tidak tepat jika tugas ini diserahkan sepenuhnya kepada Kemhan.


II. Pemahaman Pasal 10 UUD 1945 dalam Konteks Kekuasaan Presiden

Pasal 10 UUD 1945 menyatakan bahwa:

"Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Tentara Nasional Indonesia dan Angkatan Laut serta Angkatan Udara."

Pernyataan ini dengan jelas memberikan otoritas penuh kepada Presiden sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam sistem pertahanan negara. Kekuasaan tertinggi ini mencakup kemampuan untuk mengendalikan kebijakan strategis, keputusan operasional, dan bahkan perencanaan serta penyediaan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung kelangsungan operasi militer. Sebagai bagian dari tugas ini, Presiden juga bertanggung jawab untuk memastikan bahwa anggaran, komponen cadangan, komponen pendukung, serta kebutuhan lain yang mendukung kekuatan militer tersedia dan dikelola dengan efisien.

Penting untuk dicatat bahwa kekuasaan tertinggi ini tidak hanya terbatas pada pengambilan keputusan di tingkat operasional atau strategis. Kewenangan ini juga harus mencakup pengelolaan sumber daya yang diperlukan untuk mendukung kegiatan militer, termasuk anggaran dan logistik yang menyertainya.


III. Teori Hukum Mengenai Pengelolaan Sumber Daya Negara

Menurut teori hukum konstitusional dan teori pemisahan kekuasaan, setiap cabang kekuasaan negara memiliki wewenang yang terbatas, namun tidak dapat tumpang tindih. Presiden sebagai kepala negara dan panglima tertinggi TNI memegang kontrol penuh atas kebijakan pertahanan negara, yang mencakup pengelolaan anggaran serta penyediaan dan perencanaan komponen cadangan dan komponen pendukung untuk militer.

  1. Teori Kekuasaan Eksekutif: Teori ini menyatakan bahwa cabang eksekutif (dalam hal ini, Presiden) memiliki kekuasaan untuk mengelola semua aspek yang berkaitan dengan kebijakan luar negeri dan pertahanan, termasuk alokasi anggaran. Kekuasaan ini tidak dapat diserahkan sepenuhnya kepada lembaga administratif lainnya, seperti Kementerian Pertahanan, yang hanya bertindak sebagai pelaksana kebijakan. Keputusan strategis tentang penyediaan anggaran dan komponen cadangan, termasuk pendukung militer, harus berada langsung di bawah kendali Presiden sebagai pengambil keputusan akhir.
  2. Teori Kepemimpinan dalam Pemerintahan: Dalam teori ini, Presiden dianggap sebagai pemimpin yang bertanggung jawab atas setiap keputusan utama yang berkaitan dengan pertahanan negara, yang mencakup kebijakan anggaran, rekrutmen, dan pengelolaan sumber daya militer. Presiden, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, wajib memastikan bahwa semua komponen pendukung militer, termasuk cadangan pasukan dan infrastruktur, tersedia sesuai dengan kebutuhan pertahanan nasional.


IV. Pengelolaan Anggaran dan Kebutuhan Militer: Mengapa Harus Dilakukan Langsung oleh Presiden?

Berdasarkan ketentuan Pasal 10 UUD 1945, Presiden memegang otoritas penuh atas kebijakan pertahanan negara. Oleh karena itu, pengelolaan anggaran militer serta persiapan dan perencanaan komponen cadangan dan pendukung seharusnya dilakukan langsung oleh Presiden, bukan melalui lembaga administratif yang memiliki batasan kewenangan.

  1. Pentingnya Komponen Cadangan dan Pendukung: Angkatan bersenjata tidak hanya membutuhkan pasukan aktif, tetapi juga komponen cadangan dan pendukung yang dapat dipanggil dan diaktifkan dalam keadaan darurat. Penyediaan dan pengelolaan komponen cadangan ini melibatkan banyak aspek, termasuk pelatihan, rekrutmen, penyimpanan peralatan, serta pemeliharaan logistik. Semua elemen ini harus direncanakan dengan cermat dan diatur dengan presisi oleh Presiden sebagai bagian dari strategi pertahanan negara.
  2. Kewajiban Menjamin Kesiapsiagaan Militer: Presiden, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, harus memastikan kesiapsiagaan militer negara. Ini termasuk memastikan bahwa TNI, AL, dan AU memiliki sumber daya yang cukup, baik dalam hal personel, peralatan, maupun dukungan logistik lainnya. Oleh karena itu, anggaran yang disalurkan untuk kebutuhan tersebut tidak boleh lewat dari kementerian administratif, seperti Kemhan, yang lebih berfokus pada aspek administratif. Pengelolaan langsung anggaran oleh Presiden akan memberikan kontrol yang lebih efektif terhadap pemenuhan kebutuhan pertahanan negara.
  3. Efisiensi dan Keamanan Negara : Ketika anggaran militer disalurkan melalui Kementerian Pertahanan, ada potensi pemborosan atau ketidakefektifan alokasi sumber daya karena adanya birokrasi yang berlapis. Selain itu, dalam situasi darurat atau krisis nasional, kecepatan dan fleksibilitas dalam pengambilan keputusan sangat penting. Presiden yang memiliki kewenangan tertinggi dapat mengambil keputusan dengan lebih cepat dan tepat tanpa terganggu oleh birokrasi, memastikan bahwa sumber daya militer dapat segera disiapkan.
  4. Kontrol yang Lebih Baik atas Kebijakan Pertahanan Negara: Presiden, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi perlu memiliki kontrol penuh atas kebijakan pertahanan dan pengelolaan anggaran untuk mendukung kebijakan tersebut. Dengan kontrol langsung atas anggaran, komponen cadangan, dan komponen pendukung lainnya, Presiden dapat memastikan bahwa kebijakan pertahanan negara oleh militer berjalan sesuai dengan tujuan yang diinginkan, dengan memperhatikan kebutuhan yang terukur dan sesuai dengan situasi geopolitik dan militer yang berkembang.


V. Kesimpulan

Berdasarkan analisis Pasal 10 UUD 1945, teori kekuasaan eksekutif, dan prinsip-prinsip konstitusional, jelas bahwa pengelolaan anggaran militer serta pencarian dan persiapan komponen cadangan dan komponen pendukung militer harus dilakukan langsung oleh Presiden, sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas AD, AL, dan AU. Kementerian Pertahanan, meskipun memiliki peran administratif, tidak dapat sepenuhnya menggantikan posisi Presiden dalam pengelolaan sumber daya militer.

Pengelolaan langsung oleh Presiden akan memastikan efisiensi, kesiapsiagaan militer yang lebih baik, serta kontrol yang lebih kuat terhadap kebijakan pertahanan negara. Oleh karena itu, kebijakan yang menyatakan bahwa anggaran TNI dan segala kebutuhan militer lainnya melalui Kemhan harus direvisi agar sesuai dengan prinsip kekuasaan tertinggi yang diatur dalam UUD 1945.