Jakarta 16 Maret 2022
Oleh Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto ST, MH
Pada tanggal 11 Maret 2022 telah terbit Peraturan Pemerintah nomor 13 tahun 2022 tentang Penyelenggaraan Keamanan, Keselamatan dan Penegakan Hukum di wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia (PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI), yang mengatur tentang Tugas Bakamla serta ancaman yang ada dilaut.
Terbitnya PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI ini bukannya meyelesaikan masalah selama ini ada dilaut, tapi justru menghasilakan masalah baru yang menghantui para pengusahan dilaut. PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI telah membuat Bakamla sebagai ancaman bagi para pengusaha dilaut. Mari kita telusuri bersama.
1. Tugas dan Penegakan Hukum Bakamla.
Pada pasal 1 angka 5 PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI mengatur bahwa Bakamla adalah lembaga non Kementrian yang bertugas melaksanakan patroli keamanan, keselamatan dan penegakan hukum di wilayah perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia.
Lalu pada pasal 22 ayat 2 mengatur bahwa Penegakan hukum Yang dilaksanakan oleh Bakamla meliputi a. Pengumpulan data dan Informasi, b. Penindakan dan c. Penyerahan hasil penindakan.
Jadi sangat jelas bahwa " Ruang lingkup penegakan hukum oleh Bakamla" HANYA dalam lingkup Pengumpulan Informasi, Penindakan dan Penyerahan hasil penindakan.
Pertanyaan pertama adalah Informasi apa yang akan dikumpulkan ? Dalam PP ini tidak dijelaskan informasi apa yang harus dikumpulkan. Artinya informasi sesuka hati Bakamla.
Pertanyaan kedua, apa yang dimaskud dengan penindakan ? Apakah penangkapan atau penembakan ? Tidak jelas juga. Artinya Bakamla dapat melakukan Penindakan sesuka hati mereka misalnya melaukan penembakan. Ini sangat berbahaya.
Pertanyaan ketiga, apa yang dimaksud dengan Penyerahan hasil penindakan ? Untuk pertanyaan ketiga ini di jawab oleh pasal 24 ayat 2 mengatur bahwa Badan (Bakamla) menyerahkan hasil penindakan ayat 1 kepada instansi yang memiliki kewenangan penyidikan untuk proses hukum lebih lanjut.
Hal ini membuktikan bahwa BAKAMLA BUKAN PENYIDIK serta BUKAN APARAT PENEGAK HUKUM sehingga harus menyerahkan segala hasil tindakannya (yang tidak jelas) itu kepada instansi yang memiliki kewenangan paenyidikan untuk proses hukum lebih lanjut.
Mengingat Bakamla BUKAN PENYIDIK maka sudah pasti Pasal 4 ayat 2 itu TIDAK AKAN TERLAKSANA.
Pasal 4 ayat 2 selengkapnya berbunyi :
"Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berperan sebagai koordinator kementerian/lembaga pada forum internasional di bidang keamanan, keselamatan, dan penegakan hukum di laut sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang hubungan luar negeri,"
Hal itu tidak akan terlaksana karena hal-hal sebagai berikut :
Pertama, tidak mungkin Bakamla yang bukan Penyidik lalu akan menjadi KOORDINATOR para PENYIDIK. Sudah pasti para penyidik akan mengabaikannya.
Kedua, tidak mungkin Bakamla yang HARUS MENYERAHKAN PENINDAKANNYA kepada para penyidik akan menjadi KOORDINATOR para penyidik. Ini logika berpikir yang aneh bin ajaib, karena Bakamla yang bukan penyidik tapi mau jadi koordinator para penyidik. Aneh kan ?
Ketiga, Bakamla BUKAN PENEGAK HUKUM tentunya TIDAK PANTAS UNTUK MEWAKILI PARA PENEGAK HUKUM DI FORA INTERNASIONAL
Keempat. Materi Pasal 4 ayat 2 ini bertentangan dengan materi Pasal 1 angka 3 dan angka 5 yang membatasi bahwa TUGAS BAKAMLA hanya melaksanakan Pengumpulan Informasi, Penindakan dan Penyerahan hasil tindakan.
Kelima, pada kolom Mengingat dan menimbang hanya tertulis UU 32/2014 tag Kelautan. Artinya yang diatur oleh PP ini hanya Bakamla saja, instansi lain yang tidak diatur oleh UU 32/2014 ttg Kelautan jelas tidak tunduk pada PP ini, sehingga PP ini dapat diabaikan oleh instansi lainnya.
Demikian juga pasal 25 ayat 1 juga TIDAK MUNGKIN TERLAKSANA karena bertentangan dengan KUHAP. Para penyidik dalam melaksanakan proses hukum hanya akan melaksanakan apa yang diatur oleh KUHAP. Dalam KUHAP tidak diatur bahwa bila penyidik tidak menindak lanjuti hasil penindakan oleh Bakamla harus melapoekan kepada Menteri.
Selengkapnya pasal 25 ayat 1 berbunyi :
"Jika instansi yang memiliki kewenangan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menolak penyerahan dan/ atau tidak menindaklanjuti hasil penindakan yang dilakukan Badan maka instansi tersebut dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal penyerahan wajib melapor kepada Menteri disertai alasan hukum," .
3. Pelanggaran Ham oleh Bakamla.
Korban dari tindakan Bakamla yang tidak jelas itu "dikhawatirkan" tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”. Hal ini disebabkan karena Bakamla yang bukan Penyidik sudah pasti tidak memiliki kompetensi dalam pelaksanaan penegakan hukum. Sehingga Penindakan oleh Bakamla ini merupakan Pelanggaran HAM sebagaimana yang diatur pada angka 6 Pasal 1 UU 39/1999 tentang Pelanggaran HAM. Selengkapnya angka 6 pasal 1 UU 39/19999 menyatakan bahwa :
“Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) adalah Setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara, baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang dan tidak mendapatkan atau DIKHAWATIRKAN tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku”.
4. Ancaman yang dihadapi oleh Bakamla.
Pasal 8 ayat 4 huruf b mengatur tentang perkiraan ancaman. Pada penjelasannya diatur bahwa yang dimaksud dengan "ancaman" antara lain adalah pelanggaran wilayah, penangkapan ikan secara ilegal, kejahatan lintas negara yang terorganisir, perompakan bersenjata dan pembajakan, kecelakaan dilaut, terorisme dilaut, kejahatan siber dilaut, pencemaran dilaut dan bencana alam di laut.
Ancaman ini perlu didalami lebih jauh lagi yaitu :
4.1. Pelanggaran Wilayah.
Undang-udnang nomor 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia mengatur bahwa Wilayah Perairan Indonesia terdiri dari Wilayah Laut Teritorial dan Wilayah laut Yurisdiksi.
Dengan demikian yang dimaksud dengan pelanggaran Wilayah adalah Pelanggaran hukum diwilayah laut Teritorial yang penyidiknya adalah Polair sebagaimana yang diatur oleh pasal 6 ayat 1 UU 2/2002 tentang Kepolisian. Selamjutnya Pelanggaran hukum diwilayah laut yurisdiksi yang penyidiknya adalah TNI AL sebagaimana yang diatur oleh pasal 9 huruf b UU 34/2004 ttg TNI.
4.2. Penangkapan ikan secara ilegal.
Penangkapan ikan secara ilegal pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap UU 45/2009 tentang Perubahan atas UU 31/2004 tentang Perikanan yang penyidiknya adalah PPNS Kementrian Kelautan dan Perikanan, serta TNI AL.
4.3. Kejahatan lintas negara yang terorganisir.
Kejahatan lintas negara yang terorganisir, pada dasarnya pelanggaran terhadap UU 6/2011 tentang Keimigrasian yang penyidiknya adalah PPNS pada Dirjen Imigrasi.
4.4. Perompakan bersenjata dan pembajakan.
Perompakan bersenjata dan pembajakan pada dasarnya adalah pelanggaran terhadap UU 34/2004 tentang TNI yang penyidiknya adalah TNI AL.
4.5. Kecelakaan dilaut.
Kecelakaan dilaut merupakan bagian dari Keselamatan dan Keamaman Pelayaran sebagaimana yang diatur pada pasal 116 UU 17/2008 ttg Pelayaran dimana penyidiknya adalah TNI AL dan PPNS Dirjen Hubla dhi KPLP.
4.6. Terorisme dilaut.
Terorisme dilaut merupakan pelanggaran UU 34/2004 tentang TNI dan UU 5/2008 ttg TErorisme dimana penyidiknya adalah TNI AL dan Polair.
4.7. Pencemaran dilaut.
Pencemaran dilaut merupakan pelanggaran pasal 123 UU 17/2008 ttg Pelayaran dimana penyidiknya adalah TNI AL dan PPNS Dirjen Hubla dhi KPLP.
4.8. Bencana alam dilaut.
Bencana alam dilaut ini menyangkut keselamatan dan keamanan Pelayaran yang diatur pada pasal 116 UU 17/2008 ttg Pelayaran dimana penyidiknya adalah TNI AL dan PPNS Dirjen Hubla dhi KPLP.
Dengan demikian terbukti bahwa ancaman yang ada sekarang SUDAH ADA PENYDIDIKNYA MASING-MASING. Sehingga apa yang akan dilakukan oleh Bakamla sudah tidak dibutuhkan lagi.
5. Kesimpulan.
Mengalir dari analisa tersebut diatas maka dapat disimpulkan hal-hla sebagai berikut :
Pertama, bahwa PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI merupakan penegasan bahwa BAKAMLA BUKAN PENYIDIK.
Kedua, bahwa PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI merupakan penegasan bahwa ancaman pelanggaran hukum dilaut semuanya sudah ada penyidiknya, sehingga sebetulnya BAKAMLA SUDAH TIDAK DIPERLUKAN LAGI. Keberadaan Bakamla hanya merupakan pemborosan keuangan negara.
Ketiga bahwa PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI merupakan penegasan bahwa Bakamla merupakan ancaman nyata para pengusaha kapal dilaut karena dapat melakukan penindakan sesuka hati, walaupun tidankan itu bertentangan dengan KUHAP.
Keempat bahwa PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI sama sekali tidak mengatur Bakamla menjadi Indonesia Coast Guard, sehingga identitas Indonesia Coast Guard yang tertulis pada Kapal-kapal Bakamla adalah Identitas palsu.
Kelima bahwa PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI akan menyebabkan harga barang menjadi semakin mahal, karena asuransi muatan kapal akan meningkat, akibat dari kemungkinan adanya tindakan sesuka hati yang dapat dilakukan oleh Bakamla. Akibatnya seluruh rakyat Indonesia menjadi semakin menderita karena harus membeli barang dengan harga yang lebih mahal.
Keenam bahwa pelaksanaan PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI dapat mengakibatkan pelanggaran HAM oleh Bakamla.
Ketujuh, PP 13/2022 ttg PKK&PHWPWYI membuktikan bahwa status Bakamla, tidak jelas militer bukan, penegak hukum pun bukan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar