oleh
: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto ST, MH.
Belum hilang dari ingatan kita tentang
insiden tanggal 21 Maret 2016antara Kapal Coast Guard China menabrak KM Kway
Fey 10078, hasil tangkapan KP Hiu 11 di wilayah ZEE dan landas kontinen
Indonesia, telah terjadi lagi penembakan Kapal Ikan Taiwan pada tanggal 23
Maret yang dilakukan oleh KP Hiu 4, milik Kementrian Kelautan dan Perikanan.
Mengingat hal ini terjadi pada Kapal
dari Kementrian Kelautan dan Perikanan dalam selang waktu yang sangat singkat,
maka hal ini perlu mendapatkan perhatian yang serius.
Mengingat insiden ini menyangkut pihak
negara asing, maka untuk menanggapi insiden perlu dianalisa kembali
sinkronisasi antara aturan perundangan nasional dan aturan perundangan
internasional.
Aturan perundangan yang dipakai sebagai
landasan untuk menanggapi insiden ini adalah :
1. Undang-undang
nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan.
2. Undang-undang
nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
2. United
Nation Convention on Law Of the Sea 1982 yang dikenal dengan UNCLOS 82.
Adapun beberapa ketentuan yang
berkaitan dengan penegakkan hukum bidang perikanan dilaut terdapat pada beberpa
pasal dibawah ini.
1.
Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang Perikanan.
a.
Pasal 66
(1) Pengawasan perikanan dilakukan
oleh pengawas perikanan.
(2) Pengawas perikanan bertugas
untuk mengawasi
tertib
pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perikanan.
b. Pasal 66A
(1)
Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 merupakan pegawai negeri
sipil yang bekerja di bidang perikanan yang
diangkat oleh menteri atau pejabat yang ditunjuk.
(2)
Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dididik untuk
menjadi Penyidik Pengawai Negeri Sipil Perikanan.
b. Pasal
66C
(2)
Pengawas perikanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melaksanakan tugasnya dapat
dilengkapi dengan kapal pengawas
perikanan, senjata api, dan/atau alat pengaman diri.
c. Pasal
69
(1) Kapal pengawas
perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di bidang
perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara
Republik Indonesia.
(4) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) penyidik dan/atau pengawas
perikanan dapat melakukan tindakan
khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera
asing berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
d. Pasal
71
(1) Dengan
Undang-Undang ini dibentuk pengadilan perikanan yang berwenang memeriksa, mengadili,
dan memutus tindak pidana
di bidang perikanan.
e. Pasal 71A
Pengadilan perikanan berwenang
memeriksa, mengadili, dan memutuskan
perkara tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi
di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh
warga negara Indonesia maupun
warga negara asing.
f. Pasal 76A
Benda dan/atau alat yang
digunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana
perikanan dapat dirampas untuk negara
atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.
g. Pasal 76C
(1)
Benda dan/atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 76A dapat dilelang untuk
negara.
(2)
Pelaksanaan lelang dilakukan oleh badan lelang negara sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3)
Uang hasil pelelangan dari hasil penyitaan tindak pidana perikanan disetor
ke kas negara sebagai penerimaan negara bukan pajak.
2. Undang-undang nomor 17
tahun 2008 tentang Pelayaran.
a. Pasal 276
(1) Untuk
menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi
penjagaan dan penegakan peraturan
perundang-undangan di laut dan pantai.
(2)
Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh
penjaga laut dan pantai.
(3) Penjaga
laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden
dan secara teknis
operasional dilaksanakan oleh Menteri.
b. Pasal 277
(1) Dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas:
a. melakukan
pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. melakukan pengawasan, pencegahan,
dan penanggulangan
pencemaran di laut; c. pengawasan dan penertiban
kegiatan serta lalu lintas kapal;
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah
air, serta eksplorasi
dan eksploitasi kekayaan laut;
e. pengamanan Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f. mendukung
pelaksanaan
kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
(2) Dalam
melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan koordinasi untuk:
a. merumuskan
dan menetapkan kebijakan umum
penegakan hukum di laut;
b. menyusun kebijakan dan standar
prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu;
c. kegiatan penjagaan,
pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran
hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah
perairan Indonesia; dan
memberikan
dukungan teknis administrasi di bidang penegakan
hukum di laut secara terpadu.
Pasal 278
c. Pasal 278
(1) Dalam
melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal
277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:
a. melaksanakan patroli laut;
b.
melakukan pengejaran seketika (hot
pursuit);
c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan d.
melakukan penyidikan.
(2) Dalam
melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik
Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
(3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan
Pemerintah.
d.
Pasal 279
(1) Dalam
rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh
prasarana berupa pangkalan
armada penjaga laut dan pantai yang berlokasi di
seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat
udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara.
3.
UNCLOS.
a. Pasal 56 UNCLOS tentang Hak-hak,
yurisdiksi dan Kewajiban Negara Pantai
dalam Zona Ekonomi Eksklusif.
1. Dalam
zona ekonomi eksklusif, Negara pantai mempunyai :
(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi
dan pengelolaan sumber kekayaan alam,
baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di
bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk
keperluan eksplorasi dan
eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
(b) Yurisdiksi
sebagaimana ditentukan dalam ketentuan yang
relevan Konvensi ini berkenaan dengan :
(i) pembuatan
dan pemakaian pulau buatan, instalasi
dan bangunan;
(ii) riset
ilmiah kelautan;
(iii) perlindungan dan pelestarian lingkungan laut;
(c) Hak
dan kewajiban lain sebagaimana ditentukan dalam
Konvensi ini.
2. Di
dalam melaksanakan hak-hak dan memenuhi kewajibannya
berdasarkan Konvensi ini dalam zona ekonomi eksklusif,
Negara Pantai harus memperhatikan sebagaimana mestinya
hak-hak dan kewajiban Negara lain dan harus bertindak dengan suatu cara sesuai dengan ketentuan
Konvensi ini.
b. Pasal 73 UNCLOS
tentang Penegakkan Peraturan Perundang-undangan Negara pantai.
1. Negara
pantai dapat, dalam melaksanakan hak berdaulatnya
untuk melakukan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di
zona ekonomi eksklusif
mengambil tindakan demikian, termasuk menaiki kapal, memeriksa, menangkap dan melakukan proses peradilan, sebagaimana diperlukan untuk menjamin
ditaatinya peraturan
perundang-undangan yang ditetapkannya sesuai dengan
ketentuan Konvensi ini.
2. Kapal-kapal
yang ditangkap dan awak kapalnya harus segera
dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak atau bentuk jaminan lainnya.
3. Hukuman
Negara pantai yang dijatuhkan terhadap pelanggaran
peraturan perundang-undangan perikanan di zona ekonomi
eksklusif tidak boleh mencakup pengurungan, jika tidak ada perjanjian sebaliknya antara Negara-negara yang bersangkutan,
atau setiap bentuk hukuman badan lainnya.
c. Pasal 77 UNCLOS Hak Negara pantai atas
Landas Kontinen.
1. Negara pantai menjalankan hak berdaulat di landas kontinen untuk
tujuan mengeksplorasinya dan mengekploitasi sumber
kekayaan alamnya.
2. Hak yang tersebut dalam ayat 1 di atas adalah eksklusifnya dalam arti bahwa apabila
Negara pantai tidak mengekplorasi landas
kontinen atau mengekploitasi sumber kekayaan alamnya, tiada seorangpun dapat melakukan kegiatan itu
tanpa persetujuan tegas Negara pantai.
3. Hak suatu Negara pantai atas landas kontinen tidak tergantung pada
pendudukan (okupasi), baik efektif atau tidak tetap
(notinal), atau pada proklamasi secara jelas apapun.
4. Sumber kekayaan alam tersebut dalam Bab ini terdiri dari sumber
kekayaan mineral dan sumber kekayaan non hayati lainnya pada dasar laut dan tanah di
bawahnya, bersama dengan organisme
hidup yang tergolong jenis sedenter yaitu organisme yang pada tingkat yang sudah dapat dipanen dengan tidak bergerak berada
pada atau di bawah dasar laut atau tidak dapat bergerak
kecuali jika berada dalam kontak pisik tetap dengan dasar laut atau tanah dibawahnya.
d. Pasal 111 Hak
Pengejaran Seketika (Right of hot pursuit)
1.
Pengejaran seketika suatu kapal
asing dapat dilakukan apabila
pihak yang berwenang dari Negara pantai mempunyai alasan cukup untuk mengira bahwa kapal
tersebut telah melanggar peraturan
perundang-undangan Negara itu. Pengejaran demikian harus dimulai pada saat kapal asing atau salah
satu dari sekocinya ada
dalam perairan pedalaman, perairan kepulauan, laut teritorial atau zona tambahan negara
pengejar, dan hanya boleh diteruskan di
luar laut teritorial atau zona tambahan apabila pengejaran itu tidak terputus. Adalah tidak perlu
bahwa pada saat kapal asing yang berada dalam laut teritorial atau zona
tambahan itu menerima
perintah untuk berhenti, kapal yang memberi perintah itu juga berada dalam laut teritorial atau zona
tambahan. Apabila kapal
asing tersebut berada dalam zona tambahan, sebagaimana diartikan dalam pasal 33, pengejaran hanya dapat dilakukan apabila
telah terjadi pelanggaran terhadap hak-hak untuk perlindungan mana zona itu telah
diadakan.
2. Hak pengejaran seketika harus berlaku,
mutatis mutandis bagi
pelanggaran-pelanggaran di zona ekonomi eksklusif atau di landas kontinen, termasuk
zona-zona keselamatan disekitar instalasi-instalasi
di landas kontinen, terhadap peraturan perundang-undangan Negara pantai
yang berlaku sesuai dengan Konvensi
ini bagi zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen, termasuk zona keselamatan demikian.
5. Hak
pengejaran seketika dapat dilakukan hanya oleh kapal- kapal perang atau pesawat udara militer atau
kapal-kapal atau pesawat
udara lainnya yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara
dalam dinas pemerintah dan
berwenang untuk melakukan tugas itu.
Pengawas Perikanan
.
Ketentuan
pasal 66 UU nomor 45/2009 tentang perikanan, mengatur tentang Pembentukan Pengawas
Perikanan yang bertugas untuk mengawasi
tertib pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan
di bidang perikanan. Pengawas Perikanan ini dalam melaksanakan tugasnya dapat
melakukan tindakan khusus berupa pembakaran dan/atau penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing berdasarkan
bukti permulaan yang cukup sebagaimana yang diatur oleh Pasal 69 ayat 4 UU
nomor 45/2009..
Pengadilan
perikanan.
Berdasarkan
pasal 71 Undang-undang 45 tahun 2009 tentang
Perikanan, telah dibentuk Pengadilan Perikanan yang bertugas untuk memeriksa, mengadili,
dan memutus tindak pidana di bidang perikanan.
Pengadilan
ini berwenang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutuskan perkara
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia, baik yang dilakukan oleh warga negara Indonesia maupun
warga negara asing.
Pertentangan antara
Pengawas Perikanan versus Pengadilan Perikanan
Kewenangan
Pengawas Perikanan untuk penenggelaman kapal
perikanan yang berbendera asing sebagaimana yang diatur oleh Pasal 69 ayat
4 UU nomor 45/2009 bertentangan dengan pasal 71 Undang-undang 45 tahun 2009 tentang Perikanan, yang memberikan kewenganan
kepada Pengadilan Perikanan yang untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus tindak pidana di bidang perikanan baik yang dilakukan oleh warga negara
Indonesia maupun warga negara asing.
Disini
sangat jelas bahwa setiap kapal asing yang ditangkap harus terlebih dahulu
dibawa kepengadilan, baru kemudian diputuskan oleh pengadilan apakah kapal itu
dibakar, ditenggelamkan atau dilelang.
Pertentangan Pengawas
Perikanan versus UNCLOS
Penenggelaman kapal perikanan yang berbendera asing oleh
Pengawas Perikanan juga bertentangan dengan pasal 73 ayat 2 UNCLOS yang
mengatur bahwa Kapal-kapal yang ditangkap dan awak
kapalnya harus segera dibebaskan setelah diberikan suatu uang jaminan yang layak
atau bentuk jaminan lainnya. Selain itu juga bertenangan dengan dengan pasal 73
ayat 1 UNCLOS yang mengatur bahwa peraturan perundangan negara pantai harus
sesuai dengan UNCLOS.
Tugas Kapal
Kesatuan penjaga Laut dan Pantai (KPLP).
Untuk
menjamin terlaksananya Keamanan dan Keselamatan pelayaran di laut, berdasarkan pasal 276 Undang-undang nomor 17 tahun 2008
tentang Pelayaran dibentuk Kesatuan Pengamanan Laut dan Pantai yang bertanggung
jawab langsung kepada presiden.Tugas KPLP sebagaimana yang diatur oleh UU 17 tahun
2008 tentang Pelayaran adalah : a. melakukan pengawasan keselamatan dan
keamanan pelayaran;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan
pencemaran di laut; c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas
kapal;
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air,
serta eksplorasi dan eksploitasi
kekayaan laut;
e. pengamanan Sarana
Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f. mendukung
pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
Kewenangan Kapal KPLP
Kewengangan KPLP
sebagaimana yang diatur pada pasal 278 ayat 1UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran
adalah : a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
c. memberhentikan dan
memeriksa kapal di laut; dan d. melakukan penyidikan.
Untuk melaksanakan
kewenangan nya itu KPLP melaksanakan tugas sebagai
Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebaimana yang diatur oleh pasal 278 ayat
2 UU 17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Status Kapal KPLP.
Dalam melaksanakan
tugasnya, KPLP didukung oleh sarana prasaran berupa kapal negara dan pesawat udara negara sebagaimana yang diatur oleh
pasal 279 ayat 1 UU 17 tahun 2008
tentang Pelayaran. Kapal Negara adalah
kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang diberi
fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya, sebagaimana
yang diatur pada pasal 1 ayat 38 UU/17 tahun 2008 tentang Pelayaran.
Tugas Kapal
Pengawas Perikanan.
Pengawas
perikanan ini dilengkapi dengan kapal sebagaimana diatur pada pasal 66 C UU
nomor 45/2009 tentang Perikanan, yang dikenal dengan sebutan Kapal Pengawas Perikanan. Kapal
pengawas perikanan berfungsi melaksanakan pengawasan dan penegakan hukum di
bidang perikanan dalam wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia.
Status Kapal perikanan.
Status
Kapal Pengawas Perikanan adalah kapal
pemerintah yang diberi tanda tertentu untuk melakukan pengawasan dan penegakan
hukum di bidang perikanan sebagaimana yang diatur oleh pasal 69 ayat 1 UU
nomor 45 /2009 tentang Perikanan.
Tugas Kapal
Pengawas Perikanan versus Tugas Kapal Kesatuan penjaga Laut dan Pantai (KPLP).
Bila
dikaitkan dengan hak berdaulat Indonesia di ZEE maka sangat terlihat bahwa
kewenangan Kapal Pengawas Perikanan ini hanya menyangkut sumber kekayaan alam
hayati saja atau hanya menyangkut badan
air laut saja. Itulah sebabnya kapal ini sangat tidak efektif bila
ditugaskan ke ZEE. Sedangkan tugas Kapal KPLP sangat lengkap, mulai dari
hal-hal yang menyangkut :
a. Permukaan air laut, yaitu melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran; melakukan
pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan
pencemaran di laut; pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal; mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian
dan pertolongan jiwa di laut.
b. Badan air laut, yaitu eksplorasi dan
eksploitasi kekayaan laut
c. Dasar laut dan tanah dibawahnya yaitu pengawasan
dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, pengamanan Sarana Bantu Navigasi- Pelayaran;
Kewenangan Penegakan
Hukum di ZEE.
Mengingat di ZEE hukum yang
berlaku tidak hanya hukum nasional tetapi juga hukum internasional, maka ketentuan
yang diatur oleh UNCLOS harus pula ditaati.
Hukum nasional.
Pasal 73 ayat 2 UU/45
tahun 2009 tentang Perikanan menyatakan bahwa (2) Selain penyidik TNI AL,
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan berwenang melakukan penyidikan terhadap
tindak pidana di bidang perikanan yang terjadi di ZEEI.
Dengan demikian menurut UURI
Kapal Pengawas Perikanan dapat melakukan penegakan hukum di ZEE Indonesia.
Hukum internasional.
Pasal 73 ayat 1 UNCLOS menyatakan
bahwa negara pantai dalam melakukan proses peradilan,
perlu menjamin ditaatinya peraturan perundang-undangan yang ditetapkannya
sesuai dengan ketentuan Konvensi ini. Jadi aturan perundangan Indonesia yang
menyangkut ZEE tidak boleh bertentangan dengan UNCLOS.
Pasal 111 ayat 5 UNCLOS mengatur bahwa Hak pengejaran seketika atau
hot pursuit dapat dilakukan hanya oleh kapal- kapal
perang atau pesawat udara militer atau kapal-kapal atau pesawat udara lainnya
yang diberi tanda yang jelas dan dapat dikenal sebagai kapal atau pesawat udara dalam dinas pemerintah dan berwenang untuk melakukan tugas itu.
Hot pursuit adalah pengejaran pelanggar hukum dilaut mulai dari laut
teritorial, menuju ZEE, terus kelaut lepas dan berakhir diwilayah laut
terirorial negara lain sebagaimana yang diatur oleh ketentuan pada Pasal 111
ayat 1 UNCLOS.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kapal yang berwenang untuk
masuk ke wilayah ZEE adalah Kapal Perang dan kapal dalam dinas pemerintah yang
dan berwenang untuk tugas itu. Artinya walaupun kapal pemerintah tapi tidak
berwenang maka TIDAK BOLEH melakkan penegakan hukum di ZEE.
Bagi Indonesia ada dua kapal yang dapat diartikan sebagai "kapal
dalam dinas pemerintah" yaitu kapal KPLP dan Kapal Pengawas Perikanan.
Akan tetapi dari Kewenagannya sangat jelas bahwa kewenagan kapal KPLP sangat
luas dan flexible sedangkan kewenagan Kapal Pengawas perikanan hanya untuk
bidang perikanan saja. Mengingat pelanggaran hukum yang sangat mungkin terjadi
di ZEE tidak hanya bidang perikanan saja, maka kapal yang paling pas kewenangan
untuk bertugas baik menurut hukum nasional dan hukum internasional di ZEE
adalah kapal KPLP.
Walaupun menurut hukum nasional Kapal Pengawas Perikanan juga
ditugaskan ke ZEE, tapi yang mengingat di ZEE ada kewajiban untuk tunduk kepada
hukum internasional sebagaimana diatur pada Pasal 73 ayat 1 UNCLOS, maka mau tidak mau
kapal yang dapat ditugaskan di ZEE hanya KRI dan Kapal KPLP.
Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan
hal-hal sebagai berikut :
1. Terlihat jelas bahwa dalam penegakan hukum dibidang
Perikanan terjadi pertentangan intern hukum nasional yaitu antara Pasal 69 ayat 4 UU
nomor 45/2009 yang bertentangan dengan pasal 71 Undang-undang 45 tahun 2009 tentang Perikanan, dan pertentangan antara hukum nasional dengan hukum internasional yaitu
antara Pasal
69 ayat 4 UU nomor 45/2009 bertentangan dengan pasal 73 ayat 1 dan 2 UNCLOS.
2. Dalam penugasan kapal-kapal untuk
menegakan hukum di ZEE terjadi pertentangan antara hukun nasional dan hukum
internasonal yaitu antara Pasal 73 ayat 2 UU/45 tahun 2009 tentang Perikanan
yang bertentangan dengan Pasal 111 ayat 5 UNCLOS.
3. Untuk
mendapatkan kepastian hukum dalam penegakan hukum dibidang perikanan khususnya
di ZEE, maka Undang-undang nomor 45 tahun 2009 tentang perikanan harus direvisi
untuk disinkronkan dengan UNCLOS 82.
selamat sore, postingan bapak sangat membantu materi tesis yang sedang saya tulis. maaf, boleh saya meminta email bapak untuk bertanya lebih lanjud? terimaksih.
BalasHapusemail saya solemanponto78@gmail.com
HapusHP dan WA saya 0818885933 silahakn dihubungi setiap saat.
Hapus