Oleh Laksda TNI Soleman B. Ponto ST, MH,
Kabais TNI 2011-2013
Berangkat tugas
dianggap mati,
hilang tidak
dicari, kalah dicaci maki,
menang tidak
dipuji.
Kutipan
diatas adalah semboyan yang terkenal dilingkungan intelijen. Bagi pihak yang
memilih berkarier dibidang intelijen, pasti sangat akrab dengan istilah ini. Dan
tentunya akan siap menerima konsekuensi seperti semboyan tersebut.
Dalam
doktrin operasi intelijen, orang yang menerima perintah disebut agen, sedangkan
orang yang memberi perintah disebut agen
handlers. Operasi dilakukan dengan sistim Sel. Artinya antara agen dan agen
handlers tidak boleh ada bukti sama sekali bahwa mereka memiliki hubungan.
Secara resmi diantara keduanya tidak boleh ada hubungan sama sekali. Artinya
hubungan diantara keduanya harus dirahasiakan. Apabila agen tertangkap, maka agen handlers secara terbuka akan
menyangkalnya.
Penculikan
atau Penghilangan Paksa dalam operasi intelijen dikenal sebagai penggalangan
keras, yaitu korban dihilangkan sama sekali.
DKP dan Kerja
Intelijen
Dari
Surat rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang kini beredar luas,
dinyatakan bahwa Prabowo Subianto melakukan operasi Intelijen penculikan atau
lebih dikenal dengan penghilangan paksa. Dalam dunia intelijen, hal ini
bukanlah luar biasa, karena setiap anggota Kopasus memang memiliki kemampuan
untuk melaksanakan operasi intelijen.
Dengan
demikian bila ditinjau dari sisi operasi Intelijen, maka tidaklah salah pernyataan
Wiranto yang menyangkal adanya perintah untuk melakukan operasi penculikan
aktivis. Demikian juga anggota tim Mawar, tidaklah salah apabila mereka dalam
persidangan menyangkal adanya perintah dari atasan. Mereka menyatakan bahwa
penculikan itu dilakukan inisiatif sendiri.
Setidaknya
ada tiga hal utama yang menjadi catatan terhadap fenomena ini.
Pertama, operasi intelijen itu menjadi
Gagal Total karena terbongkar. Hal ini disebabkan (sebagian) korban yang
diculik dilepaskan kembali. Hal ini telah melanggar doktrin operasi intelijen,
yaitu korban harus betul–betul hilang tanpa jejak.
Kedua, tim DKP telah mengetahui
adanya perintah dari Prabowo (sebagai agen handlers dalam operasi intelijen)
sebagai Danjen Kopassus kepada tim Mawar dan tim Merpati.
Ketiga, adanya pengakuan secara tidak
langsung dari Prabowo ketika menjawab pertanyaan dari Jusuf Kalla dalam debat
pilpres beberapa hari lalu. Prabowo berkata, “atasan saya sudah tahu”. Idealnya,
dalam dunia intelijen, jawaban Prabowo terhadap Jusuf Kalla saat debat tersebut
adalah, ignore, atau menghindar. Sama
halnya dengan jawaban anggota tim mawar yang dalam persidangan menyangkal
mendapat perintah dari atasan mereka dalam melakukan penculikan.
Pelanggaran Hukum
Sekali
lagi, dari ketiga fenomena diatas dapat disimpulkan bahwa Operasi Intelijen Penculikan
aktivis tersebut, menjadi gagal. Dalam operasi intelijen terkenal juga istilah,
Tidak ada alasan pembenaran bagi para
pelaku operasi intelijen yang gagal. Akibat dari kegagalan operasi itu,
maka para pelakunya secara otomatis akan tertuduh sebagai pelanggar hukum.
Hukum-hukum
yang dilanggar antara lain, Pasal 55 KUHP: mereka yang melakukan, yang menyuruh
melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan. Pasal 328 KUHP: Barang
siapa membawa pergi seorang dari tempat kediamannya atau tempat tinggalnya
sementara dengan maksud untuk menempatkan orang itu secara melawan hukum di
bawah kekuasaannya atau kekuasaan orang lain, atau untuk menempatkan dia dalam
keadaan sengsara, diancam karena penculikan dengan pidana penjara paling lama
dua belas tahun.
Rujukan
lainnya, Pasal 333 KUHP ayat (1)
Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum merampas kemerdekaan seseorang,
atau meneruskan perampasan kemerdekaan yang demikian, diancam dengan pidana
penjara paling lama delapan tahun. Pasal 4, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM
menyatakan: Hak untuk hidup, hak
untuk tidak disiksa, hak kebebasan
pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak,
hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk
tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia
yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apapun dan oleh siapapun.
Tidak hanya rujukan hukum nasional, pada Pasal 1 Konvensi Internasional tentang Perlindungan
semua orang dari Penghilangan Paksa. Dinyatakan, (1) Tidak seorangpun dapat dihilangkan secara
paksa. (2) Tidak
ada pengecualian dalam keadaan apapun, baik dalam keadaan perang atau ancaman
perang, ketidakstabilan politik dalam negeri atau keadaan darurat umum lainnya,
dapat dijadikan pembenaran tindak penghilangan paksa.
Selain
itu, pada Pasal 6 Konvensi Internasional
tentang Perlindungan semua orang dari Penghilangan Paksa
dinyatakan, Setiap Negara Pihak
akan mengambil langkah-langkah yang diperlukan
untuk menghukum orang-orang yang bertanggung jawab, setidaknya bagi (a) Setiap
orang yang melakukan, memerintahkan, meminta atau menyebabkan upaya-upaya untuk
melakukan, sebagai pelaku atau turut berperan dalam penghilangan paksa; Dan (b) Seorang atasan yang: mengetahui, atau
secara sadar mengbaikan
informasi yang jelas
mengindikasikan bahwa anak buah yang berada dalam kekuasaannya dan
pengawasannya melakukan atau akan melakukan kejahatan penghilangan paksa
Pembelajaran Bagi
Intelijen TNI
Atas
pelanggaran hukum diatas, konstitusi telah memberikan solusinya. Pada Pasal 4
Undang-undang nomor 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM disebutkan bahwa Pengadilan
HAM bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus perkara pelanggaran hak asasi
manusia yang berat. Pada pasal 7 UU yang sama dinyatakan bahwa Pelanggaran hak
asasi manusia yang berat meliputi (a) kejahatan genosida dan (b) kejahatan
terhadap kemanusiaan. Dan Penghilangan orang secara paksa termasuk dalam
kategori diatas.
Merujuk
pada doktrin Intelijen dan konsukensi (hukum) nya, maka perlu diberikan catatan
penting bahwa gagalnya suatu operasi intelijen dapat berbuntut sangat panjang
bagi para pelakunya. Baik itu agen handler maupun agennya sendiri. Baik cepat,
maupun lambat.
Oleh
karenanya, fenomena kasus penculikan aktivis ini hendaknya menjadi pelajaran
bagi setiap pelaku operasi intelijen, khususnya para pelaku operasi intelijen
dilingkungan TNI. Doktirn operasi intelijen mutlak untuk dilaksanakan tanpa
pengecualian. Terlalu mahal harga sebuah pelanggaran terhadap doktrin operasi
intelijen. Disinilah dibutuhkan para intelijen (agen dan agen handler) yang
tahu posisi, mengerti peran dan langkah yang harus ditempuh. Dan ini bukan
ditempuh melalui pendidikan akademis, tapi pembentukan karakter yang terilhami
dari jiwa yang tertanam dengan menjadikan ‘idola’ sebagai rujukannya.
Pasalnya,
bila terjadi kegagalan operasi intelijen, tuduhan sebagai pelanggar HAM berat
sudah menunggu. Pintu pengadilan HAM terbuka lebar, karena tidak ada alasan
pembenaran bagi para pelakunya.
Dan
kini nyata dihadapan. Tahun 1998, terdengan berita, Letjen TNI Prabowo Subianto
diberhentikan dari dinas militer. Dikabarkan bahwa ia diberhentikan karena
diduga terlibat dalam penculikan aktivis, dimana beberapa orang dari yang
diculik itu dikembalikan, dan masih adalagi 13 orang aktivis yang belum
diketahui rimbanya. Enam Belas tahun berikutnya, public dikejutkan dengan
beredarnya Surat Keputusan Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang menjadi dasar
pemberhentian Letjen Prabowo Subianto dari dinas militer.
Salah
satu pertimbangan yang digunakan untuk memberhentikan Prabowo Subianto dari
dinas militer, sebagaiamana dalam Surat DKP tersebut adalah:
Memerintahkan
anggota satgas Mawar, satgas Merpati melalui Kolonel Inf Chairawan (Dan Grup 4)
dan Mayor Inf Bambang Kristiono untuk melalukan pengungkapan, penangkapan, dan
penahanan aktivis kelompok radikal dan PRD yang diketahuinya bukan menjadi
wewenangnya yang mengakibatkan Andi Arif, Aan Rudianto, Mugianto, Nezar Patria,
Pius Lustrilanang dan Desmon J. Mahesa menjadi korban.
Kolonel
Inf Chairawan, Mayor Inf Bambang, para Perwira dan para Bintara anggota satgas
Merpati dan satgas mawar yakin akan kebenaran tugas karena menurut Danjen
“sudah dilaporkan ke Pimpinan” dan “atas perintah Pimpinan”.
Semoga
aparat penegak hukum dapat menuntaskan kegagalan kerja intelijen ini agar pihak
yang terkait tidak lagi tersandera dan bagi para intelijen yunior bisa
mengambil pelajaran yang sangat berarti (*)
Tulisan ini dimuat di Majalah Gatra edisi Juni 2014
Karena tulisan pak Soleman, saya mau membacanya,, dan ternyata menarik sekali utk saya sebagai ibu rumah tangga., bertambah pengetahuan saya dlm dunia intelejen.
BalasHapusTetrima kasih pak Soleman Ponto. May God bless you..
Dapatkah saya berperan untuk menjadi Intelegen dari (sipil )
BalasHapusApa saya bisa jadi intelijen . Saya yatim piatu sebatang kara. Saya siap.. 085755394164
BalasHapusApa saya bisa jadi intelijen . Saya yatim piatu sebatang kara. Saya siap.. 085755394164
BalasHapusHello selamat malam semua
BalasHapus