Oleh Laksda TNI Soleman B. Ponto ST, MH,
Kabais TNI 2011-2013
Ringkasan
Bersaksi bagi
tim DKP dan membela diri bagi Prabowo, semuanya adalah proses yang hanya dapat dilakukan di pengadilan HAM,
karena tindak pidana yang dilakukan oleh Prabowo masuk dalam katagori Pelanggaran
HAM berat.Membela diri di pengadilan
HAM adalah satu-satunya jalan bagi Prabowo untuk membersihkan
namanya dari tuduhan sebagai pelanggar HAM. Apabila hal ini tidak dilakukannya,
maka ia akan terus tersandera oleh predikat pelanggara HAM yang akan terus menempel
di namanya.
JAKARTA, 4 Juli 2014. Sejak beredarnya Surat Rekomendasi Dewan Kehormatan Perwira (DKP) yang isinya merekomendasikan diberhentikannya Letjen TNI Prabowo Subianto dari dinas militer, telah muncul berbagai tanggapan. Ada yang menilai bahwa DKP tidak sah, ada pula yang menilai suratr ekomendasi itu palsu. Selain itu, ada juga yang mempersoalkan bahwa Letjen TNI Prabowo Subianto tidak dipecat, tapi diberhentikan dengan hormat, ada pula yang mengatakan bahwa beliau diberhentikan dengan tidak hormat dll. Untuk menjawab hal itu, perlu diperhatikan fakta-fakta sebagai berikut :
DKP dari masa ke masa
Pada tahun 1952 silam
Menhan Sri Sultan HB IX membentuk Dewan Kehormatan untuk menyelesaikan kasus
Kolonel Bambang Supeno. Selanjutnya kasus PRRI-Permesta diselesaikan lewat
Dewan Kehormatan, Selanjutnya tahun
1980-an ada kasus Santa Cruz di Timor-Timor. KSAD kala itu membentuk Dewan
Kehormatan Perwira dan Mayjen Feisal Tanjung kala itu bertindak sebagai Ketua
Dewan Kehormatan Perwira. Tahun 1998 Panglima ABRI dalam menghadapi kasus
penculikan juga menggunakan perangkat Dewan Kehormatan Perwira untuk mengetahui
sejauh mana perwira menengah maupun perwira tinggi yang terlibat dalam kasus
itu, yang pada akhirnya Dewan Kehormatan Perwira mengeluarkan rekomendasi
pemecatan Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dari keprajuritan TNI.
DKP dalam
Undang-undang RI
Dari peraturan perundangan RI,
DKP pernah diatur dalam Pasal 38
Undang-undang RI nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI yang selengkapnya
berbunyi sbb :
(1) Prajurit Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia diberhentikan tidak dengan hormat, karena mempunyai tabiat dan
perbuatan lain yang nyata-nyata dapat merugikan disiplin keprajuritan atau
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.
(2) Pemberhentian sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1), terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan pendapat Dewan
Kehormatan Perwira.
Undang-undang nomor 2
tahun 1988 tentang Prajuruit ABRI ini kemudian diganti dengan Undang-undang RI
nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, dimana DKP diatur pada Pasal 62 yang selengkapnya berbunyi :
(1) Prajurit diberhentikan
dengan tidak hormat karena mempunyai tabiat dan/atau perbuatan yang nyata-nyata
dapat merugikan disiplin keprajuritan atau TNI.
(2) Pemberhentian sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terhadap perwira dilaksanakan setelah mempertimbangkan
pendapat Dewan Kehormatan Perwira.
Dengan demikian
dapat dilihat bahwa sebelum secara resmi diatur oleh Undang-undang, DKP sudah pernah
digunakan beberapa kali untuk menyelesaikan permasalahan yang timbul di dalam organisasi
tentara. Hal ini menunjukkan bahwa penyelesaian masalah dalam tentara lewat perangkat
DKP sudah merupakan kebiasaan. Dari
kebiasaan ini kemudian dilegalkan lewat Undang-undang nomor 2 tahun 1988
tentang Prajurit ABRI, yang kemudian digantikan oleh Undang-undang nomor 34
tahun 2004 tentang TNI. Oleh karena itu, maka keberadaan DKP adalah sah atau
legal. Dengan sendirinya maka dokumen yang dihasilkan oleh DKP secara otomatis juga
legal. Hal ini terbukti bahwa Letjen TNI Prabowo Subianto akhirnya harus berhenti
dari dinas militer karena adanya Surat Rekomendasi dari DKP.
Diberhentikandenganhormat, dipecat dengan hormat,
diberhentikan dengan tida khormat, dipecat dengan hormat atau dipecat dengan tidak
hormat ???
Dalam surat
DKP dengan jelas terbaca bahwa menyarankan agar Letjen Prabowo Subianto diberhentikan dari dinas keprajuritan.
Mengingat kasus Prabowo ini terjadi pada tahun 1998, maka Undang-undang yang
berlaku saat itu adalahUndang-undang RI
nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI. Dari bunyi Pasal 38 ayat 1 dan 2, dapat disimpulkan
bahwa setiap kasus yang diselesaikan lewat DKP, maka rekomendasinya hanya satu yaitu
“DIBERHENTIKAN DENGAN TIDAK HORMAT”
.
Dalam kasus Letjen
TNI Prabowo Subianto, kata DIPECAT apakah DENGAN HORMAT atau TIDAK DENGAN
HORMAT, itu tidak pernah ditemukan, karena beliau tidak pernah masuk Pengadilan
Militer. Kewenangan untuk memecat hanya dimiliki oleh Hakim Militer, sehingga
kata DIPECAT apakah itu dengan hormat atau tidak dengan hormat hanya akan ditemukan
dalam keputusan hakim militer.
Kewenangan DKP
Kewenangan
DKP diatur pada Pasal 38 Undang-undang RI nomor 2 tahun 1988 tentang Prajurit ABRI atau Pasal 62 Undang-undang RI
nomor 34 tahun 2004 tentang TNI, yaitu untuk MEMBERHENTIKAN DENGAN TIDAK HORMAT Prajurit yang mempunyai tabiat dan perbuatan lain yang nyata-nyata dapat
merugikan disiplin keprajuritan atau Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
atau TNI. Karena itulah maka bunyi rekomendasi
dari surat DKP seharusnya DIBERHENTIKAN DENGAN TIDAK HORMAT sesuai dengan
kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang. Tapi
mengapa bunyinya hanya DIBERHENTIKAN, perlu ditanyakan kepada tim DKP yang saat
ini sebagian besar masih hidup.
DKP tidak memiliki
kewenangan untuk mengadili pelanggaran tindak pidana. Apabila ditemukan adanya
tindak pidana yang dilakukan oleh Letjen Prabowo Subianto, maka temuan itu
harus diberikan kepada yang berwenang yaitu, Pengadilan Militer saat itu atau
Pengadilan HAM saat ini karena kasus penculikan masuk dalam katagori
Pelanggaran HAM berat.
Keaslian surat rekomendasi DKP
Saat ini ada
yang meragukan keaslian dari Surat Rekomendasi DKP yang beredar di masyarakat. Hal
itu wajar-wajarsaja. Dalam Surat rekomendasi dari Dewan Kehormatan Perwira (DKP) Nomor KEP/03/VIII/1998/DKP tanggal 21 Agustus
1998, dinyatakan bahwa Prabowo direkomendasikan untuk diberhentikan dari TNI atas beberapa
pelanggarandi antaranya Prabowo dinilai terlibat dalam kasus tindak pidana penculikan
para aktivis pro-demokrasi 1997/1998, mengabaikan sistem operasi, hierarki,
disiplin dan hukum yang berlaku di lingkungan ABRI.Keabsahan surat ini dijamino leh Letjen TNI
Fahrul Razi, yang merupakan wakil Ketua tim DKP. "Tandatangan dan bunyi keputusannya
valid," kata Fachrul melalui pesan pendek kepada Tempo, Senin malam, 9
Juni 2014. Demikian juga Pak Wiranto, yang menjabat sebagai Panglima ABRI saat itu
juga menyatakan bahwa sebagai Panglima ABRI dalam menghadapi kasus penculikan beliau
menggunakan perangkat Dewan Kehormatan Perwira untuk mengetahui sejauh mana
perwira menengah maupun perwira tinggi yang terlibat dalam kasus itu. Kemudian
pada akhirnya Dewan Kehormatan Perwira mengeluarkan rekomendasi pemecatan
Pangkostrad Letjen Prabowo Subianto dari keprajuritan TNI.
Dengan demikian
Wiranto, Fachrul Razi, serta anggota tim DKP lainnya setidaknya merupakan orang
yang mengalami sendiri, mendengar sendiri tentang suatu peristiwa (dhi kasus
Penculikan yang menyangkut Letjen TNI Prabowo Subianto), sehingga mereka
menerima implikasi hukum yaitu harus menjadi saksisebagaimanadiaturpadaPasal 1 angka 27
KUHAP, yaitu :
“Keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu.”
Anggota tim
DKP wajib menjelaskan tindak pidana yang dilakukan oleh Pak Prabowo. Apabila tim
DKP tidak mau menjelaskan dan bersaksi akan hal itu, maka mereka juga akan dihukum
sebagai pelanggar HAM berat. Hal ini ditegaskan pada Pasal 6 Konvensi Internasional tentang Perlindungan semua orang dari Penghilangan
Paksa,yaitu :
1. Setiap Negara Pihak
akan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan untuk menghukum
orang-orang yang bertanggung jawab, setidaknya bagi:
(a) Setiap orang yang melakukan, memerintahkan, meminta atau menyebabkan
upaya-upaya untuk melakukan, sebagai pelaku atau turut berperan dalam
penghilangan paksa;
(b) Seorang atasan yang:
(i) mengetahui, atau
secara sadar mengabaikan
informasi yang jelas
mengindikasikan bahwa anak buah yang berada dalam kekuasaannya dan
pengawasannya melakukan atau akan melakukan kejahatan penghilangan paksa.
Bersaksi bagi
tim DKP dan membela diri bagi Prabowo, semuanya adalah proses yang hanya dapat dilakukan di pengadilan HAM,
karena tindak pidana yang dilakukan oleh Prabowo masuk dalam katagori Pelanggaran
HAM berat. Ketua Dewan Kehormatan Perwira saat itu adalah Jenderal TNI Subagyo Hadi
Siswoyo, Sekretaris Letjen TNI Djamari Chaniago, Wakil Ketua Letjen TNI Fahrul Razi,
anggotaLetjen Susilo Bambang Yudhoyono, dan anggota Letjen Yusuf Kartanegara.
Satu-satunya jalan keluar
Membela diri
di pengadilan HAM adalah satu-satunya jalan bagi Prabowo untuk membersihkan namanya dari tuduhan sebagai pelanggar HAM. Apabila hal ini
tidak dilakukannya, maka ia akan terus tersandera oleh predikat pelanggara HAM
yang akan terus menempel di namanya. Akan sangat disayangkan apabila ia terpilih
sebagai presiden nantinya, predikat pelanggar HAM masih akan terus ikut besertanya,
dan kita rakyat Indonesia juga nantinya akan menanggung malu.
Profesionalisme
TNI
Dengan berhentinya
Letjen TNI Prabowo dari dinas keprajuritan, maka sejak saat itu ia tidak
memiliki hubungan formal lagi dengan TNI. Segala sesuatu yang timbul saat ini
dan berhubungan dengan Prabowo, tidak lagi menjadi tanggung jawab TNI. Hal ini
dikecualikan apabila ada bukti baru yang menyangkut anggota TNI yang masih
aktif saat ini. Apabila bukti baru yang ada itu tidak menyangkut anggota TNI
aktif, maka TNI tidak bisa ikut campur. Semuanya diserahkan kepada mekanisme
pengadilan HAM, karena kasus Penculikan masuk dalam katagori pelanggaran HAM
berat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar