10 Oktober 2025

Garibaldi di Laut Nusantara: Gagah di Parade, Tapi Tak Bergigi di ZEEI dan ALKI

 Garibaldi di Laut Nusantara: Gagah di Parade, Tapi Tak Bergigi di ZEEI dan ALKI

Jakarta 10 Okteober 2025
Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH

Pendahuluan

Kapal induk selalu membawa aura kekuatan dan kebanggaan nasional. Ia dianggap simbol supremasi laut, kebanggaan armada, dan alat diplomasi keras (hard power). Namun, tidak semua laut memerlukan kapal induk — apalagi laut kepulauan seperti Indonesia.

Ketika kapal induk Giuseppe Garibaldi-class dibicarakan sebagai kemungkinan platform operasi di wilayah Indonesia, banyak pihak tergoda oleh gambaran megahnya: dek penerbangan, hanggar pesawat, dan kemampuan komando gabungan laut–udara. Tetapi di balik semua itu, pertanyaan mendasarnya justru sederhana:
Apakah kapal seperti Garibaldi benar-benar memiliki daya gentar (deterrent effect) di wilayah ZEE dan ALKI Indonesia?

Konteks Operasi di Indonesia

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) bukanlah samudra terbuka.
Keduanya merupakan wilayah strategis dengan perairan dangkal, sempit, dan penuh aktivitas ekonomi serta sipil.

  • ZEE Indonesia membentang di laut Natuna, Arafura, Sulawesi, dan Samudra Hindia – bukan zona pertempuran, melainkan area penegakan hukum ekonomi.
  • ALKI I, II, dan III adalah jalur pelayaran internasional, tempat lalu lintas niaga dunia lewat di antara pulau-pulau Indonesia — penuh kapal niaga, tanker, dan kontainer.

Dalam konteks ini, ancaman utama bukanlah armada tempur musuh, melainkan:
penangkapan ikan ilegal, penyelundupan, pelanggaran batas ZEE, dan infiltrasi non-militer.

Garibaldi-class tidak didesain untuk menghadapi ancaman semacam itu.

Kapasitas Tempur Garibaldi

Garibaldi-class, meskipun disebut “kapal induk”, sejatinya lebih tepat disebut “light carrier / V/STOL cruiser”dengan bobot sekitar 13.000 ton. Ia hanya mampu membawa:

  • ±10–12 pesawat V/STOL (seperti Harrier atau drone tempur ringan),
  • Beberapa helikopter ASW atau SAR,
  • Pertahanan diri dengan rudal Aspide dan meriam 76 mm.

Kapal ini bukan kapal tempur multi-peran modern seperti kapal induk Amerika atau Prancis, melainkan platform transisi yang dirancang untuk mendukung operasi taktis di Laut Tengah.

Selain itu, sistem propulsinya COGAG (Combined Gas and Gas) dengan empat turbin GE LM2500, yang sangat boros bahan bakar.
Hasil perhitungan menunjukkan:

  • Pada 15 knot, BBM ± 6.145 liter/jam → Rp 2,3 miliar per hari.
  • Pada 20 knot, BBM ± 14.581 liter/jam → Rp 5,4 miliar per hari.
  • Setahun beroperasi penuh di wilayah tropis bisa menelan biaya Rp 1–2 triliun hanya untuk BBM.

Artinya, daya gentar Garibaldi lebih banyak terbakar menjadi asap gas panas daripada menjadi kekuatan tempur nyata.

Ketidaksesuaian Lingkungan dan Konsep Operasi

Indonesia tidak memiliki musuh yang perlu dihadapi dengan kapal induk besar.
Wilayah laut Indonesia adalah archipelagic sea domain, bukan theatre of war terbuka.
Garibaldi justru akan kesulitan:

  • Beroperasi di perairan sempit dan dangkal, seperti ALKI II atau Selat Makassar.
  • Bertahan lama di laut tanpa dukungan tanker besar.
  • Mendaratkan pesawat karena udara lembab tropis memperpendek jarak lepas landas dan menurunkan performa mesin pesawat V/STOL.
  • Menjadi sasaran besar dan lamban di perairan yang dipenuhi rudal jarak menengah dan drone modern.

Singkatnya, Garibaldi adalah “kapal besar di laut yang salah.”

Daya Gentar: Realitas atau Ilusi?

Efektivitas daya gentar ditentukan bukan oleh ukuran kapal, tetapi oleh relevansi kekuatan terhadap ancaman dan lingkungan operasionalnya.

  • Di Laut Cina Selatan, daya gentar muncul karena penguasaan domain – radar, drone, kapal cepat, rudal pantai, dan jaringan pengawasan satelit.
  • Di Indonesia, garis pantai panjang dan ribuan pulau membuat fleet kecil dan cepat jauh lebih efektif.

Garibaldi tidak memberi efek gentar terhadap kapal asing yang melanggar ZEE.
Kapal nelayan asing tidak gentar oleh kapal induk — mereka gentar oleh kapal patroli bersenjata yang cepat merapat dan menindak.

Bagi negara besar seperti Tiongkok atau Amerika Serikat, Garibaldi justru tidak menambah keseimbangan strategis.
Sebaliknya, kehadiran kapal sebesar itu di ALKI hanya akan:

  • Meningkatkan biaya logistik dan diplomatik,
  • Membatasi mobilitas armada kecil,
  • Dan memperlihatkan kelemahan strategi alutsista Indonesia — lebih mementingkan simbol daripada fungsi.

Alternatif yang Relevan untuk Indonesia

Daripada mengoperasikan satu Garibaldi, anggaran Rp 1–2 triliun per tahun dapat digunakan untuk:

  • Membangun 6–8 kapal OPV 50–60 meter buatan dalam negeri,
  • Dilengkapi sistem CODOG (diesel + gas) yang efisien,
  • Dapat beroperasi simultan di semua ALKI,
  • Dan memberikan kehadiran nyata (presence) yang lebih luas dan berkelanjutan.

Inilah kekuatan maritim sejati Indonesia: bukan satu kapal besar yang membakar uang, tetapi banyak kapal kecil yang menjaga laut dari Sabang sampai Merauke.

Kesimpulan

Garibaldi mungkin memiliki daya tarik politis, tapi tidak memiliki daya gentar strategis di ZEE dan ALKI Indonesia.
Ia gagah di parade, tapi tak bergigi di laut tropis.

Kapal ini adalah simbol dari paradigma lama — bahwa kekuatan laut diukur dari ukuran kapal, bukan dari kemampuan menjaga laut.
Indonesia membutuhkan kapal patroli cepat, korvet efisien, radar pantai, dan sistem intelijen maritim terintegrasi, bukan kapal induk yang memakan anggaran setara armada baru.

Dalam konteks Indonesia, Garibaldi bukan deterrent, melainkan pemborosan yang terapung di atas ego strategi lama.

 

 

“Garibaldi “: Kapal yang Lebih Banyak Membakar Uang daripada Bahan Bakar

 “Garibaldi “: Kapal yang Lebih Banyak Membakar Uang daripada Bahan Bakar

Jakarta 10 Oktober 2025
Oleh: Laksda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H.
Mantan Kepala Kamar Mesin KRI Badik dan KRI Keris yang juga menggunakan mesin pendorong Gas Turbin LM 2500

Pendahuluan

Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki garis pantai lebih dari 80.000 kilometer dan terdiri atas lebih dari 17.000 pulau. Kondisi geografis ini menuntut kehadiran kapal-kapal patroli cepat dan efisien untuk menjaga kedaulatan dan menegakkan hukum di wilayah lautnya. Dalam konteks tersebut, keputusan untuk mengoperasikan atau bahkan membeli kapal induk besar seperti Giuseppe Garibaldi-class—kapal induk buatan Italia dengan bobot sekitar 13.000 ton—menjadi langkah yang tidak sejalan dengan kebutuhan operasional, geografis, dan ekonomi Indonesia.

Kapal induk Garibaldi awalnya dirancang untuk iklim subtropis Mediterania, berfungsi sebagai platform operasi udara (V/STOL) dan komando laut jauh dalam lingkungan strategis yang stabil secara logistik dan dekat dengan pangkalan darat. Namun, ketika diaplikasikan di wilayah tropis Indonesia yang memiliki kondisi laut, suhu, dan infrastruktur logistik yang sangat berbeda, kapal jenis ini justru menjadi liabilitas anggaran dan beban operasional, bukan kekuatan strategis yang efisien.

Spesifikasi Teknis dan Fakta Operasional

Garibaldi-class menggunakan empat turbin gas General Electric LM2500 sebagai penggerak utama, dengan daya maksimum sekitar 60 MW (81.000 hp). Menurut data pabrikan, konsumsi bahan bakar spesifik (Specific Fuel Consumption / SFC) mesin LM2500 adalah 0,227 kg/kWh, yang setara dengan 227 gram bahan bakar per kilowatt-jam.

Dengan hukum daya kubik ( v³), kebutuhan energi meningkat tajam seiring kenaikan kecepatan. Hasil perhitungan menunjukkan bahwa pada kondisi tropis (+15% konsumsi karena efisiensi menurun akibat suhu dan kelembapan tinggi), Garibaldi-class mengonsumsi bahan bakar sebagai berikut:

Kecepatan

BBM per Jam

BBM per 24 Jam

Biaya BBM (Rp 15.600/l)

10 knot

2.273 liter

54.552 liter

Rp 851 juta / hari

15 knot

6.145 liter

147.480 liter

Rp 2,30 miliar / hari

20 knot

14.581 liter

349.944 liter

Rp 5,47 miliar / hari

Dalam satu bulan (720 jam operasi):

Kecepatan

Konsumsi BBM / Bulan

Biaya / Bulan

10 knot

1.636.560 liter

Rp 25,53 miliar

15 knot

4.424.400 liter

Rp 68,22 miliar

20 knot

10.498.320 liter

Rp 163,77 miliar

Jika diasumsikan kapal beroperasi selama satu tahun penuh (12 bulan):

Kecepatan

Konsumsi BBM / Tahun

Biaya BBM / Tahun

10 knot

19,64 juta liter

Rp 306 miliar

15 knot

53,09 juta liter

Rp 828 miliar

20 knot

126 juta liter

Rp 1,97 triliun

 

Analisis Ekonomi dan Perbandingan

Untuk memahami besarnya beban ini, perlu dibandingkan dengan harga kapal perang berukuran 50 meter (kelas Offshore Patrol Vessel / OPV), yang justru jauh lebih sesuai dengan kebutuhan patroli Indonesia:

Jenis Kapal 50 m

Harga (USD)

Estimasi Rupiah

Patroli ringan (sipil modifikasi)

3 – 5 juta

Rp 48 – 80 miliar

OPV ringan baru

10 – 20 juta

Rp 160 – 320 miliar

Korvet ringan (lengkap senjata & sensor)

20 – 50 juta

Rp 320 – 800 miliar

Dengan demikian, biaya bahan bakar tahunan Garibaldi pada kecepatan 15 knot (Rp 828 miliar) sudah setara dengan harga satu kapal perang baru 50 meter kelas OPV.
Pada kecepatan 20 knot, biayanya mencapai Rp 1,97 triliun, yaitu setara dengan dua hingga empat kapal perang baru.

Artinya, hanya biaya BBM untuk mengoperasikan satu kapal induk ini selama setahun setara dengan harga pembelian satu armada kecil kapal patroli cepat yang jauh lebih berguna untuk menjaga seluruh perairan nusantara.

Ini baru perhitungan biaya BBM  saja, belum ditambahkan biaya pelumas sekitar 10-15 % dari biaya BBM, belum lagi cat, tali temali dll.

Faktor Teknis dan Lingkungan Tropis

Kapal Garibaldi dirancang untuk lingkungan suhu sedang (15–25°C). Di wilayah tropis Indonesia:

  • Temperatur udara tinggi (30–35°C) menurunkan efisiensi turbin gas hingga 10–15%.
  • Kelembapan tinggi memperburuk pembakaran udara-bahan bakar.
  • Biofouling cepat di lambung kapal menaikkan tahanan gesek air, meningkatkan konsumsi BBM.
  • Jaringan logistik bahan bakar di Indonesia belum mendukung operasi kapal besar di luar pangkalan utama (Surabaya, Belawan, Sorong), menyebabkan biaya dukungan lapangan meningkat drastis.

Secara teknis, kapal besar berbasis gas-turbin seperti Garibaldi tidak efisien untuk patroli jarak pendek atau operasi pengawasan perbatasan. Desain semacam ini cocok untuk naval power projection di lautan terbuka, bukan untuk maritime policing di wilayah archipelagic sea lanes seperti ALKI I, II, dan III.

Kesalahan Strategis dalam Perspektif Nasional

Pembelian atau pengoperasian kapal Garibaldi-class di Indonesia mencerminkan ketidakselarasan antara strategi pertahanan maritim dan kebutuhan nyata lapangan.
Kesalahan utamanya terletak pada mispersepsi peran kapal besar dalam konteks keamanan maritim Indonesia.

Indonesia tidak memerlukan kapal induk, melainkan kapal patroli cepat, korvet ringan, dan kapal serbagunadengan endurance sedang yang mampu beroperasi dari pulau ke pulau.
Sementara Garibaldi-class:

  • Memerlukan biaya operasional tahunan setara Rp 1 triliun,
  • Tidak bisa beroperasi efektif di perairan dangkal dan sempit,
  • Bergantung penuh pada dukungan logistik besar,
  • Dan tidak relevan untuk fungsi utama TNI AL: menjaga ALKI, ZEE, dan perairan yurisdiksi nasional.

1. Ketika Simbol Kekuatan Tidak Sejalan dengan Kebutuhan

Banyak yang beranggapan bahwa Indonesia membutuhkan kapal induk ringan seperti Giuseppe Garibaldi-class milik Angkatan Laut Italia untuk memperkuat postur maritim nasional. Gagasan ini terlihat gagah di permukaan — seolah Indonesia akan menjelma menjadi kekuatan laut dunia.
Namun di balik kemegahannya, tersembunyi kesalahan konseptual yang fatal: Indonesia bukan negara blue-water navy seperti Amerika Serikat atau Inggris. Indonesia adalah negara kepulauan (archipelagic state) yang membutuhkan kekuatan laut berlapis, cepat, dan efisien, bukan kekuatan proyeksi jarak jauh yang mahal dan lambat.

2. Desain untuk Mediterania, Bukan Nusantara

Kapal Garibaldi-class dirancang untuk laut Mediterania — lautan sempit dengan pangkalan sekutu di setiap sudutnya. Italia memiliki rantai logistik, bengkel LM2500, dan sistem suplai avtur pesawat yang lengkap.
Indonesia tidak.

Perairan Nusantara adalah laut tropis, lembab, dan asin; suhu tinggi menurunkan efisiensi mesin gas-turbine hingga 15 persen. Tanpa sistem pendingin udara dan logistik yang siap, kapal ini akan mengonsumsi bahan bakar secara berlebihan dan membutuhkan perawatan mahal hanya untuk mempertahankan kesiapan mesin.

3. Infrastruktur dan Rantai Pasok Tidak Siap

Kapal seperti Garibaldi memerlukan:

  • Dermaga dalam dengan draft >8 meter,
  • Fasilitas bunkering cepat (100 ton per hari),
  • Logistik suku cadang LM2500, dan
  • Teknisi bersertifikasi NATO.

Saat ini tidak satu pun pangkalan TNI AL — bahkan di Surabaya atau Bitung — memiliki fasilitas lengkap untuk mendukung operasi carrier berbasis gas-turbine. Akibatnya, kapal seperti ini hanya akan menjadi “museum terapung”yang indah untuk difoto, tapi jarang berlayar karena biaya perawatan dan logistik yang mencekik.

4. Bertentangan dengan Doktrin Sishankamrata

Doktrin pertahanan Indonesia adalah Sishankamrata — sistem pertahanan rakyat semesta. Artinya, kekuatan pertahanan harus bersifat defensif, berlapis, dan merata, bukan tersentralisasi dalam satu simbol kekuatan besar.
Kapal Garibaldi-class justru mencerminkan postur ofensif dan sentralistik: satu kapal menjadi pusat kekuatan. Jika kapal ini lumpuh, seluruh operasi gabungan bisa berhenti.

Indonesia tidak membutuhkan kapal yang bisa menyerang jauh, melainkan armada yang bisa bertahan lama, fleksibel, dan mampu hadir di seluruh ALKI (Alur Laut Kepulauan Indonesia).

5. Tidak Seimbang dengan Ancaman Nyata

Ancaman utama di laut Indonesia bukan armada asing raksasa, melainkan:

  • Penyelundupan lintas negara,
  • Penangkapan ikan ilegal,
  • Pelanggaran batas laut, dan
  • Bencana alam.

Kapal seperti Garibaldi bukan jawaban atas ancaman itu.
Ia tidak bisa mengejar kapal ikan, tidak efisien untuk patroli, dan terlalu mahal untuk sekadar menampilkan bendera.
Ironisnya, dalam perang modern yang semakin asymmetric, kapal besar justru menjadi target paling mudah bagi rudal dan drone swarm.

6. Biaya Tinggi, Manfaat Rendah

Setiap jam operasi gas-turbine pada Garibaldi setara membakar jutaan rupiah.
Sementara itu, satu kapal patroli cepat diesel-electric (kelas 1.000 ton) hanya membutuhkan sepersepuluh dari biaya tersebut dan dapat bertugas lebih lama.
Bagi negara dengan anggaran pertahanan sekitar 1 persen dari PDB, mengoperasikan satu kapal Garibaldi sama dengan menyisihkan sebagian besar dana laut untuk simbol, bukan fungsi.

7. Teknologi Lama di Era Drone dan Cyber

Garibaldi dibangun tahun 1980-an. Sistem radar, komunikasi, dan pertahanan udaranya sudah usang dibanding kapal modern.
Ketika ancaman utama kini datang dari drone, rudal hipersonik, dan perang elektronik, mengandalkan kapal seperti Garibaldi sama seperti membawa pedang ke medan perang siber.

8. Jalan yang Lebih Rasional

Indonesia lebih membutuhkan:

  1. Kapal serbu amfibi (LHD) berbasis CODAG/diesel-electric, yang mampu membawa helikopter, UAV, dan pasukan marinir.
  2. Kapal komando gabungan ALKI II, dengan sistem C4ISR (Command, Control, Communications, Computers, Intelligence, Surveillance, Reconnaissance) untuk operasi cepat.
  3. Kapal patroli jarak jauh (OPV) dan drone laut, untuk mempertahankan kehadiran di seluruh wilayah perairan.

Kapal semacam itu efisien, tahan lama, mudah dirawat, dan sejalan dengan karakter geografi Indonesia.

9. Penutup: Antara Gengsi dan Realitas

Mengoperasikan kapal seperti Garibaldi di Indonesia sama halnya dengan memakai jas Eropa di tengah tropis Nusantara — tampak berkelas, tapi tidak cocok dengan iklim dan kebutuhan nyata.
Bangsa yang besar bukan yang memiliki kapal terbesar, melainkan yang mampu menyeimbangkan kekuatan, kebutuhan, dan kemampuan nasional.

Indonesia tidak perlu menjadi Italia di Asia. Indonesia cukup menjadi dirinya sendiri — negara maritim yang kuat, efisien, dan bijaksana dalam membangun kekuatan lautnya.

Kesimpulan

Mengoperasikan kapal induk Garibaldi di Indonesia bukanlah simbol kekuatan, melainkan simbol kesalahan strategi maritim.
Dengan biaya bahan bakar tahunan yang mampu membiayai satu hingga empat kapal patroli baru, Garibaldi menjadi liabilitas logistik dalam iklim tropis dan struktur kepulauan Indonesia.

Strategi maritim Indonesia seharusnya berorientasi pada efisiensi, daya sebar, dan keberlanjutan operasional, bukan pada prestise platform besar yang tidak relevan.
Kekuatan laut modern bukan diukur dari ukuran kapal, tetapi dari kemampuan menjaga laut secara menyeluruh dan berkelanjutan.

 

 

 

6 Oktober 2025

Refleksi 80 Tahun TNI: Hebat dalam Upacara, Lumpuh dalam Operasi — Hasil Serangan Neo Kortex dan Ratzelian Warfare

Refleksi 80 Tahun TNI: Hebat dalam Upacara, Lumpuh dalam Operasi — Hasil Serangan Neo Kortex dan Ratzelian Warfare

Jakarta 06 aoktober 2025

Oleh : Laksda. TNI (Purn) Adv Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB.
Kabais TNI 2011-2013

1. Delapan Puluh Tahun TNI: Dari Kebanggaan ke Keprihatinan

Delapan puluh tahun Tentara Nasional Indonesia berdiri sebagai simbol kedaulatan bangsa.
Delapan dekade penuh pengorbanan, keberanian, dan loyalitas tanpa batas.
Dari medan perjuangan kemerdekaan hingga misi perdamaian dunia, TNI selalu hadir sebagai penjaga keutuhan republik.

Namun pada usia ke-80 ini, muncul paradoks besar: semakin TNI dipuji, semakin ia dipasung.
Upacara megah, barisan gagah, pesawat tempur menderu di udara, kapal perang membelah lautan.
Semua tampak hebat di mata publik — namun di balik kemegahan itu, ada kenyataan yang getir:

TNI hebat dalam upacara, tapi lumpuh dalam operasi.

2. Kehebatan yang Disulap Menjadi Simbol Tanpa Daya

TNI kini menjadi institusi yang lebih sering dipamerkan daripada digerakkan.
Alutsista canggih, radar modern, kapal fregat, dan jet tempur generasi baru hanya berfungsi sebagai panggung kebanggaan, bukan alat pertahanan nyata.
Kapal perang tidak dapat berlayar tanpa izin administratif; pesawat tempur tidak bisa terbang tanpa persetujuan birokrasi.

Dari sudut pandang strategis, ini bukan kelemahan internal, melainkan hasil dari infiltrasi eksternal —sebuah bentuk perang yang jauh lebih halus dan mematikan: Neo Kortex Warfare, hasil evolusi dari teori geopolitik klasik Friedrich Ratzel.

3. Dari Teori Ratzel ke Operasi Neo Kortex

Pada usia ke-80, TNI seharusnya berdiri sebagai simbol kedewasaan pertahanan nasional.
Namun justru pada titik inilah, bangsa ini harus bercermin:

Kita sedang mengalami kekalahan tanpa pertempuran.

TNI tidak kalah di laut atau di udara, melainkan di ruang rapat, di naskah undang-undang, dan di pikiran para pembuat kebijakan yang tanpa sadar telah menjadi instrumen strategi asing.

Ratzel telah lama memperingatkan:

“Negara yang tidak sadar akan ruang hidupnya sendiri akan dijadikan ruang hidup bagi negara lain.”

Dan itu kini sedang terjadi — bukan secara fisik, tapi melalui pasal yang membunuh komando.

Friedrich Ratzel pernah menulis bahwa negara adalah organisme hidup yang berkembang melalui Lebensraum — ruang hidup.
Negara besar tidak perlu selalu menaklukkan wilayah; cukup mengendalikan pikiran dan kebijakan negara lain.
Dari sinilah lahir bentuk perang baru: Ratzelian Warfare —
menaklukkan bangsa bukan dengan invasi militer, melainkan dengan membelokkan logika pertahanannya.

“Kuasai otak strategis musuhmu, maka tubuhnya akan berhenti bergerak.” – reinterpretasi dari prinsip Ratzel

Dan inilah yang kini menimpa Indonesia.
Melalui operasi intelijen asing yang terstruktur, konsep pertahanan nasional disusupi, bukan dengan pasukan, tapi dengan pasal-pasal.

4. Ratzel dan Konsep Lebensraum: Kuasai Pikiran, Bukan Hanya Wilayah

Friedrich Ratzel, bapak geopolitik modern, menegaskan bahwa negara adalah organisme hidup yang terus tumbuh, bergerak, dan mencari ruang hidup (Lebensraum) melalui tiga cara: ekspansi wilayah, penguasaan sumber daya, dan dominasi politik-budaya.
Namun dalam era baru, ekspansi itu tidak lagi dilakukan dengan invasi militer, melainkan melalui infiltrasi pemikiran dan kebijakan.

Ratzel menulis, “Siapa yang mengendalikan pemikiran strategis suatu bangsa, ia tidak perlu menguasai tanahnya.”

Inilah fondasi operasi intelijen modern: menaklukkan bangsa dengan mengubah arah berpikir para perancang undang-undangnya.

5. Teori Ratzel & Geo-Intelligence: Hukum Sebagai Senjata

Dalam pendekatan Geo-Intelligence, yang lahir dari pemikiran Ratzel dan Haushofer, hukum dan kebijakan digunakan sebagai instrumen kendali geopolitik.
Negara target diarahkan untuk mengatur dirinya sendiri agar lemah melalui:

  1. Perubahan struktur komando militer,
  2. Ketergantungan logistik dan anggaran,
  3. Birokratisasi pertahanan,
  4. Delegitimasi peran tempur melalui narasi demokratisasi.

Semua ini tampak sebagai reformasi, padahal sejatinya adalah pembusukan dari dalam — an internal euthanasia of power.

6. Bukti Operasi Neo Kortex dalam Proses Legislasi

Serangan tidak lagi datang lewat agen bersenjata, melainkan melalui konsultan, lembaga donor, dan think-tank asing yang “membantu menyusun” undang-undang dengan dalih capacity building.
Di sinilah Neo Cortex Warfare bekerja: mempengaruhi logika penyusun kebijakan agar percaya bahwa membatasi militer berarti memperkuat demokrasi.

Akibatnya:

  • Panglima TNI tidak lagi berdaulat atas kapal dan pesawatnya sendiri.
  • KSAL dan KSAU harus menunggu tanda tangan birokrasi untuk bertindak.
  • TNI menjadi pasukan parade, bukan pasukan pertahanan.

Rakyat hanya melihat hasil luarnya — parade spektakuler — tanpa menyadari bahwa otak strategis bangsa telah disusupi doktrin asing yang menggantikan filosofi kemandirian pertahanan dengan logika ketergantungan.

7. Membunuh Tanpa Menembak: Paradigma Ratzel dalam Praktik

Menurut Ratzel, jika sebuah bangsa dapat diyakinkan bahwa pertahanan kuat adalah ancaman bagi stabilitas internal, maka bangsa itu akan melumpuhkan militernya sendiri atas nama perdamaian.
Inilah tahap tertinggi penaklukan — auto-neutralization.

Dan inilah yang kini kita saksikan:

Undang-undang yang ditulis oleh anak bangsa sendiri menjadi alat penghancur TNI yang paling efektif, karena lahir dari pikiran yang sudah direkayasa oleh strategi asing.

TNI tidak dibunuh dengan peluru, tetapi dibunuh oleh kebijakan yang mereka hormati.

8. Infiltrasi Melalui Hukum: Ketika Undang-Undang Menjadi Senjata

Frasa Disembunyikan di Penjelasan Pasal: Cara Halus Mematikan Komando TNI

8.1. Letak Strategis Frasa yang tersembunyi.

Frasa “kebijakan pemeliharaan dan/atau perawatan” tidak muncul di batang tubuh Pasal 3 ayat (2) UU 3/2025 tentang TNI, tetapi diselipkan di dalam Penjelasan Pasal.
Ini bukan kebetulan. Ini dibuat dengan sengaja. Secara teknik legislasi, batang tubuh pasal adalah norma hukum yang mengikat dan dapat dijustifikasi secara langsung, sedangkan penjelasan hanya berfungsi menerangkan, bukan menambah atau mengubah makna pasal.

Namun, dalam kasus ini, penjelasan tidak lagi menjelaskan — tetapi memperluas makna.
Dan perluasan itu diarahkan secara sistematis untuk menarik fungsi operasional TNI ke dalam ranah koordinasi Kementerian Pertahanan.

8.2. Bentuk Manipulasi Yuridis yang Canggih

Penempatan frasa “pemeliharaan dan/atau perawatan” di penjelasan pasal, bukan di batang tubuh pasal, merupakan teknik infiltrasi hukum halus (legal infiltration) yang sering digunakan dalam strategic lawfare atau perang hukum.
Ciri-cirinya:

  1. Dimasukkan bukan dalam norma utama, tetapi dalam kalimat penjelasan yang tampak netral.
  2. Tidak tampak bermasalah saat dibaca sekilas, namun berfungsi mengubah tafsir hukum dalam pelaksanaan.
  3. Tidak mudah digugat, karena “penjelasan” dianggap bukan bagian dari norma pokok.

Dengan cara ini, pembuat naskah undang-undang dapat memasukkan makna baru tanpa menabrak pasal — tapi tetap memandulkan pelaksanaannya.

8.3. Dampak terhadap Struktur Komando

Batang tubuh Pasal 3 ayat (2) UU 3/2025 tentang TNI hanya berbunyi:

(2) Kebijakan dan strategi pertahanan serta dukungan administrasi yang berkaitan dengan aspek perencanaan strategis TNI, berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan"

Kata “koordinasi” secara hukum publik berarti hubungan horizontal antara dua institusi yang setara.
Namun, pada penjelasan ditambahkan frasa:

“...Yang dimaksud dengan "berada di dalam koordinasi Kementerian Pertahanan"adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan perencanaan strategis TNI yang meliputi aspek pengelolaan Pertahanan Negara, kebijakan penganggaran, pengadaan, pemeliharaan, dan atau perawatan, perekrutan, pengelolaan sumber daya nasional, serta pembinaan teknologi industri pertahanan yang diperlukan oleh TNI dan komponen pertahanan lainnya. Adapun pembinaan kekuatan TNI yang berkaitan dengan pendidikan, latihan, penylapan kekuatan, dan doktrin militer berada pada Panglima dengan dibantu Kepala Staf Angkatan

Dengan adanya penambahan frasa  "..kebijakan pemeliharaan dan/atau perawatan, ...” maka makna koordinasi berubah menjadi pengendalian vertikal.
Dalam praktik, artinya:

  • Kapal perang (KRI) tidak dapat melakukan routine maintenance tanpa izin administratif dari Kemenhan.
  • Pesawat tempur tidak bisa di-servis atau disiapkan untuk misi tanpa pengesahan anggaran dan jadwal kementerian.
  • KSAL dan KSAU kehilangan otonomi dalam operational readiness karena aspek perawatan dianggap “kebijakan”, bukan “fungsi operasional”.

Frasa ini menjadi alat untuk menarik komando dari Panglima ke tangan birokrasi sipil, bukan melalui undang-undang terbuka, tetapi lewat kalimat tersembunyi di penjelasan.

8.4. Bertentangan dengan Prinsip Legislasi dan UUD 1945

Secara formil, tindakan ini melanggar prinsip “Penjelasan tidak boleh menambah norma baru” sebagaimana diatur dalam Lampiran II Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
Menurut norma tersebut:

“Penjelasan hanya memuat uraian atau tafsir terhadap norma dalam batang tubuh, bukan menciptakan norma baru.”

Dengan demikian, penyisipan frasa “kebijakan pemeliharaan dan/atau perawatan” adalah pelanggaran formil terhadap asas pembentukan peraturan yang baik (asas kejelasan rumusan dan kesesuaian antara penjelasan dan norma).

Lebih jauh lagi, secara konstitusional, hal ini melanggar Pasal 30 ayat (2) dan (3) UUD 1945, karena:

  • UUD menegaskan bahwa TNI bertanggung jawab langsung dalam pertahanan negara, bukan sebagai pelaksana administratif.
  • Penjelasan ini secara halus menempatkan TNI sebagai pelaksana kebijakan sipil, bukan komando pertahanan mandiri.

9. Neo Kortex Warfare: Menyerang Pikiran, Bukan Pangkalan

Konsep Neo Kortex Warfare menggambarkan perang modern yang menaklukkan pikiran para pengambil kebijakan.
Musuh tidak perlu menembak satu peluru pun; cukup mempengaruhi pemikiran para perancang undang-undang,agar mereka menulis pasal yang melemahkan bangsanya sendiri.

Hasilnya kini nyata:

  • TNI kehilangan otonomi komando dalam operasi.
  • Matra laut dan udara dibatasi geraknya oleh meja birokrasi.
  • Rakyat disuguhi citra kekuatan simbolik, bukan kekuatan nyata.

Bangsa tidak lagi diserang dari luar, melainkan dibujuk dari dalam untuk mematikan senjatanya sendiri.

10. Operasi Intelijen Asing yang Tidak Terlihat

Inilah bentuk serangan intelijen paling canggih — operasi yang tidak memakai agen rahasia, melainkan penasihat kebijakan, konsultan legislatif, dan lembaga donor internasional.
Mereka menyusup ke ruang penyusunan kebijakan publik, menawarkan “bantuan teknis” dan “penguatan demokrasi,” padahal tujuannya adalah membentuk pola pikir anti-kemandirian pertahanan.
Dalam istilah geopolitik, ini disebut infiltrasi kognitif.

Undang-undang hasil serangan ini menjadikan TNI:

  • Hebat di upacara, karena citranya tetap dijaga,
  • Lumpuh di operasi, karena kekuatannya diputus dari akar komando.

11. Hasil Serangan: Hebat di Upacara, Lumpuh di Operasi

Kini kita panen hasil operasi intelijen asing ala Ratzel:

  • Kekuatan laut dan udara dikendalikan oleh birokrasi.
  • Komando cepat berubah menjadi koordinasi lambat.
  • Tentara yang siap mati di medan perang kini menunggu surat izin untuk bergerak.

TNI tampak hebat dalam upacara, tetapi lumpuh dalam operasi —
itulah tanda serangan berhasil: menjadikan kekuatan tempur sebagai ornamen, bukan instrumen.

12. Jalan Pemulihan: Rebut Kembali Pikiran, Bukan Hanya Senjata

Untuk melawan strategi Ratzelian ini, bangsa harus merebut kembali neokorteksnya sendiri — kesadaran geopolitik dan kemandirian berpikir.
TNI harus kembali ditempatkan di jalur konstitusi, bukan dalam sangkar administratif.
Undang-undang TNI harus dibersihkan dari pasal yang merupakan hasil penyusupan konseptual asing.

Karena yang direbut bukan tanah, tapi pikiran.
Yang dilumpuhkan bukan senjata, tapi kehendak berdaulat.

13. Kesimpulan.

Frasa “, pemeliharaan dan/atau perawatan” dalam penjelasan Pasal 3 ayat (2) memangkas tiga lapis kewenangan utama Panglima, KSAL, dan KSAU:

  1. Kewenangan strategis (menentukan arah operasi dan prioritas pertahanan),
  2. Kewenangan taktis (menyiapkan dan menggerakkan unsur kekuatan),
  3. Kewenangan teknis (memelihara kesiapan unsur dan logistik).

Frasa ini bukan sekadar redaksi administratif, tetapi hasil infiltrasi ideologis yang berpotensi melumpuhkan TNI secara sistematis.
Akibatnya, TNI menjadi hebat dalam upacara — karena simbolnya dijaga,
namun lumpuh dalam operasi — karena kewenangannya dicabut.

14. Penutup

Delapan puluh tahun TNI adalah usia kebesaran dan juga peringatan.
Bangsa ini tidak sedang menghadapi invasi militer, tetapi invasi pemikiran.
Musuh sudah tidak di luar pagar; ia ada di balik kalimat hukum, di dalam logika pembuat undang-undang.

Inilah perang gaya baru: di mana undang-undang menjadi peluru, dan bangsa menembak dirinya sendiri dengan tangan yang tidak sadar dikendalikan.

Selama pasal-pasal itu tidak direvisi dan kesadaran strategis tidak direbut kembali,
TNI akan tetap hebat dalam upacara, tapi lumpuh dalam operasi —
bukan karena kalah, tapi karena dibunuh oleh bangsa sendiri secara halus oleh hasil operasi intel asing yang bekerja melalui pikiran.