Ringkasan
Intelijen TNI dalam upaya
pemberantasan aksi teror berperan mengidentifikasi pelaku aksi teror,
melokalisir area, menentukan sasaran, mengamankan lingkungan sekitar
sasaran kemudian memberi informasi kepada unsur-unsur pemukul. Pasca tindakan
eksekusi dilakukan, aparat Intelijen tetap melakukan monitoring terhadap
wilayah tersebut dan membantu masyarakat di wilayah itu untuk lebih peduli
dalam menjaga keamanan lingkungannya. Kondisi ini perlu dilaksanakan
mengingat ruang gerak terorisme sebagian besar berada di bawah tanah dan
ideologi mereka sulit untuk dihilangkan begitu saja.
Pada tanggal 11 September 2001 dunia dikejutkan dengan adanya serangan terhadap menara kembar WTC di New York dan gedung Pentagon di Arlington Amerika Serikat. Menyusul kemudian tidak ketinggalan pula Indonesia ikut diserang. Beberapa serangan aksi teror yang mengguncangkan masyarakat Indonesia antara lain Legian Bali yang dibom pada tanggal 12 Oktober 2002, teror bom buku serta bom bunuh diri yang dilakukan pada tanggal 15 April 2011, saat Sholat Jum’at di Mesjid Az-Dzikro di Markas Polresta Cirebon.
Sejak kejadian itu masyarakat dunia dan masyarakat Indonesia tersadarkan bahwa ”aksi teror” adalah musuh bersama yang harus ditanggulangi bersama. Kesadaran itu pada akhirnya menggiring pemerintah Indonesia untuk menanggulangi aksi teror dengan membuat Undang-undang RI nomor 34 tahun 2004 tentang TNI dan Undang-undang RI nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Terorisme.
Dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan yang ada itu sudah banyak pelaku aksi teror yang ditangkap, diadili dan dihukum. Namun pada kenyataannya, aksi teror masih terus terjadi. Hal itu merupakan bukti bahwa aksi teror tidak bisa diberantas hanya dengan melakukan Penindakan, baik itu tindakan menangkap, menghukum bahkan membunuh para pelaku aksi teror, akan tetapi kegiatan Pencegahan tidak kalah pentingnya harus pula dilaksanakan.