20 Oktober 2025

TANGGAPAN AKADEMIS ATAS RENCANA AKSI JAKNAS KKPH 2027–2031

 TANGGAPAN AKADEMIS ATAS RENCANA AKSI JAKNAS KKPH 2027–2031 BAKAMLA

Jakaarta 20 Oktober 2025

Oleh:

Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM., CParb.
Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI 2011-2013

Pendahuluan

Rencana Aksi Kebijakan Nasional Keamanan, Keselamatan, dan Penegakan Hukum di Wilayah Perairan Indonesia dan Wilayah Yurisdiksi Indonesia (Jaknas KKPH) 2027–2031 dimaksudkan sebagai upaya memperkuat tata kelola keamanan maritim nasional. Namun, dari aspek hukum dan kelembagaan, rencana tersebut mengandung penyimpangan konstitusional dan yuridis serius, terutama dalam hal penugasan Bakamla sebagai pelaksana utama patroli dan penegakan hukum di laut.

Penempatan Bakamla pada posisi seolah-olah sebagai “Indonesian Coast Guard” tidak memiliki dasar hukum dan justru menimbulkan konflik dengan UUD 1945, UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri, UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran, dan UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan. Dalam negara hukum, setiap kewenangan harus bersumber dari atribusi undang-undang, bukan dari kebijakan administratif. Oleh karena itu, pelaksanaan Rencana Aksi Jaknas KKPH oleh Bakamla tidak hanya tidak sah secara hukum, tetapi juga berpotensi melanggar konstitusi dan menciptakan kekacauan hukum di laut.

I. Pelaksanaan Rencana Aksi oleh Bakamla Bertentangan dengan Prinsip Negara Hukum

Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Artinya, setiap tindakan pemerintahan, apalagi tindakan koersif seperti penegakan hukum, harus memiliki dasar atribusi dari undang-undang.

Bakamla hanyalah lembaga koordinatif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (3) UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, dan tidak memiliki fungsi penegakan hukum yang bersifat mandiri.

Oleh karena itu, pemberian kewenangan operasional penegakan hukum kepada Bakamla melalui Rencana Aksi Jaknas KKPH melampaui kewenangan atribusinya (ultra vires) dan secara langsung melanggar prinsip konstitusional negara hukum. 

II. Pelanggaran terhadap Prinsip Kepastian Hukum (Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945)

Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 menjamin setiap orang atas kepastian hukum yang adil.

Pemberian fungsi penegakan hukum kepada Bakamla tanpa dasar yang sah menimbulkan:

1.              Ketidakpastian hukum di laut;

2.              Potensi benturan kewenangan dengan Polri, TNI AL, dan KPLP;

3.              Kerancuan dalam struktur komando dan tanggung jawab hukum; serta

4.              Kekosongan akuntabilitas hukum bila terjadi pelanggaran oleh aparat Bakamla.

Dengan demikian, pelaksanaan Rencana Aksi ini tidak hanya cacat secara administratif, tetapi juga mengancam kepastian hukum nasional.

III. Penegakan Hukum di Laut dan ZEE Sudah Lengkap

Penegakan hukum di laut Indonesia telah memiliki struktur lengkap:

1.              TNI AL berwenang menegakkan hukum dan menjaga keamanan di laut yurisdiksi nasional (Pasal 9 huruf b UU No. 34 Tahun 2004).

2.              Polri menegakkan hukum pidana umum termasuk di wilayah laut (Pasal 30 ayat (4) UUD 1945 jo. UU No. 2 Tahun 2002).

3.              KPLP menegakkan hukum keselamatan pelayaran sesuai Pasal 276–281 UU No. 66 Tahun 2024.

4.              KKP (PPNS Perikanan) menegakkan hukum di bidang perikanan (UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009).

5.              Bea dan Cukai serta BNN menangani hukum di bidang kepabeanan dan narkotika.

Tidak ada kekosongan hukum yang membutuhkan lembaga baru seperti Bakamla untuk ikut menegakkan hukum di laut. Jika Bakamla memaksakan peran penegakan hukum, maka terjadi tumpang tindih (overlapping jurisdiction) dan chaos normatif.

IV. Bakamla yang Mengaku Sebagai “Coast Guard Indonesia” Melanggar Hukum Nasional dan Internasional

a.     Pelanggaran terhadap Konstitusi

1.  Penyebutan Bakamla sebagai “Indonesian Coast Guard” tidak memiliki dasar hukum dalam sistem nasional. Tidak ada undang-undang yang membentuk lembaga coast guard di Indonesia.

2.  Dengan demikian, tindakan Bakamla yang mengklaim diri sebagai coast guard adalah pelanggaran konstitusi, karena lembaga pemerintah tidak boleh menambah atau memperluas kewenangannya sendiri tanpa dasar hukum dari DPR.

3. Tindakan ini juga merusak tatanan kelembagaan maritim nasional dan menciptakan kebingungan antara fungsi pertahanan laut (oleh TNI AL), fungsi penegakan hukum (oleh Polri dan KPLP), dan fungsi administratif (oleh Bakamla).

b.     Pelanggaran terhadap Hukum Internasional (UNCLOS 1982)

Pasal 94, 217, dan 218 UNCLOS 1982 mengatur bahwa hanya aparat resmi yang ditetapkan oleh negara pantai melalui hukum nasional yang boleh melakukan penegakan hukum di laut. Karena Bakamla bukan lembaga penegak hukum yang diatur dalam hukum nasional, maka tindakannya di luar perairan teritorial berpotensi dianggap ilegal menurut hukum internasional, dan merugikan posisi diplomatik Indonesia.

V. DPR dan Bappenas Harus Menolak Pelaksanaan Rencana Aksi oleh Bakamla

DPR RI sebagai pengawas eksekutif wajib menolak pelaksanaan Rencana Aksi Jaknas KKPH yang menempatkan Bakamla sebagai pelaksana penegakan hukum karena:

1.         Tidak memiliki dasar atribusi hukum;

2.         Melanggar Pasal 1 ayat (3), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 30 ayat (4) UUD 1945;

3.         Menimbulkan konflik antar instansi penegak hukum laut.

Demikian pula, Bappenas wajib menolak pengintegrasian program penegakan hukum Bakamla ke dalam RPJMN dan Jaknas KKPH, karena hal itu melanggar prinsip good governance dan menimbulkan duplikasi kewenangan antar lembaga negara

VI. Bakamla Tidak Memiliki Peran dalam Keselamatan Pelayaran — Lebih Baik Tidak Bertindak daripada Melanggar Hukum

Berdasarkan Pasal 276–281 UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran, urusan keselamatan dan keamanan pelayaran berada sepenuhnya pada Kementerian Perhubungan melalui KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai).

KPLP memiliki tugas melaksanakan pengawasan keselamatan pelayaran, penegakan hukum di bidang pelayaran, dan penanggulangan pencemaran serta kecelakaan laut.

Sementara itu, UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan hanya menugaskan Bakamla untuk mengoordinasikan keamanan dan keselamatan di laut secara lintas-instansi, bukan sebagai pelaksana teknis atau penegak hukum pelayaran.

Oleh sebab itu:

1.              Bakamla tidak memiliki peran apa pun dalam keselamatan pelayaran.

2.              Bakamla tidak boleh mencampuri tugas KPLP yang memiliki dasar hukum jelas.

3.              Tindakan Bakamla yang mengambil alih atau meniru fungsi KPLP berarti menimbulkan pelanggaran hukum baru dan gangguan terhadap sistem hukum nasional.

Dalam tata kelola pemerintahan yang baik, lembaga yang tidak memiliki atribusi seharusnya tidak memaksakan peran yang bukan kewenangannya.

Lebih baik Bakamla diam dan menjalankan fungsi koordinatifnya secara terbatas daripada menciptakan pelanggaran hukum baru atau mengganggu instansi lain yang telah sah menjalankan tugas sesuai undang-undang.

VII. Kesimpulan

1.              Rencana Aksi Jaknas KKPH 2027–2031 yang menempatkan Bakamla sebagai pelaksana patroli dan penegakan hukum bertentangan dengan UUD 1945 dan UU sektoral.

2.              Bakamla bukan lembaga penegak hukum dan tidak memiliki kewenangan keselamatan pelayaran.

3.              KPLP-lah yang berwenang penuh atas keselamatan dan keamanan pelayaran berdasarkan Pasal 276–281 UU No. 66 Tahun 2024.

4.              Tindakan Bakamla yang mengaku sebagai “Coast Guard Indonesia” merupakan pelanggaran terhadap konstitusi dan hukum internasional.

5.              DPR dan Bappenas wajib menolak setiap program atau rencana aksi yang memberikan kewenangan penegakan hukum kepada Bakamla.

6.              Dalam semangat rule of law dan efektivitas kelembagaan maritim, Bakamla harus dibatasi hanya pada fungsi koordinatif yang diatur oleh undang-undang — tidak lebih.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar