21 Oktober 2025

TANGGAPAN AKADEMIS DAN HUKUM ATAS RENCANA AKSI JAKNAS KKPH 2027–2031 BAKAMLA

  

TANGGAPAN AKADEMIS DAN HUKUM ATAS RENCANA AKSI JAKNAS KKPH 2027–2031 BAKAMLA

Jakarta 21 Oktober 2025

Oleh:

Laksamana Muda TNI (Purn.) Soleman B. Ponto, S.T., S.H., M.H., CPM., CParb.
Kepala Badan Intelijen Strategis (Kabais) TNI 2011-2013

Pendahuluan

Dokumen yang diberi judul Jaknas KKPH 2025 merupakan rancangan kebijakan yang diklaim sebagai arah strategis keamanan dan keselamatan laut Indonesia tahun 2027–2031.

Namun setelah dikaji secara akademis, yuridis, dan konstitusional, dokumen tersebut tidak memperkuat sistem hukum nasional, melainkan justru menciptakan distorsi hukum dan pelanggaran terhadap tatanan konstitusional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Bakamla (Badan Keamanan Laut) yang menjadi aktor utama di balik dokumen ini, bukan lembaga penegak hukum dan tidak memiliki dasar atribusi hukum dalam Undang-Undang mana pun untuk menjalankan fungsi keamanan, keselamatan, atau penegakan hukum laut.

Kehadirannya justru menjadi anomali hukum administratif: lembaga yang lahir dari peraturan presiden tetapi berperilaku seolah memiliki mandat undang-undang.

Dalam sistem negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945), kewenangan tidak dapat diciptakan oleh kehendak politik lembaga administratif.

Kewenangan hanya dapat diperoleh melalui atribusi langsung dari undang-undang.

Ketika sebuah lembaga tanpa dasar hukum mengambil fungsi koersif negara, maka pada saat itu terjadi pelanggaran prinsip konstitusional dan dekonstruksi sistem pemerintahan yang sah.

a. Pendahuluan

Teks Jaknas KKPH:

“Menjelaskan latar belakang pentingnya keamanan laut, termasuk posisi strategis Indonesia di jalur perdagangan internasional dan ancaman seperti illegal fishing, penyelundupan, terorisme laut, dan pencemaran.”

Pernyataan tersebut benar dari sisi identifikasi ancaman, namun salah dalam arah kebijakan dan pemahaman terhadap sistem hukum Indonesia.

Memang benar, Indonesia memiliki posisi strategis di jalur perdagangan dunia dan menghadapi ancaman seperti illegal fishing, penyelundupan, terorisme laut, serta pencemaran lingkungan. Namun semua ancaman itu sudah diantisipasi dan ditangani oleh lembaga yang sah secara hukum, sesuai dengan sistem yang dibangun oleh undang-undang.

Berikut ini pembagian lembaga dan dasar hukumnya:

1.         Ancaman Illegal Fishing

a.     Lembaga yang berwenang: Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP)

b.     Dasar hukum: UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan

c.     Penjelasan: KKP memiliki penyidik PNS (PPNS Perikanan) yang berwenang melakukan penangkapan, pemeriksaan, dan penegakan hukum terhadap pelaku penangkapan ikan ilegal di seluruh wilayah yurisdiksi Indonesia.

Selain itu, TNI AL juga memiliki kewenangan mendukung penegakan hukum di laut terhadap kapal asing pelaku pencurian ikan berdasarkan Pasal 9 huruf b UU TNI.

2.         Ancaman Penyelundupan dan Perdagangan Ilegal

a.     Lembaga yang berwenang: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan

b.     Dasar hukum: UU No. 17 Tahun 2006 tentang Kepabeanan

c.     Penjelasan: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memiliki penyidik pegawai negeri sipil (PPNS) serta kapal patroli resmi yang melakukan pencegahan penyelundupan barang dan hasil tambang di laut.

Mereka bekerja sama dengan Polri dan TNI AL sesuai mandat hukum.

3.         Ancaman Terorisme Laut dan Kejahatan Transnasional

a.     Lembaga yang berwenang: Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dan BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme)

b.     Dasar hukum: UU No. 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

c.     Penjelasan: Penegakan hukum terhadap aksi teror di laut adalah kewenangan Polri, termasuk kegiatan sabotase pelayaran, pembajakan kapal, atau penyanderaan di perairan Indonesia.

BNPT bertugas merumuskan kebijakan nasional dan koordinasi lintas lembaga dalam pencegahan terorisme.

4.         Ancaman Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Laut

a.     Lembaga yang berwenang: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Perhubungan (Kemenhub) melalui KPLP (Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai)

b.     Dasar hukum: UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran

c.     Penjelasan: KPLP memiliki kewenangan untuk mencegah dan menangani pencemaran di laut yang disebabkan oleh kegiatan pelayaran, sementara KLHK menangani pencemaran akibat kegiatan industri dan migas.

Kedua lembaga ini memiliki perangkat hukum, teknis, dan sumber daya manusia yang lengkap untuk menangani kasus pencemaran laut.

5.         Ancaman terhadap Kedaulatan dan Keamanan Wilayah Laut

a.     Lembaga yang berwenang: Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL)

b.     Dasar hukum: Pasal 9 huruf b UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

c.     Penjelasan: TNI AL berfungsi sebagai pelindung utama kedaulatan wilayah laut, menegakkan hukum, dan menjaga keamanan di wilayah yurisdiksi nasional, termasuk Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

Inilah lembaga yang diakui secara konstitusional untuk menegakkan hukum dan pertahanan laut Indonesia.

Dengan demikian, tidak ada satu pun dari ancaman yang disebutkan dalam dokumen Jaknas KKPH yang belum memiliki penanggung jawab hukum.

Semuanya sudah tertata dalam sistem hukum nasional dan diatur secara jelas oleh undang-undang.

Oleh karena itu, pernyataan bahwa perlu membentuk atau memperluas peran Bakamla untuk menghadapi ancaman tersebut adalah kesimpulan yang keliru dan menyesatkan publik.

Keamanan laut tidak lemah karena lembaganya kurang, melainkan karena koordinasi antar lembaga yang sah sering diintervensi oleh lembaga yang tidak memiliki dasar hukum seperti Bakamla.

Menambah lembaga baru justru akan memperparah tumpang tindih, menciptakan kebingungan, dan melemahkan penegakan hukum itu sendiri.

Kesimpulan.

Ancaman laut yang disebutkan dalam Jaknas KKPH 2025 benar adanya, tetapi penanganannya sudah lengkap di bawah sistem hukum nasional.

Karena itu:

a.       Tidak ada kebutuhan hukum maupun operasional untuk memberi peran lebih kepada Bakamla;

b.       Justru yang perlu dilakukan adalah memperkuat lembaga yang sah sesuai UU, bukan menciptakan lembaga baru yang berdiri di luar konstitusi;

c.       Dan untuk memastikan Indonesia benar-benar aman dan berdaulat di laut, Perpres No. 59 Tahun 2023 harus dicabut agar struktur penegakan hukum laut kembali kepada sistem yang sah menurut hukum dan konstitusi.

b. Analisis Lingkungan Strategis

Teks Jaknas KKPH:

“Membahas situasi global (perang, harga energi, ancaman siber), regional (Laut Natuna Utara, Indo-Pasifik), dan nasional (radikalisme, narkotika, pelanggaran wilayah, lemahnya koordinasi antar-instansi).”

Uraian mengenai dinamika global, regional, dan nasional yang disampaikan dalam dokumen Jaknas KKPH memang mencerminkan realitas geopolitik yang dihadapi Indonesia. Akan tetapi, kesimpulan yang diambil dari analisis tersebut — bahwa Indonesia menghadapi lemahnya koordinasi antar-instansi dan memerlukan Bakamla sebagai pengendali — adalah keliru, tidak berdasar hukum, dan menyesatkan secara konseptual.

1. Setiap lembaga di laut Indonesia sudah memiliki kesiapan dan mekanisme respons

Indonesia telah memiliki sistem pertahanan, keamanan, dan keselamatan laut yang lengkap dan saling terhubung.

Seluruh lembaga tersebut telah menyesuaikan diri dengan ancaman global seperti perang, krisis energi, ancaman siber, maupun kejahatan lintas negara.

a.     TNI AL telah meningkatkan kesiapan tempur dan pengawasan wilayah laut termasuk di Laut Natuna Utara dan perairan strategis Indo-Pasifik.

b.     Melalui sistem Maritime Domain Awareness (MDA) dan Operasi Garda Samudera, TNI AL berperan aktif menjaga stabilitas regional sesuai mandat UU No. 34 Tahun 2004.

c.     Polri melalui Korpolairud aktif menangani ancaman penyelundupan narkotika, perdagangan manusia, dan terorisme laut dengan sistem operasi terintegrasi bersama Interpol dan BNPT.

d.     Kementerian Perhubungan (KPLP) telah memperkuat fungsi keselamatan pelayaran dan penegakan hukum maritim sesuai Pasal 276–281 UU No. 66 Tahun 2024.

KPLP juga menjadi pelaksana utama dalam penanganan kecelakaan kapal dan pencemaran laut akibat aktivitas pelayaran.

e.     Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terus menjalankan pengawasan sumber daya perikanan melalui Pusat Pengendalian Pengawasan (P2SDKP) yang dilengkapi dengan armada patroli dan sistem satelit vessel monitoring system (VMS).

f.      Bea Cukai dan BNN menangani kejahatan lintas laut di bidang kepabeanan dan narkotika melalui koordinasi reguler dengan Polri dan TNI AL.

Semua lembaga tersebut telah mempersiapkan strategi, personel, dan sarana masing-masing berdasarkan undang-undang.

Dengan demikian, tidak ada kebutuhan hukum ataupun operasional bagi Bakamla untuk “mengatur” atau “mengkoordinasikan” mereka.

2. “Lemahnya koordinasi” adalah persepsi sepihak Bakamla, bukan fakta hukum

Klaim Bakamla bahwa koordinasi antar-instansi lemah adalah asumsi politis tanpa data dan tanpa mandat hukum.

Koordinasi keamanan laut selama ini berjalan di bawah Kemenko Polhukam melalui forum resmi Forkorhal (Forum Koordinasi Penegakan Hukum di Laut).

Bakamla tidak termasuk dalam struktur formal command chain lembaga penegak hukum, sehingga wajar bila lembaga lain tidak berkoordinasi dengannya — bukan karena sistemnya lemah, tetapi karena tidak ada dasar hukum yang mewajibkan koordinasi dengan Bakamla.

Dengan kata lain, Bakamla “sepi” bukan karena lembaga lain tidak mau berkoordinasi, tetapi karena Bakamla memang berada di luar sistem hukum nasional.

Lembaga-lembaga penegak hukum di laut hanya dapat berkoordinasi dengan sesama institusi yang memiliki kewenangan hukum.

Bakamla bukan penyidik, bukan penegak hukum, dan tidak diatur dalam KUHAP, sehingga tidak relevan secara hukum untuk dilibatkan dalam koordinasi penegakan hukum laut.

3. Ancaman maritim global tidak menuntut lahirnya lembaga baru

Perubahan geopolitik dan ancaman global, seperti ketegangan di Laut Cina Selatan, perang di Eropa, dan ancaman siber, tidak serta-merta menuntut pembentukan lembaga baru.

Justru yang dibutuhkan adalah penguatan lembaga yang sah dan profesional.

Indonesia sudah memiliki perangkat hukum dan struktur komando yang memadai untuk menghadapi tantangan tersebut tanpa campur tangan Bakamla.

Membentuk atau memperkuat lembaga di luar sistem hukum hanya akan menciptakan tumpang tindih, konflik yurisdiksi, dan kebingungan rantai komando, yang pada akhirnya justru melemahkan kesiapan nasional dalam menghadapi ancaman global.

4. Posisi Bakamla di luar sistem menjadi sumber gangguan, bukan solusi

Karena berada di luar sistem hukum yang sah, Bakamla tidak terlibat dalam mekanisme komando resmi dan tidak memiliki rantai pelaporan formal.

Namun alih-alih memperkuat sistem, Bakamla berupaya menempatkan diri sebagai “koordinator nasional”.

Tindakan ini justru mengganggu lembaga yang sudah berfungsi.

Koordinasi yang dilakukan Bakamla selama ini tidak menghasilkan sinergi nyata, melainkan konflik administratifdengan lembaga lain, khususnya TNI AL dan KPLP.

Singkatnya, Bakamla berdiri di luar sistem, tetapi berusaha mengatur sistem yang tidak diikutinya.

Ini adalah anomali kelembagaan yang tidak boleh dibiarkan dalam negara hukum.

5. Kesimpulan.

Analisis lingkungan strategis yang dijadikan dasar Jaknas KKPH keliru dalam menarik kesimpulan.

Situasi global dan regional memang kompleks, tetapi seluruh instansi resmi Indonesia telah memiliki kapasitas dan kesiapan menghadapi tantangan itu sesuai hukum.

Yang lemah bukan koordinasinya, melainkan pemahaman Bakamla terhadap sistem hukum nasional.

Koordinasi di laut tidak membutuhkan Bakamla — karena koordinasi sudah diatur dan berjalan melalui lembaga yang sah.

Justru agar sistem ini berjalan efektif, Bakamla harus dikembalikan pada fungsi administratif dan informatif, bukan operasional.

Selama Bakamla tetap menempatkan diri di luar sistem namun berusaha menguasainya, maka yang terganggu bukan hanya koordinasi, tetapi juga stabilitas hukum dan kedaulatan laut Indonesia.

c. Evaluasi Kebijakan Sebelumnya (Perpres No. 59 Tahun 2023)

Teks Jaknas KKPH:

“Menilai tujuh kebijakan yang telah dijalankan: patroli bersama, integritas penegakan hukum, sistem informasi, sinkronisasi regulasi, sarana-prasarana, kerja sama internasional, dan partisipasi masyarakat — lengkap dengan capaian dan rekomendasi.”

Klaim bahwa tujuh kebijakan dalam Perpres No. 59 Tahun 2023 telah berhasil dan menjadi dasar Jaknas KKPHmerupakan distorsi hukum dan fakta administratif.

Kebijakan-kebijakan tersebut justru menimbulkan tumpang tindih kewenangan, konflik lapangan antar lembaga, dan pemborosan anggaran negara.

Evaluasi yang objektif harus dimulai dari pengakuan bahwa Perpres 59/2023 sendiri adalah sumber masalah, bukan solusi.

1. Patroli Bersama

Bakamla mengklaim telah melaksanakan patroli bersama di wilayah laut Indonesia untuk meningkatkan efektivitas pengamanan.

Padahal secara hukum, kegiatan “patroli bersama” hanya sah jika dilakukan oleh lembaga yang memiliki kewenangan penyidikan atau penegakan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang.

a.     TNI AL berpatroli berdasarkan mandat pertahanan dan penegakan hukum di laut sesuai Pasal 9 huruf b UU No. 34 Tahun 2004.

b.     Polri (Korpolairud) melaksanakan patroli penegakan hukum umum berdasarkan UU No. 2 Tahun 2002.

c.     KPLP melaksanakan patroli keselamatan pelayaran berdasarkan Pasal 276–281 UU No. 66 Tahun 2024.

d.     KKP berpatroli untuk pengawasan sumber daya ikan berdasarkan UU No. 31 Tahun 2004 jo. UU No. 45 Tahun 2009.

Sementara Bakamla tidak memiliki kewenangan penyidikan apa pun.

Dengan demikian, patroli Bakamla secara hukum tidak dapat dikategorikan sebagai patroli penegakan hukum, melainkan hanya patroli administratif atau pengamatan.

Namun dalam praktiknya, Bakamla telah bertindak seolah-olah sebagai lembaga penegak hukum, melanggar asas legalitas dan mengacaukan tata koordinasi di laut.

2. Integritas Penegakan Hukum

Bakamla menyebut “integritas penegakan hukum di laut” sebagai salah satu capaian.

Namun justru, sejak Perpres 59/2023 berlaku, integritas penegakan hukum menjadi terpecah.

Sebelumnya, penegakan hukum laut dijalankan oleh lembaga yang jelas dasar hukumnya: TNI AL, Polri, KPLP, KKP, Bea Cukai, dan KLHK.

Setelah Bakamla hadir dengan klaim koordinatif, muncul ketidakpastian hukum (legal uncertainty) di lapangan — aparat menjadi ragu siapa yang berwenang melakukan pemeriksaan, penangkapan, atau penyidikan.

Akibatnya, bukannya integritas meningkat, justru timbul kekacauan otoritas dan risiko pelanggaran hak hukum pelaku di laut karena pemeriksaan dilakukan oleh lembaga tanpa dasar atribusi hukum.

3. Sistem Informasi Keamanan Laut

Pembangunan “Sistem Informasi Keamanan Laut Terpadu” yang digagas Bakamla juga tidak berdasar hukum yang jelas.

Data intelijen maritim, peringatan dini, dan informasi penegakan hukum laut adalah informasi yang diatur secara sektoral dan dilindungi oleh undang-undang:

a.     TNI AL mengelola data pertahanan laut;

b.     Kemenhub (KPLP) mengelola data keselamatan pelayaran;

c.     KKP mengelola data VMS perikanan;

d.     Polri dan BNN mengelola data kejahatan transnasional.

Tidak ada satu pun aturan yang memberi Bakamla hak mengakses dan mengintegrasikan data lintas lembaga tersebut.

Oleh karena itu, pembangunan sistem informasi oleh Bakamla berpotensi melanggar kerahasiaan negara dan keamanan pertahanan, karena mencampur data sensitif lintas yurisdiksi tanpa dasar hukum koordinatif.

4. Sinkronisasi Regulasi

Bakamla mengklaim telah menyinkronkan regulasi penegakan hukum laut.

Namun faktanya, tidak ada satu pun hasil sinkronisasi yang diakui oleh kementerian dan lembaga terkait.

Peraturan perundang-undangan yang mengatur keamanan dan keselamatan laut adalah produk undang-undang, bukan kebijakan eksekutif di tingkat peraturan presiden.

Dengan demikian, Perpres 59/2023 tidak memiliki kewenangan untuk mengubah, menafsirkan ulang, atau mensinkronkan undang-undang sektoral.

Apa yang dilakukan Bakamla melalui perpres ini adalah pelampauan wewenang (ultra vires) dan dapat digugat melalui Mahkamah Agung.

5. Pembangunan Sarana dan Prasarana

Bakamla melaporkan pembangunan pangkalan, radar, dan kapal patroli.

Padahal pembangunan tersebut merupakan duplikasi terhadap aset yang sudah dimiliki oleh TNI AL dan KPLP.

Alih-alih efisiensi, justru menimbulkan pemborosan dan konflik wilayah kerja.

Sarana yang seharusnya dibangun untuk memperkuat instansi sah malah dialihkan untuk memperluas eksistensi Bakamla yang belum diatur undang-undang.

Hal ini melanggar Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, karena tidak memenuhi asas efisiensi dan akuntabilitas.

6. Kerja Sama Internasional

Bakamla sering menggunakan kerja sama internasional sebagai legitimasi kehadirannya.

Namun secara hukum internasional, hanya lembaga yang diatur undang-undang nasional yang dapat bertindak sebagai competent authority.

Karena Bakamla tidak diatur dalam undang-undang, maka setiap MoU atau kerja sama internasional yang dilakukan Bakamla tidak memiliki kekuatan hukum internasional yang sah.

Hal ini berpotensi menimbulkan dispute diplomatik karena mitra asing dapat mempertanyakan otoritas hukum Bakamla dalam menandatangani perjanjian antarnegara.

7. Partisipasi Masyarakat

Program “partisipasi masyarakat” yang digagas Bakamla tidak memiliki arah yang jelas.

Lembaga yang sah telah menjalankan partisipasi masyarakat melalui mekanisme hukum yang mapan — seperti Community Policing oleh Polri, Pemberdayaan Nelayan oleh KKP, dan Kesyahbandaran oleh Kemenhub.

Bakamla tidak memiliki dasar hukum maupun mekanisme untuk melakukan pembinaan masyarakat di laut.

Kegiatan ini justru berpotensi menciptakan tumpang tindih dan kebingungan kewenangan antar lembaga.

Kesimpulan.

Evaluasi atas pelaksanaan Perpres 59/2023 menunjukkan hasil sebaliknya dari yang diklaim:

a.     Patroli tumpang tindih, bukan sinergis.

b.     Penegakan hukum menjadi kabur, bukan terintegrasi.

c.     Sistem informasi berpotensi melanggar rahasia negara.

d.     Sinkronisasi regulasi justru melanggar hierarki peraturan.

e.     Sarana prasarana duplikatif dan memboroskan anggaran.

f.      Kerja sama internasional dilakukan tanpa dasar hukum.

g.     Partisipasi masyarakat tidak relevan secara yuridis.

Dengan demikian, Perpres No. 59 Tahun 2023 tidak layak dipertahankan dan harus dicabut, karena tidak menghasilkan integrasi, melainkan anarki administratif dan pelanggaran konstitusi.

d. Arah Pembangunan Nasional 2027–2031

Teks Jaknas KKPH:

“Menetapkan fokus pada:

1.              penguatan sistem peringatan dini di laut,

2.              peningkatan kapasitas patroli dan operasi keamanan,

3.              penyelesaian kasus hukum laut, dan

4.              penyempurnaan regulasi keamanan maritim.

Dilengkapi dengan Indeks Keamanan Laut Nasional sebagai ukuran kinerja.”

Tujuan dan arah pembangunan yang tertulis dalam dokumen ini tidak salah dari segi niat, namun salah total dalam penempatan lembaga pelaksana dan landasan hukumnya.

Keempat fokus pembangunan tersebut sudah dilaksanakan secara legal dan efektif oleh lembaga negara yang sah, sehingga tidak perlu diatur atau diambil alih oleh Bakamla.

1. Penguatan Sistem Peringatan Dini di Laut

Sistem peringatan dini (early warning system) di laut telah dibangun jauh sebelum Bakamla berdiri.

a.     TNI AL mengembangkan sistem intelijen maritim dan Maritime Domain Awareness (MDA) berbasis radar, AIS, dan satelit, bekerja sama dengan BMKG dan BSSN untuk ancaman siber laut.

b.     Kementerian Perhubungan (KPLP) mengelola Vessel Traffic Services (VTS) untuk keselamatan pelayaran dan navigasi.

c.     KKP memiliki sistem peringatan dini Illegal, Unreported, and Unregulated Fishing (IUU) melalui satelit dan VMS(Vessel Monitoring System).

Semua sistem ini saling terhubung dalam kerangka koordinasi Kemenko Polhukam.

Jadi, ketika Bakamla mengklaim akan memperkuat sistem peringatan dini, sesungguhnya Bakamla hendak mengambil alih fungsi yang bukan miliknya.

Sistem sudah berjalan — yang perlu diperkuat adalah koordinasi antar lembaga resmi, bukan penambahan lembaga baru.

2. Peningkatan Kapasitas Patroli dan Operasi Keamanan

Patroli keamanan laut di Indonesia sudah dijalankan oleh lembaga dengan mandat hukum yang sah dan fungsi yang berbeda sesuai bidangnya:

a.     TNI AL menjaga keamanan dan kedaulatan wilayah laut serta mengamankan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).

b.     KPLP menjaga keselamatan pelayaran, mencegah kecelakaan, dan mengawasi pelanggaran terhadap UU Pelayaran.

c.     Polri (Korpolairud) bertugas menangani kejahatan umum di laut seperti penyelundupan, perdagangan manusia, dan terorisme laut.

d.     KKP bertugas menindak illegal fishing dan pencurian sumber daya perikanan.

Bakamla tidak memiliki dasar hukum untuk melakukan patroli penegakan hukum.

Dengan demikian, rencana peningkatan kapasitas patroli yang dimaksud Jaknas KKPH adalah tindakan tanpa dasar hukum dan berpotensi menimbulkan benturan antar instansi di laut.

Yang diperlukan bukan memperbanyak kapal Bakamla, tetapi memperkuat armada lembaga yang sah dengan sistem anggaran terpadu di bawah Kemenko Polhukam dan Kemenhan.

3. Penyelesaian Kasus Hukum Laut

Sistem penegakan hukum laut di Indonesia sudah lengkap dan memiliki penyidik sah di setiap bidang.

Pasal 277 ayat (2) UU No. 66 Tahun 2024 menegaskan bahwa penyidikan di laut dilaksanakan oleh penyidik sesuai dengan peraturan perundang-undangan masing-masing sektor.

Artinya:

a.     Kasus pelanggaran pelayaran ditangani KPLP dan Polri.

b.     Kasus pencurian ikan ditangani PPNS KKP dan Polri.

c.     Kasus pelanggaran wilayah ditangani TNI AL.

d.     Kasus pencemaran laut ditangani KLHK dan Kemenhub.

Bakamla tidak termasuk dalam daftar penyidik sebagaimana diatur undang-undang.

Oleh sebab itu, setiap rencana aksi Bakamla untuk “penyelesaian kasus hukum laut” adalah tidak sah secara hukum dan melanggar prinsip negara hukum (Pasal 1 ayat (3) UUD 1945).

Jika diteruskan, hal ini berpotensi menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga penegak hukum.

4. Penyempurnaan Regulasi Keamanan Maritim

Penyempurnaan regulasi adalah tugas DPR bersama Pemerintah, bukan lembaga administratif seperti Bakamla.

Bakamla tidak memiliki fungsi legislasi, dan tidak termasuk dalam sistem pembentukan peraturan perundang-undangan (UU No. 12 Tahun 2011).

Maka ketika Bakamla mencantumkan “penyempurnaan regulasi keamanan maritim” sebagai program kerja, tindakan itu melampaui kewenangan konstitusionalnya.

Yang berwenang mengusulkan penyempurnaan regulasi adalah kementerian teknis (Kemenhub, KKP, Kemenhan) yang memiliki dasar hukum sektoral.

Dengan kata lain, rencana Bakamla untuk menyempurnakan regulasi adalah bentuk penyalahgunaan kewenangan administratif.

5. Indeks Keamanan Laut Nasional

Rencana pembuatan Indeks Keamanan Laut Nasional oleh Bakamla tidak memiliki dasar hukum.

Penilaian keamanan laut adalah fungsi negara, bukan fungsi lembaga administratif.

Ukuran keamanan laut hanya dapat dinilai dari stabilitas pertahanan dan kepastian hukum di laut, bukan dari data yang dikumpulkan lembaga non-penegak hukum.

Bakamla tidak memiliki kewenangan, data, ataupun parameter objektif untuk menilai keamanan laut, karena ia bukan bagian dari sistem penyidikan, pertahanan, atau keselamatan pelayaran.

Jika Bakamla membuat indeksnya sendiri, hasilnya akan menjadi alat legitimasi semu untuk menjustifikasi eksistensinya.

Ini bukan riset ilmiah, melainkan strategi politis untuk menciptakan kesan seolah Bakamla dibutuhkan.

Kesimpulan.

Semua arah pembangunan 2027–2031 yang tercantum dalam dokumen Jaknas KKPH sudah dilaksanakan oleh lembaga sah dan berlandaskan undang-undang.

Tidak ada satu pun yang membutuhkan Bakamla.

Sebaliknya, jika Bakamla dipaksakan untuk memimpin program tersebut, maka akan timbul:

1.         Tumpang tindih kewenangan dan pelanggaran hukum administrasi negara;

2.         Pelemahan peran TNI AL, Polri, KPLP, dan KKP yang sudah sah secara hukum;

3.         Kerugian keuangan negara akibat duplikasi program dan anggaran;

4.         Kekacauan diplomatik akibat tindakan lembaga yang tidak diakui hukum internasional.

Karena itu, agar Indonesia Emas 2045 benar-benar terwujud, pemerintah harus mencabut Perpres 59 Tahun 2023dan mengembalikan seluruh fungsi keamanan laut kepada lembaga yang sah secara konstitusional.

Kekuatan Indonesia tidak terletak pada banyaknya lembaga, tetapi pada tegaknya hukum dan tertibnya struktur negara.

e. Landasan Filosofis, Yuridis, Sosiologis, dan Konsepsional

Teks Jaknas KKPH:

“Menjabarkan dasar Pancasila, UUD 1945 (Pasal 25A, 30, 33, 34), serta Undang-Undang No. 32/2014 (Kelautan) dan PP No. 13/2022. Menegaskan prinsip ekonomi biru, keamanan manusia, dan sinergi lintas lembaga.”

Bagian ini mencoba memberi legitimasi moral dan konstitusional terhadap keberadaan Bakamla dengan menyebut dasar filosofis dan yuridis.

Namun jika dikaji secara hukum dan sistem ketatanegaraan, penyebutan dasar tersebut justru membuktikan bahwa Bakamla tidak memiliki tempat dalam struktur hukum Indonesia.

Dengan kata lain, Jaknas KKPH berusaha meyakinkan publik dengan landasan yang salah tafsir (misinterpretation of legal philosophy).

1. Landasan Filosofis: Salah Tafsir terhadap Pancasila

Bakamla mengklaim bekerja berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Padahal, inti dari Pancasila — terutama sila kedua dan kelima — menegaskan bahwa kedaulatan hukum dan keadilan sosial harus dijalankan melalui lembaga yang sah dan tunduk pada hukum.

Bakamla yang berdiri dan beroperasi tanpa dasar atribusi undang-undang justru melanggar prinsip moral hukum Pancasila, karena menjalankan fungsi koersif tanpa legitimasi hukum rakyat melalui DPR.

Dalam Pancasila, keadilan bukan diukur dari seberapa banyak lembaga dibuat, tetapi dari tertibnya pelaksanaan hukum dan keharmonisan antar lembaga negara.

Maka filosofi Pancasila tidak dapat dijadikan pembenaran bagi lembaga yang melanggar hukum.

Bakamla berdiri di atas niat yang tampak baik, tetapi caranya melanggar nilai dasar negara.

2. Landasan Yuridis: Salah Tafsir terhadap UUD 1945

Dokumen Jaknas KKPH menyebut beberapa pasal UUD 1945 sebagai landasan hukum — yakni Pasal 25A, 30, 33, dan 34.

Namun bila dikaji secara yuridis:

1.     Pasal 25A hanya menyebut Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara, bukan dasar pembentukan lembaga baru.

2.     Pasal ini menegaskan entitas geografis, bukan entitas kelembagaan.

3.     Maka, menjadikan Pasal 25A sebagai dasar eksistensi Bakamla adalah bentuk penyimpangan tafsir konstitusi.

4.     Pasal 30 mengatur sistem pertahanan dan keamanan negara.

Ayat (2) sampai (4) secara jelas membagi fungsi antara TNI dan Polri.

Tidak ada ruang konstitusional bagi lembaga lain untuk menjalankan fungsi keamanan, apalagi penegakan hukum.

Dengan demikian, menempatkan Bakamla sebagai “pengawal keamanan laut nasional” melanggar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945.

5.     Pasal 33 dan 34 berbicara tentang ekonomi nasional dan kesejahteraan sosial.

Pasal ini tidak berkaitan sama sekali dengan penegakan hukum atau keamanan laut.

Mengaitkannya dengan Bakamla adalah bentuk rekayasa legitimasi konstitusional, agar lembaga ini tampak seolah-olah memiliki mandat dari UUD, padahal tidak.

Dengan demikian, UUD 1945 sama sekali tidak memberikan landasan bagi Bakamla untuk berfungsi sebagai penegak hukum, penjaga keamanan, atau koordinator laut.

3. Landasan Yuridis: Salah Tafsir terhadap UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan

UU No. 32 Tahun 2014 memang menyebut istilah “Badan Keamanan Laut” dalam Pasal 59 ayat (3).

Namun pasal ini hanya menyatakan:

“Dalam rangka penegakan hukum di wilayah perairan dan wilayah yurisdiksi Indonesia, dibentuk Badan Keamanan Laut.”

Kalimat ini bukan pemberian kewenangan penegakan hukum, melainkan perintah administratif untuk membentuk lembaga koordinatif.

Lembaga tersebut tidak diberikan fungsi penyidikan, penangkapan, maupun penegakan hukum langsung.

Sayangnya, Bakamla menafsirkan pasal ini secara keliru seolah-olah memberi wewenang koersif — padahal tidak ada satu pun pasal dalam UU tersebut yang mengubah sistem penegak hukum laut yang sudah ada.

Bahkan Penjelasan Pasal 59 ayat (3) menegaskan bahwa “Badan Keamanan Laut melaksanakan fungsi patroli keamanan dan keselamatan di wilayah perairan Indonesia dan wilayah yurisdiksi Indonesia secara terkoordinasi.”

Kata kuncinya adalah secara terkoordinasi, bukan mengkoordinasikan.

Artinya, Bakamla seharusnya ikut berkoordinasi di bawah Kemenko Polhukam, bukan berdiri di atas instansi lain.

Dengan demikian, Bakamla telah melanggar semangat dan maksud pembentuk undang-undang.

4. Landasan Yuridis: Salah Tafsir terhadap PP No. 13 Tahun 2022

PP No. 13 Tahun 2022 hanya mengatur tentang pelaksanaan fungsi keamanan laut berdasarkan peraturan yang lebih tinggi.

Namun PP ini tidak pernah menempatkan Bakamla sebagai lembaga penegak hukum tunggal di laut.

Jika Bakamla menafsirkan PP ini sebagai dasar untuk mengambil alih fungsi KPLP, Polri, atau TNI AL, maka itu adalah penyimpangan hukum administratif (abuse of power).

5. Landasan Sosiologis: Salah Diagnosis terhadap Masalah Nasional

Dokumen Jaknas KKPH menulis bahwa koordinasi antar lembaga lemah dan perlu disatukan di bawah Bakamla.

Padahal, masalah utama bukan koordinasi, tetapi intervensi kelembagaan oleh Bakamla yang tidak memiliki fungsi hukum.

Selama ini sistem koordinasi penegakan hukum laut sudah ada dan berjalan melalui Forum Koordinasi Penegakan Hukum di Laut (Forkorhal) di bawah Kemenko Polhukam.

Yang menyebabkan koordinasi macet justru Bakamla sendiri, karena memaksa masuk ke dalam sistem yang bukan bagiannya.

Oleh sebab itu, masalah sosiologis bukan lemahnya koordinasi antar lembaga, tetapi ketidaktertiban kelembagaan yang diciptakan oleh Bakamla.

6. Landasan Konsepsional: Konsep Keamanan Laut yang Salah Kaprah

Bakamla menggunakan istilah “keamanan laut” (maritime security) sebagai justifikasi kewenangannya.

Padahal dalam konsep hukum internasional, maritime security bukan hanya soal patroli atau penegakan hukum, melainkan gabungan antara pertahanan (naval defense), keselamatan pelayaran (safety), dan perlindungan sumber daya (environmental protection).

Ketiga fungsi itu sudah dijalankan oleh:

a.     TNI AL (pertahanan dan kedaulatan);

b.     KPLP (keselamatan pelayaran);

c.     KKP dan KLHK (perlindungan sumber daya laut);

6.     Polri dan Bea Cukai (penegakan hukum umum dan kepabeanan).

Dengan demikian, konsep “keamanan laut” yang diambil alih oleh Bakamla adalah tumpang tindih dan inkonstitusional.

Kesimpulan. 

Landasan yang diklaim oleh Bakamla dalam Jaknas KKPH — baik filosofis, yuridis, sosiologis, maupun konsepsional — seluruhnya salah tafsir dan salah arah.

Bakamla tidak memiliki:

a.     dasar filosofis dari Pancasila,

b.     dasar yuridis dari UUD 1945,

c.     dasar operasional dari UU 32/2014, maupun

d.     relevansi sosiologis di lapangan.

Semua dasar yang disebut hanyalah upaya memoles pelanggaran konstitusi agar terlihat ilmiah.

Kebenaran hukum tidak diukur dari banyaknya pasal yang dikutip, tetapi dari kesetiaan pada prinsip dasar negara hukum.

Oleh karena itu, agar hukum dan pemerintahan maritim Indonesia kembali tertib, Jaknas KKPH 2025 harus ditolak dan Perpres No. 59 Tahun 2023 harus dicabut.

Kapal yang berlayar tanpa kompas akan menabrak karang — demikian pula negara yang memberi kekuasaan kepada lembaga tanpa dasar hukum.

Sudah saatnya pemerintah mengembalikan kompas hukum laut Indonesia ke arah yang benar: hukum di atas segalanya, bukan lembaga di atas hukum.

f. Rencana Aksi Nasional (Matriks)

Teks Jaknas KKPH:

“Bagian terpanjang dokumen — memuat rincian program kerja, target, indikator, dan penanggung jawab untuk setiap kementerian/lembaga dari 2027–2031, mencakup:

a.     Patroli bersama nasional dan internasional,

b.     Sinkronisasi SOP dan regulasi penegakan hukum,

c.     Pembangunan sistem informasi maritim terintegrasi,

d.     Pengembangan sarana-prasarana dan pangkalan bersama,

e.     Kerja sama internasional dan pemberdayaan masyarakat pesisir.”

Bagian ini adalah inti dari seluruh dokumen Jaknas KKPH 2025. Namun justru di sinilah tampak paling jelas bukti bahwa Bakamla berusaha mengambil alih peran lembaga lain melalui rencana aksi yang tidak memiliki dasar hukum.

Matriks yang disusun Bakamla bukanlah rencana aksi nasional yang sah, melainkan daftar duplikasi kewenangan yang berpotensi menciptakan konflik administratif, hukum, dan diplomatik.

1. “Patroli Bersama Nasional dan Internasional” — Pelanggaran Terang-terangan atas UU

Rencana ini menempatkan Bakamla sebagai pelaksana utama patroli nasional dan mitra internasional.

Padahal secara hukum:

a.     Patroli keamanan dan pertahanan laut adalah wewenang TNI AL (UU No. 34 Tahun 2004).

b.     Patroli keselamatan pelayaran adalah wewenang KPLP (UU No. 66 Tahun 2024).

c.     Patroli sumber daya perikanan adalah wewenang KKP (UU No. 45 Tahun 2009).

d.     Patroli penegakan hukum umum dan transnasional adalah wewenang Polri (UU No. 2 Tahun 2002).

Bakamla tidak memiliki kewenangan hukum untuk melakukan patroli, apalagi internasional.

Jika Bakamla melaksanakan patroli bersama dengan lembaga asing, itu berarti tindakan diplomatik dan militer di luar jalur hukum nasional.

Akibatnya, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai pelanggaran kedaulatan dan yurisdiksi oleh hukum internasional (UNCLOS 1982).

Negara mitra dapat mempertanyakan keabsahan Bakamla sebagai competent authority, dan ini akan mempermalukan Indonesia di mata dunia.

2. “Sinkronisasi SOP dan Regulasi Penegakan Hukum” — Pelampauan Wewenang

Sinkronisasi regulasi adalah fungsi pemerintah dalam konteks pembentukan peraturan perundang-undangan (Pasal 5 ayat (1) UUD 1945).

Bakamla, sebagai lembaga non-kementerian, tidak memiliki kewenangan normatif maupun delegatif untuk mengubah atau menyatukan SOP lembaga penegak hukum lain.

SOP Polri, KPLP, KKP, maupun TNI AL diatur oleh peraturan menteri dan undang-undang masing-masing.

Dengan mencoba “menyatukan SOP”, Bakamla justru melampaui batas kewenangannya (ultra vires) dan menciptakan potensi pelanggaran administratif serius.

Lebih berbahaya lagi, sinkronisasi yang dilakukan Bakamla dapat menimbulkan konflik prosedural. Misalnya, SOP KPLP dalam pemeriksaan kapal sipil tidak bisa disamakan dengan operasi TNI AL terhadap kapal asing.

Oleh karena itu, klaim Bakamla untuk menyeragamkan SOP penegakan hukum laut bukan hanya keliru, tetapi juga menyalahi struktur hukum nasional.

3. “Pembangunan Sistem Informasi Maritim Terintegrasi” — Ancaman terhadap Rahasia Negara

Bakamla berencana membangun sistem informasi maritim nasional dengan integrasi data dari seluruh lembaga: TNI AL, Polri, Kemenhub, KKP, dan lainnya.

Namun langkah ini melanggar batas klasifikasi keamanan negara.

Data maritim milik TNI AL dan Kemenhan dikategorikan sebagai informasi pertahanan rahasia negara, yang tidak dapat dibuka atau dipadukan tanpa izin resmi.

Sementara data navigasi KPLP dan data perikanan KKP memiliki status administratif berbeda dan dilindungi oleh peraturan sektoral.

Jika Bakamla benar-benar mengakses dan mengintegrasikan data lintas lembaga tersebut tanpa otorisasi hukum, tindakan itu bisa dikategorikan sebagai pelanggaran rahasia negara (Pasal 112 KUHP dan UU No. 17 Tahun 2011 tentang Intelijen Negara).

Artinya, sistem informasi yang diklaim “terintegrasi” ini berpotensi menjadi sistem ilegal yang mengancam keamanan nasional.

4. “Pembangunan Sarana-Prasarana dan Pangkalan Bersama” — Duplikasi Anggaran dan Konflik Lapangan

Program ini paling berbahaya dari sisi keuangan negara.

Bakamla berencana membangun pangkalan, radar, dan kapal patroli “bersama”.

Padahal:

a.     Pangkalan laut sudah dimiliki dan dioperasikan oleh TNI AL di seluruh pangkalan utama dan pangkalan sementara;

b.     Fasilitas pelayaran dan pengawasan sudah dijalankan KPLP dan Kemenhub;

c.     Pos pengawasan perikanan sudah tersedia di bawah KKP.

Membangun lagi fasilitas serupa berarti menggandakan penggunaan APBN untuk fungsi yang sama.

Hal ini melanggar asas efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.

Selain itu, penempatan pangkalan Bakamla di dekat pangkalan TNI AL dapat memicu benturan operasional dan tumpang tindih area tanggung jawab di laut.

Ini bukan sinergi — ini duplikasi kelembagaan yang tidak sah dan memboroskan keuangan negara.

5. “Kerja Sama Internasional” — Risiko Diplomatik Serius

Kerja sama internasional hanya dapat dilakukan oleh lembaga yang diakui sebagai competent authority sesuai undang-undang nasional.

TNI AL, Kemenhub, KKP, dan Polri adalah lembaga yang sah.

Namun Bakamla, yang tidak diatur dalam UU mana pun, tidak dapat menjadi pihak resmi dalam perjanjian internasional.

Kerja sama internasional oleh Bakamla, apalagi dengan lembaga seperti US Coast Guard atau Japan Coast Guard, tidak memiliki kekuatan hukum dan tidak mengikat negara Indonesia.

Jika terjadi insiden di laut yang melibatkan Bakamla, negara lain dapat menolak tanggung jawab diplomatik dengan alasan bahwa Bakamla bukan lembaga hukum yang sah.

Dengan demikian, kerja sama internasional yang dilakukan Bakamla justru membuka risiko sengketa diplomatik dan hukum internasional yang berat bagi Indonesia.

6. “Pemberdayaan Masyarakat Pesisir” — Tumpang Tindih dengan KKP dan Kemenko PMK

Program pemberdayaan masyarakat pesisir telah dijalankan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK).

Keduanya memiliki perangkat hukum dan anggaran yang jelas.

Bakamla tidak memiliki dasar hukum, perangkat birokrasi, maupun kapasitas sosial untuk menjalankan fungsi pemberdayaan masyarakat.

Upaya ini hanya menunjukkan bahwa Bakamla mencoba melebarkan peran agar tampak relevan, padahal tugas aslinya tidak pernah diatur secara hukum.

7. Kesimpulan.

Seluruh isi Rencana Aksi Nasional versi Bakamla tidak memiliki dasar hukum dan hanya menduplikasi fungsi lembaga lain.

Setiap programnya memiliki risiko hukum tersendiri:

Rencana Aksi                           Lembaga Sah                           Status Hukum Rencana Bakamla

Patroli Bersama                       TNI AL, Polri, KPLP, KKP           Ilegal dan melanggar UU

Sinkronisasi SOP                     Kemenko Polhukam, Kemenhub, KKP Pelampauan wewenang (ultra vires)

Sistem Informasi Maritim       BIN, BSSN, TNI AL                    Berpotensi melanggar rahasia negara

Pangkalan BersamaTNI AL, KPLP                                            Duplikasi dan pemborosan APBN

Kerja Sama Internasional Kemlu,        TNI AL, Polri                Tidak sah secara diplomatik

Pemberdayaan Masyarakat                KKP, Kemenko PMK     Tumpang tindih fungsi sosial

Dengan demikian, Rencana Aksi Nasional Bakamla bukanlah dokumen pembangunan, melainkan dokumen pelanggaran hukum sistemik.

Setiap butir di dalamnya adalah langkah menuju kekacauan konstitusional dan administratif.

Oleh karena itu:

DPR RI dan Bappenas harus menolak rencana aksi ini.

Sebab mendukungnya sama saja dengan melegitimasi pelanggaran UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) dan menghancurkan sistem hukum laut Indonesia yang sudah tertata berdasarkan undang-undang.

Lebih baik pemerintah mencabut Perpres 59 Tahun 2023, menghapus konsep Jaknas KKPH versi Bakamla, dan mengembalikan seluruh fungsi keamanan laut kepada lembaga yang sah dan konstitusional.

3. Inti Kebijakan

Teks Jaknas KKPH:

“Kebijakan Nasional KKPH menegaskan bahwa penyelenggaraan keamanan laut harus dilaksanakan dengan pendekatan whole-of-government (lintas K/L, daerah, dan masyarakat), berorientasi pada good order at sea, dan diarahkan untuk membangun sistem keamanan laut terpadu, transparan, serta akuntabel.”

Klaim ini tampak indah secara retorika, tetapi menyesatkan secara konstitusional dan yuridis.

Apa yang disebut sebagai “pendekatan terpadu dan transparan” dalam Jaknas KKPH sesungguhnya bukan sinergi hukum, melainkan usaha Bakamla untuk memonopoli koordinasi yang tidak menjadi haknya.

1. Pendekatan Whole-of-Government Sudah Ada dan Sah

Konsep whole-of-government approach memang penting, tetapi di Indonesia sudah dijalankan secara resmi oleh Kemenko Polhukam.

Kemenko Polhukam merupakan lembaga negara yang secara konstitusional ditugaskan mengoordinasikan bidang politik, hukum, dan keamanan.

Semua lembaga yang disebut dalam Jaknas KKPH — TNI AL, Polri, KPLP, KKP, KLHK, dan Bea Cukai — berada di bawah koordinasi Kemenko Polhukam, bukan Bakamla.

Dengan demikian, ketika Bakamla menyebut dirinya sebagai pelaksana “pendekatan lintas lembaga”, maka ia telah meniru fungsi Kemenko Polhukam tanpa dasar hukum.

Ini adalah bentuk penggandaan lembaga koordinasi (shadow coordination body) yang mengacaukan hierarki administrasi negara.

Negara hukum tidak mengenal dua lembaga yang memimpin koordinasi sektor yang sama.

2. Prinsip Good Order at Sea Sudah Dijalankan

Istilah good order at sea diambil dari terminologi hukum laut internasional, yang berarti keteraturan di laut melalui kepastian yurisdiksi, penegakan hukum, keselamatan navigasi, dan perlindungan lingkungan.

Keempat pilar ini sudah dijalankan oleh lembaga yang sah:

a.     TNI AL menegakkan hukum dan pertahanan laut.

b.     KPLP memastikan keselamatan dan keteraturan pelayaran.

c.     KKP dan KLHK melindungi sumber daya laut dan lingkungan hidup.

d.     Polri dan Bea Cukai menegakkan hukum pidana dan ekonomi laut.

Semuanya bekerja dalam kerangka hukum yang jelas.

Bakamla tidak memiliki yurisdiksi, tidak memiliki kewenangan penyidikan, dan tidak memiliki kewajiban hukum untuk melaksanakan good order at sea.

Dengan demikian, klaim Bakamla bahwa mereka menjaga “keteraturan di laut” adalah klaim kosong tanpa dasar hukum.

3. “Sistem Keamanan Laut Terpadu” = Klaim Kosong

Kata “terpadu” yang digunakan Bakamla adalah retorika administratif tanpa substansi hukum.

Yang disebut sistem keamanan laut terpadu sudah dibangun melalui mekanisme Forkorhal (Forum Koordinasi Penegakan Hukum di Laut) di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

Forkorhal terdiri dari perwakilan resmi TNI AL, Polri, KPLP, KKP, dan lembaga terkait.

Bakamla hanya salah satu peserta forum, bukan pemimpin forum.

Namun melalui Jaknas KKPH, Bakamla berusaha menggantikan peran Forkorhal dengan membuat sistem baru yang dikendalikan sendiri.

Inilah akar kekacauan hukum di laut: lembaga tanpa dasar hukum mencoba mengatur lembaga yang sah.

Hasilnya bukan keterpaduan, melainkan konflik struktural dan perebutan kewenangan.

4. Klaim “Transparansi dan Akuntabilitas” Justru Membahayakan

Bakamla menyebut sistemnya “transparan dan akuntabel”.

Padahal, Bakamla tidak memiliki mekanisme pertanggungjawaban hukum yang jelas.

Ia bukan bagian dari kementerian tertentu, tidak memiliki undang-undang organik, dan tidak tunduk pada sistem pertanggungjawaban kementerian/lembaga.

Anggarannya diambil dari APBN tetapi tidak memiliki mekanisme pengawasan politik melalui kementerian terkait.

Dengan kata lain, Bakamla adalah lembaga yang menggunakan uang negara tanpa rantai akuntabilitas yang sah.

Prinsip transparansi dan akuntabilitas tidak bisa diklaim dengan kata-kata; ia harus dibuktikan dengan dasar hukum dan sistem pengawasan yang jelas.

Selama Bakamla tidak tunduk pada sistem akuntabilitas hukum yang berlaku, maka setiap tindakan operasionalnya adalah tindakan administratif yang melanggar hukum (maladministrasi).

5. Bakamla Sebagai “Koordinator Nasional” Adalah Bentuk Penyimpangan Konstitusional

Penetapan Bakamla sebagai koordinator nasional keamanan laut dalam Perpres 59/2023 dan Jaknas KKPH adalah bentuk pelanggaran struktural terhadap Pasal 30 UUD 1945.

Pasal 30 secara tegas membagi urusan pertahanan kepada TNI dan penegakan hukum kepada Polri.

Tidak ada satu pun ruang konstitusional yang memperbolehkan lembaga administratif memimpin fungsi keamanan nasional.

Dengan menempatkan diri di atas TNI AL dan Polri, Bakamla secara tidak langsung telah melanggar prinsip supremasi hukum dan kedaulatan konstitusi.

Jika konsep ini dibiarkan, maka preseden berbahaya akan muncul:

Lembaga administratif dapat menciptakan sistem keamanan nasional tandingan tanpa mandat dari DPR maupun UUD 1945.

Ini bukan reformasi kelembagaan, tetapi pembelahan konstitusi.

6. Akibat Logis: Terpadu dalam Kekacauan

Jika kebijakan ini diterapkan, hasil akhirnya bukan integrated maritime security, melainkan integrated confusion.

Alih-alih menciptakan sinergi, akan muncul tumpang tindih operasi, perebutan wilayah tanggung jawab, dan pemborosan anggaran lintas lembaga.

Kapal TNI AL, Polri, KPLP, dan KKP akan beroperasi di area yang sama dengan Bakamla, namun tanpa satu pun dasar komando hukum yang jelas.

Hal ini bukan hanya membahayakan efektivitas keamanan laut, tetapi juga mengancam keselamatan personel dan merusak wibawa negara di mata dunia.

7.Kesimpulan.

Konsep inti kebijakan Bakamla yang disebut “terpadu, transparan, dan akuntabel” hanyalah retorika untuk melegitimasi lembaga yang tidak memiliki dasar hukum.

Dalam praktiknya, kebijakan tersebut:

a.     Menggandakan fungsi Kemenko Polhukam (koordinasi);

b.     Mengambil alih fungsi TNI AL dan Polri (keamanan dan penegakan hukum);

c.     Mengacaukan sistem Forkorhal yang sudah sah;

d.     Menghilangkan akuntabilitas anggaran;

e.     Melanggar Pasal 30 UUD 1945;

f.      Menimbulkan kebingungan dan duplikasi lembaga di laut.

Karena itu, inti kebijakan Bakamla bukan integrasi, melainkan invasi terhadap sistem hukum nasional.

Bakamla tidak memperkuat good order at sea, tetapi justru menciptakan legal disorder at sea.

Untuk memulihkan tertib hukum laut Indonesia dan menjaga kehormatan konstitusi, Jaknas KKPH harus ditolak dan Perpres 59 Tahun 2023 harus dicabut.

4. Kesimpulan Umum dan Seruan kepada DPR serta Bappenas

1. Kesimpulan Umum

Berdasarkan hasil pembacaan dan analisis atas dokumen Jaknas KKPH 2025 (Lampiran Rencana Aksi Nasional 2027–2031), dapat disimpulkan dengan tegas bahwa:

a.     Dokumen ini tidak memiliki dasar hukum yang sah, karena seluruh konsep dan arah kebijakannya bertumpu pada Peraturan Presiden Nomor 59 Tahun 2023, yang bertentangan dengan sistem hukum nasional dan UUD 1945.

b.    Rencana aksi yang disusun oleh Bakamla adalah bentuk duplikasi terhadap fungsi lembaga negara yang sudah ada dan sah secara hukum: TNI AL, Polri, KPLP, KKP, Bea Cukai, dan KLHK.

c.     Bakamla tidak memiliki dasar atribusi konstitusional maupun delegatif untuk melaksanakan fungsi pertahanan, keamanan, keselamatan, atau penegakan hukum di laut.

d.    Semua ancaman yang disebut dalam dokumen (illegal fishing, penyelundupan, terorisme laut, pencemaran, dan pelanggaran wilayah) sudah ditangani oleh lembaga yang sah, dan sudah diatur secara lengkap dalam undang-undang sektoral.

e.     Klaim Bakamla tentang “lemahnya koordinasi” adalah asumsi sepihak dan keliru secara hukum, karena koordinasi penegakan hukum laut sudah dijalankan melalui Forum Koordinasi Penegakan Hukum di Laut (Forkorhal) di bawah koordinasi Kemenko Polhukam.

f.      Dengan menempatkan dirinya sebagai “koordinator nasional”, Bakamla telah melampaui batas hukum (ultra vires) dan melanggar Pasal 30 UUD 1945, yang hanya memberikan fungsi keamanan dan penegakan hukum kepada TNI dan Polri.

g.     Jaknas KKPH 2025 pada hakikatnya adalah dokumen politik kelembagaan, bukan dokumen hukum pembangunan, karena berisi upaya sistematis untuk menempatkan lembaga non-penegak hukum sebagai penguasa laut.

2. Pelanggaran Konstitusional dan Hukum

Secara eksplisit, keberadaan dan rencana aksi Bakamla melalui Jaknas KKPH dan Perpres 59 Tahun 2023:

a.     Melanggar Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, karena membentuk lembaga koersif tanpa dasar undang-undang;

b.     Melanggar Pasal 30 ayat (4) UUD 1945, karena mengambil fungsi penegakan hukum dari Polri;

c.     Melanggar Pasal 9 huruf b UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, karena mereduksi peran TNI AL dalam menjaga keamanan laut;

d.     Melanggar Pasal 276–281 UU No. 66 Tahun 2024 tentang Pelayaran, karena mengganggu kewenangan KPLP sebagai penegak keselamatan pelayaran;

e.     Melanggar asas legalitas dan akuntabilitas keuangan negara (Pasal 3 UU No. 17 Tahun 2003), karena menjalankan fungsi dan anggaran tanpa mandat hukum;

f.      Berpotensi melanggar hukum internasional (UNCLOS 1982), karena Bakamla tidak diakui sebagai competent authority dalam sistem hukum laut nasional.

Dengan demikian, kebijakan ini bukan hanya cacat administratif, tetapi cacat konstitusional.

3. Dampak Strategis Jika Tidak Dihentikan

Apabila Jaknas KKPH tetap diteruskan dan menjadi pedoman kebijakan nasional, maka:

a.     Akan terjadi benturan kewenangan antara Bakamla dan TNI AL, Polri, serta KPLP di lapangan;

b.     Terjadi duplikasi penggunaan APBN dan potensi pemborosan miliaran rupiah setiap tahun;

c.     Menimbulkan kekacauan rantai komando di laut yang berisiko pada keselamatan operasi;

d.     Membuka potensi gugatan hukum internasional atas tindakan penegakan hukum oleh lembaga yang tidak sah;

e.     Dan yang paling serius: merusak sistem hukum Indonesia dari dalam, karena menormalisasi lembaga yang berdiri tanpa dasar hukum.

4. Seruan Tegas kepada DPR dan Bappenas

Sebagai mantan perwira TNI AL dan ahli hukum negara, dengan penuh tanggung jawab saya menyampaikan seruan ini:

1.           Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI):

DPR harus menolak seluruh rencana aksi dan arah kebijakan Jaknas KKPH 2025 karena dokumen tersebut melanggar UUD 1945 dan menciptakan lembaga bayangan di luar sistem hukum nasional.

DPR wajib meminta pemerintah mencabut Perpres No. 59 Tahun 2023 dan mengembalikan fungsi keamanan laut kepada lembaga yang sah:

a.     TNI AL sebagai penjaga kedaulatan laut;

b.     Polri sebagai penegak hukum;

c.     KPLP sebagai pengawas keselamatan pelayaran;

d.     KKP sebagai pengawas sumber daya kelautan.

2.           Kepada Kementerian PPN/Bappenas:

Bappenas tidak boleh memasukkan program atau anggaran yang bersumber dari Jaknas KKPH ke dalam RPJMN atau rencana pembangunan nasional 2027–2031.

Sebab hal itu berarti mendanai kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi dan hukum nasional.

Bappenas harus menegakkan prinsip rule of law dalam perencanaan pembangunan, bukan memperkuat lembaga yang berdiri di luar sistem.

3.           Kepada Pemerintah Republik Indonesia (Presiden dan Kemenko Polhukam):

Pemerintah harus mengembalikan arah kebijakan laut Indonesia kepada sistem hukum yang sah.

Bakamla sebaiknya dikembalikan pada fungsi koordinatif administratif di bawah Kemenko Polhukam, tanpa peran penegakan hukum dan tanpa mandat operasional di laut.

5. Penegasan Akhir

Indonesia tidak memerlukan lembaga baru untuk menjadi kuat di laut.

Yang diperlukan adalah tegaknya hukum, bukan banyaknya bendera.

Keamanan laut bukan dibangun dari lembaga yang “mengaku-aku” sebagai coast guard Indonesia, melainkan dari lembaga yang diatur secara sah oleh undang-undang.

Untuk mewujudkan Indonesia Emas 2045, negara harus mencabut Perpres 59 Tahun 2023, menolak Jaknas KKPH 2025, dan memperkuat kembali lembaga penegak hukum yang sah secara konstitusional.

Karena pada akhirnya, laut Indonesia hanya akan benar-benar aman jika dijaga oleh hukum, bukan oleh lembaga yang melanggar hukum.

— Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb