Rencana pembentukan Badan Keamanan
Laut (Bakamla) menggantikan Badan Koordinasi Keamanan Laut (Bakorkamla) telah
memunculkan kontroversi. Disebutkan bahwa terbentuknya Bakamla merupakan
konsekuensi dari disahkannyaRancangan Undang-Undang (RUU) Kelautan yang
diinisiasi Dewan Pereakilan Daerah (DPD). Digambarkan bahwa berbeda dengan Bakorkamla, Bakamla nantinya bertanggung jawab langsung kepada presiden
sebagai komando terhadap semua urusan kelautan diberbagai wilayah di Indonesia.
Saya
termasuk yang tidak setuju dengan rencana ini. Saya melihat justru ini akan
bertentangan dengan visi maritim Presiden Joko Widodo.
Selain
menimbulkan pemborosan anggaran, saya melihat adanya potensi keruwetan dalam
pengawasan laut kita. Bayangkan, hingga saat ini, di bawah Kemenko Kemaritiman
akan ada tiga satuan kapal yang bertugas di laut yaitu kapal-kapal Sea and
Coast Guard (KPLP), kapal Bakamla dan kapal Pengawas Perikanan.
Hal ini sempat kami perbincangkan dengan Salim Shahab dan Eben Ezer Siadari, yang selama ini membantu
menyunting buku yang saya tulis, “TNI dan Perdamaian di Aceh.” Mereka
berdua mencoba menggugah pemikiran saya mengenai hal ini, dengan melontarkan
sejumlah pertanyaan seputar rencana pembentukan Bakamla ini. Berikut ini wawancara
tersebut, semoga berguna untuk mendudukkan masalah ini lebih jelas.
Pemerintah akan
membentuk Bakamla menggantikan Bakorkamla. Alasan Pemerintah membentuknya
adalah karena amanat UU Kelautan. Apa pendapat Bapak dan adakah urgensi
pembentukan Bakamla ini?
Soleman B. Ponto:
Saya tidak melihat adanya urgensi untuk membentuk Bakamla. Pembentukan ini
malah menambah lagi keruwetan di laut. Dapat dibayangkan, Bakamla dibentuk
berdasarkan Undang-undang nomor 32 tahun 2014 tentang Kelautan berada
dibawa Kementrian Kelautan dan Perikanan. Padahal Kementerian Kelautan dan
Perikanan ini telah memiliki Kapal Pengawas Perikanan yang dibentuk berdasarkan
Undang-undang Perikanan.