15 Juni 2025

Mendagri Harus Segera Mencabut SK Pemindahan Empat Pulau Aceh: Sebelum Semuanya Terlambat

Mendagri Harus Segera Mencabut SK Pemindahan Empat Pulau Aceh: Sebelum Semuanya Terlambat

Jakarta 15 Jubi 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CParb

Pendahuluan

Keputusan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang memindahkan empat pulau dari wilayah Aceh Singkil ke Provinsi Sumatera Utara merupakan kebijakan yang tidak hanya cacat secara administratif dan yuridis, tetapi juga berpotensi menimbulkan gejolak politik dan keamanan di wilayah yang selama ini dikenal sensitif secara historis dan kultural. SK tersebut, jika tidak segera dicabut, dapat menghancurkan kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah pusat dan memperlemah fondasi perdamaian yang telah dibangun melalui MoU Helsinki 2005 dan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Sejarah Aceh Singkil: Wilayah Ujung Barat Daya Kesultanan Aceh

Aceh Singkil bukan sekadar wilayah administratif; ia adalah bagian tak terpisahkan dari sejarah panjang kedaulatan Aceh. Sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam pada abad ke-16, Singkil telah menjadi wilayah penting di bagian barat daya kekuasaan Aceh. Dalam berbagai sumber sejarah Belanda dan Inggris, pelabuhan Singkil tercatat sebagai salah satu jalur penting perdagangan dan pusat pengaruh Islam.

Menurut peta-peta kolonial Belanda, seperti Topographische Kaart van Atjeh en Onderhoorigheden (1904), Singkil berada dalam batas wilayah administrasi Aceh. Bahkan ketika Belanda membagi wilayah administratif dengan cara paksa pada abad ke-19, Singkil termasuk empat pulau itu tetap dimasukkan sebagai bagian dari Keresidenan Aceh dan bukan Tapanuli.

Lebih lanjut, dalam konteks modern, ketika Aceh diberikan status sebagai daerah istimewa dan kemudian daerah otonomi khusus melalui UUPA, Aceh Singkil dan keempat pulau tetap menjadi bagian integral dari provinsi ini. Tidak pernah ada proses legislatif maupun konsultasi rakyat Aceh yang menyetujui pemindahan pulau-pulau ini ke provinsi lain.

Cacat Yuridis dalam SK Mendagri

SK Mendagri yang memindahkan empat pulau dari Aceh ke Sumut didasarkan pada klaim belum adanya batas laut yang definitif. Padahal menurut prinsip dasar hukum laut internasional dan hukum nasional, batas provinsi di laut tidak serta-merta menjadi dasar sah untuk memindahkan pulau. Yang diatur dan dimiliki dalam hukum adalah wilayah pulau dan daratan, bukan wilayah laut yang merupakan yurisdiksi negara, bukan provinsi.

Lebih serius lagi, tindakan Mendagri bertentangan dengan:

  • Pasal 4 UUPA, yang menyatakan bahwa wilayah Aceh mencakup pulau-pulau dan laut sejauh 12 mil dari garis pantai.
  • Pasal 235 UUPA, yang mewajibkan semua kebijakan pusat yang berkaitan dengan Aceh harus melalui konsultasi dengan Pemerintah Aceh.
  • MoU Helsinki, yang menjadi perjanjian damai internasional dan mencantumkan wilayah Aceh sebagaimana berlaku pada tahun 1956 sebagai acuan.

Dampak Sosial dan Keamanan

Aceh bukan wilayah biasa. Aceh adalah daerah yang memiliki luka sejarah karena konflik bersenjata dan perlawanan panjang terhadap pusat. Masyarakat Aceh sangat peka terhadap isu wilayah dan kedaulatan. Pemindahan empat pulau ini akan dianggap sebagai bentuk “pencaplokan” oleh pusat—dan bukan sebagai koreksi administratif.

Gejolak protes telah muncul. Jika SK tidak dicabut, pemerintah harus siap menghadapi gelombang ketidakpercayaan, perlawanan hukum, hingga potensi ketegangan sosial dan politik yang dapat menggoyahkan stabilitas nasional, terutama di barat Indonesia. Apakah pemerintah akan mempertaruhkan perdamaian demi SK yang tidak memiliki dasar hukum kuat?

Langkah Tegas: Cabut SK Sekarang Juga

Sebelum situasi memburuk, Mendagri harus segera mencabut SK tersebut. Ini bukan hanya tentang kebenaran administratif, tetapi juga soal keadilan, konstitusionalitas, dan penghormatan terhadap sejarah serta martabat rakyat Aceh.

Pemerintah perlu:

  1. Segera mencabut SK secara resmi dan terbuka.
  2. Melibatkan Pemerintah Aceh dalam setiap diskusi soal batas wilayah.
  3. Membentuk tim bersama nasional-daerah, termasuk sejarawan dan ahli hukum, untuk mengkaji ulang batas wilayah berdasarkan sejarah dan hukum.
  4. Menegaskan kembali komitmen pemerintah terhadap MoU Helsinki dan UUPA.

Penutup

Sejarah Aceh Singkil bukan sejarah Sumatera Utara. Empat pulau itu tidak berdiri sendiri, tetapi telah menjadi bagian dari peradaban Aceh sejak masa lampau. Ketika hukum diabaikan dan sejarah dilupakan, maka bangsa ini sedang bermain api dengan keutuhan NKRI.

Cabut SK sekarang juga—sebelum terlambat. Jangan biarkan rakyat Aceh merasa dicurangi dua kali: dulu dengan senjata, kini dengan surat keputusan.

 

13 Juni 2025

Empat Pulau, Sebuah Luka di Pikiran Aceh

Empat Pulau, Sebuah Luka di Pikiran Aceh

Jakarta 13 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH
Mantan Sekertari AMM di Aceh

Ketika sebuah wilayah dilepaskan dari peta, yang terhapus bukan hanya nama geografis. Yang hilang adalah memori kolektif, suara rakyat, dan rasa memiliki. Hari ini, saya menulis sebagai bagian dari Aceh yang hatinya luka, karena mendengar kabar bahwa empat pulau yang selama ini menjadi bagian sejarah dan budaya Aceh kini tak lagi tercatat sebagai milik Aceh.

Pulau-pulau itu—yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan masyarakat pesisir Aceh, tempat mereka membangun rumah, masjid, dan harapan—kini berubah status tanpa perlawanan, tanpa berita, bahkan tanpa tanya. Apakah rakyat pulau itu tidak berhak tahu bahwa identitas kewilayahannya telah berubah? Apakah pemindahan batas administratif bisa dilakukan dengan senyap, tanpa musyawarah, tanpa partisipasi, dan tanpa kejelasan?

Saya tidak ingin berpolemik semata soal legalitas. Saya ingin mengajak kita semua merenungkan: di zaman ketika perang tidak lagi menggunakan peluru, cara merebut wilayah pun telah berubah. Hari ini yang direbut bukanlah tanah, tapi pikiran.

Inilah bentuk baru peperangan yang oleh para ahli disebut sebagai New Cortex Warfare—perang terhadap kesadaran, perang terhadap persepsi, perang terhadap identitas. Ketika peta berubah tanpa narasi, ketika sejarah dibungkam oleh birokrasi, ketika rakyat terdiam karena tidak tahu harus bersuara ke mana, maka kita sedang mengalami bentuk paling diam dari penjajahan: penghapusan halus terhadap hak berpikir dan merasa sebagai bagian dari suatu daerah.

Aceh, sepanjang sejarahnya, tidak pernah tunduk kepada ketidakadilan tanpa suara. Maka hari ini, suara itu perlu kita bangkitkan kembali—bukan untuk mengancam, tapi untuk mengingatkan. Bahwa kami masih di sini. Bahwa anak-anak yang lahir di pulau-pulau itu adalah anak Aceh. Bahwa kami berhak untuk tahu, didengar, dan dihargai.

Saya mengajak pemerintah pusat untuk tidak sekadar melihat masalah ini sebagai data koordinat. Saya mengajak pemerintah provinsi untuk tidak menanggapi ini sebagai urusan kecil. Ini adalah soal daulat wilayah, daulat sejarah, dan yang paling penting: daulat psikologis masyarakat Aceh.

Jika negara ini hendak kuat, maka ia harus mulai dengan membangun kepercayaan. Dan kepercayaan itu tumbuh dari keadilan yang partisipatif, bukan keputusan yang sepihak.

 

Empat pulau telah dipisahkan dari Aceh secara administratif. Tapi dalam hati rakyatnya, pulau-pulau itu tetap rumah. Tetap milik Aceh. Dan ketika hati tidak bisa dihapus dari peta, maka perjuangan belum berakhir.

 


Empat Pulau Dipindahkan karena Laut? Ini Salah Kaprah Hukum Laut

Empat Pulau Dipindahkan karena Laut? Ini Salah Kaprah Hukum Laut

Jakarta 13 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

 

Belum reda gema keberhasilan perdamaian Aceh yang telah berjalan hampir dua dekade, publik kembali diguncang dengan kabar mengejutkan: empat pulau yang selama ini berada dalam wilayah Kabupaten Aceh Singkil, Provinsi Aceh, diklaim masuk ke wilayah Sumatera Utara. Alasan yang disampaikan oleh Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) sungguh mengherankan—karena “belum adanya batas laut yang definitif.” Pernyataan ini tidak hanya menyesatkan secara hukum, tetapi juga berpotensi merusak tatanan keamanan dan kepercayaan masyarakat yang selama ini telah terjaga.

Laut Tidak Bisa Dimiliki Daerah

Perlu ditegaskan bahwa laut bukan objek yang dapat dimiliki oleh provinsi atau kabupaten. Menurut United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) 1982, dan juga dalam sistem hukum nasional Indonesia, laut adalah domain publik nasional yang berada di bawah wewenang pemerintah pusat. Yang dapat dimiliki, dipetakan, dan ditentukan batasnya hanyalah wilayah daratan atau pulau, bukan laut terbuka.

Bahkan dalam UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan, pengelolaan ruang laut merupakan kewenangan eksklusif pemerintah pusat, bukan daerah. Jadi, menjadikan alasan “belum ada batas laut” untuk memindahkan pulau dari satu provinsi ke provinsi lain adalah salah kaprah hukum laut yang sangat fatal.

Yang Dipertaruhkan Lebih dari Sekadar Garis Peta

Empat pulau yang dimaksud—Pulau Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Tokong Nenek—selama ini dikelola, dilayani, dan diawasi oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil. Tidak ada kekacauan, tidak ada ketegangan. Semua berjalan baik dalam kerangka perdamaian pasca konflik yang telah dibangun dengan susah payah sejak MoU Helsinki 2005 dan dikokohkan melalui UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

Dengan demikian, memindahkan wilayah tersebut tanpa proses legislasi, tanpa persetujuan rakyat Aceh, tanpa konsultasi dengan DPR Aceh, adalah tindakan yang tidak hanya ceroboh, tetapi juga melukai keadilan prosedural dan substansial.

Implikasi Keamanan yang Diabaikan

Dalam konteks keamanan, wilayah perbatasan yang stabil adalah prasyarat mutlak. Kebijakan sepihak seperti ini hanya akan menciptakan ketegangan baru. Apa yang selama ini damai bisa berubah menjadi potensi konflik horizontal. Pemerintah pusat semestinya menjaga harmoni, bukan menciptakan friksi administratif yang bisa berkembang menjadi ketegangan sosial dan politik.

Jangan Rusak Perdamaian karena Peta yang Keliru

Aceh adalah daerah yang memiliki otonomi khusus, dijamin oleh perjanjian internasional dan undang-undang nasional. Pemindahan empat pulau dengan alasan “batas laut” jelas bertentangan dengan semangat rekonsiliasi dan penghormatan terhadap kekhususan Aceh. Jika ini dibiarkan, bukan tidak mungkin akan membuka ruang delegitimasi terhadap kesepakatan damai dan memperlebar jurang antara pusat dan daerah.

Pemerintah pusat, dalam hal ini Kemendagri, seharusnya meluruskan kebijakan ini dan menghentikan proses pemindahan wilayah yang tidak berdasarkan hukum. Alih-alih memaksakan alasan teknis yang keliru, yang dibutuhkan adalah pendekatan dialogis, partisipatif, dan menghormati hukum yang berlaku. Karena jika keadilan dan hukum mulai dikalahkan oleh peta dan birokrasi, maka bukan hanya pulau yang hilang, tetapi juga kepercayaan rakyat.

*)KABAIS TNI 2011-2013

 

Keputusan Mendagri Soal Empat Pulau: Ancaman Senyap terhadap Perdamaian Aceh

Keputusan Mendagri Soal Empat Pulau: Ancaman Senyap terhadap Perdamaian Aceh

Jakarta 13 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM,CPARB*)

Ketika konflik Aceh resmi berakhir pada 15 Agustus 2005 dengan ditandatanganinya Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), dunia menyambutnya sebagai kemenangan diplomasi atas peluru. Namun, perdamaian sejati tidak hanya diukur dari berhentinya senjata, melainkan dari konsistensi negara dalam menghormati komitmen hukum dan politik yang telah disepakati. Sayangnya, salah satu keputusan administratif terbaru dari pemerintah pusat justru berpotensi menjadi batu sandungan bagi perdamaian jangka panjang di Aceh.

Pada tahun 2025, Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia menerbitkan Keputusan Nomor SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 Tahun 2025, yang menetapkan bahwa empat pulau kecil—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—yang selama ini menjadi bagian dari Kabupaten Aceh Singkil, dialihkan ke wilayah administratif Kabupaten Tapanuli Tengah, Provinsi Sumatera Utara. Keputusan ini, meski tampak administratif, sesungguhnya bertentangan secara fundamental dengan MoU Helsinki dan UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Menabrak MoU Helsinki

MoU Helsinki dalam butir 1.1.2 dengan tegas menyatakan:

"Wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah yang selama ini dikenal sebagai Provinsi Aceh, termasuk wilayah administrasi kabupaten/kota yang ada."

Dengan redaksi tersebut, wilayah Aceh dikunci berdasarkan wilayah administratif yang berlaku saat MoU ditandatangani. Empat pulau yang kini dipindahkan jelas berada dalam wilayah administratif Aceh pada tahun 2005. Maka, keputusan Mendagri untuk mengeluarkan pulau-pulau tersebut dari Aceh jelas melanggar semangat dan isi kesepakatan damai internasional.

Melanggar UU Pemerintahan Aceh

Lebih lanjut, Pasal 4 UU No. 11 Tahun 2006 menyatakan:

“Wilayah Aceh meliputi seluruh wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas darat, laut, dan udara, serta seluruh kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.”

Penjelasan pasal tersebut mempertegas bahwa wilayah dimaksud adalah wilayah administratif Aceh pada saat undang-undang mulai berlaku. Artinya, setiap perubahan wilayah Aceh harus melalui mekanisme hukum yang sah dan melibatkan Pemerintah Aceh serta DPRA (Dewan Perwakilan Rakyat Aceh). Pemindahan sepihak oleh Mendagri adalah tindakan non konstitusional dan ultra vires (melampaui kewenangan).

Ancaman Politik terhadap Perdamaian

Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, keputusan ini berpotensi menciptakan kegaduhan politik dan ketegangan sosial:

Menggerus kepercayaan masyarakat Aceh terhadap komitmen pemerintah pusat.

Membuka ruang politisasi isu wilayah yang dapat dimanfaatkan kelompok tertentu untuk membangkitkan narasi separatis.

Mengguncang legitimasi MoU Helsinki, yang selama ini menjadi landasan kepercayaan antara Jakarta dan Banda Aceh.

Pemerintah pusat seharusnya belajar dari sejarah konflik Aceh, bahwa ketidakadilan administratif dapat menjadi percikan awal ketegangan yang lebih besar.

Kepmendagri Harus Dibatalkan

Secara hukum, Keputusan Menteri tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang dan perjanjian damai yang diakui secara nasional dan internasional. Dalam asas hukum:

Lex superior derogat legi inferiori – aturan yang lebih tinggi mengesampingkan yang lebih rendah.

Pacta sunt servanda – perjanjian harus dihormati.

Oleh karena itu, Keputusan Mendagri Nomor SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025 harus segera dicabut atau dibatalkan. Pembiaran atas keputusan ini sama saja dengan mengoyak kain perdamaian yang telah dijahit dengan susah payah.

Penutup

Perdamaian bukan sekadar kata dalam dokumen, melainkan komitmen yang harus dijaga dengan tindakan yang konsisten dan adil. Dalam konteks Aceh, menjaga batas wilayah sebagaimana disepakati dalam MoU dan UUPA bukan sekadar masalah teritorial, tapi soal harga diri dan penghormatan terhadap janji negara.

Jangan sampai kepentingan administratif jangka pendek mengorbankan stabilitas jangka panjang dan kepercayaan yang telah dibangun dengan darah, air mata, dan diplomasi. Jakarta harus mendengar, sebelum Aceh kembali bersuara dengan caranya sendiri.

*)Kabais TNI 2011-2013

 

Empat Pulau Itu Milik Aceh: Suara Sejarah dari Tahun 1853

Empat Pulau Itu Milik Aceh: Suara Sejarah dari Tahun 1853

Jakarta 12 Juni 2025

Oleh: Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB*)

 Ketika Menteri Dalam Negeri menetapkan empat pulau—Mangkir Besar, Mangkir Kecil, Lipan, dan Panjang—sebagai bagian dari Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, melalui SK No. 300.2.2-2138 Tahun 2025, saya merasa ada yang luput. Keputusan administratif yang hanya disandarkan pada teknologi spasial modern ternyata mengabaikan sesuatu yang jauh lebih tua, lebih dalam, dan lebih bermakna yaitu Sejarah.

Sebagai seorang yang menghormati hukum dan mencintai arsip, saya menelusuri akar sejarah empat pulau tersebut. Hasilnya mengejutkan—dan tidak bisa dibantah: empat pulau itu sejak abad ke-19 adalah bagian dari wilayah Aceh.

Bukti Tertulis: Peta Kolonial Hermann von Rosenberg (1853)

Pada peta resmi yang dibuat oleh Hermann von Rosenberg pada tahun 1853, seorang kartografer Hindia Belanda yang mendokumentasikan wilayah Distrik Singkil, dengan tajuk "Kaart van het District Singkel", keempat pulau tersebut terang-terangan digambarkan dalam wilayah administratif Aceh Singkil. Peta itu bukan fiksi. Ia diterbitkan dalam jurnal ilmiah resmi pemerintah kolonial, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië, dan kini disimpan di KITLV Leiden.

Ini bukan sekadar peta tua. Ini adalah dokumen negara kolonial yang menunjukkan bahwa bahkan dari segi pemerintahan Belanda, pulau-pulau itu adalah bagian dari Aceh. Jika negara ini menghormati arsip kolonial dalam hal batas wilayah lainnya, mengapa untuk kasus Aceh ini diabaikan?

Dokumen Agraria 1965 dan Kesepakatan Gubernur 1992

Jejak sejarah tidak berhenti di tahun 1853. Tahun 1965, Kepala Inspeksi Agraria Aceh Selatan secara resmi mencatat keempat pulau itu sebagai bagian wilayah Aceh. Kemudian, pada 1992, Gubernur Aceh dan Gubernur Sumut menandatangani kesepakatan batas laut yang juga memasukkan keempat pulau tersebut dalam zona Aceh.

Inilah kontinuitas hukum dan administratif yang tidak boleh diputus hanya karena teknologi GIS menunjukkan garis berbeda. Sejarah bukan algoritma, ia berdiri karena jejak nyata.

Fakta Fisik: Aceh Hadir di Pulau Itu

Di Pulau Panjang dan Mangkir, terdapat tugu batas bertuliskan “Kabupaten Aceh Singkil”, dermaga yang dibangun dengan APBA Aceh, dan tenaga medis dari Dinas Kesehatan Aceh. Penduduk setempat membayar pajak ke Aceh. Lalu mengapa hari ini pulau itu tiba-tiba masuk Sumatera Utara?

Jika negara ini menjadikan “kehadiran administratif” sebagai ukuran, maka Aceh telah lama hadir di sana—bukan hanya lewat peta, tapi juga lewat pengabdian.

Saya Bertanya kepada Negara :

Apakah kehadiran administratif bisa menghapus sejarah? Apakah garis satelit bisa membatalkan tugu sejarah? Apakah keberadaan Aceh selama lebih dari satu abad bisa digusur oleh satu surat keputusan?

Saya tidak menolak teknologi. Tapi saya menolak ketika teknologi melupakan sejarah.

Saatnya Menghormati Jejak Lama

Empat pulau itu bukan sekadar gugusan karang. Mereka adalah warisan, marwah, dan tapal batas sejarah Aceh. Negara yang adil adalah negara yang menghormati arsipnya sendiri. Dan saya percaya, Aceh tidak sedang menuntut lebih. Aceh hanya ingin agar sejarahnya tidak dicabut dari peta.

*)Kabais TNI 2011-2013

11 Juni 2025

SURAT TERBUKA UNTUK YTH. JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

 SURAT TERBUKA UNTUK YTH. JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA

Perihal: Permohonan Pengambilalihan Penanganan Kasus Pagar Laut Tangerang oleh Kejaksaan Agung

Dengan hormat,

Kami, bagian dari masyarakat yang menjunjung tinggi integritas penegakan hukum, menyampaikan keprihatinan mendalam atas sikap Polri yang bersikeras tidak menemukan unsur korupsi dalam kasus proyek Pagar Laut Tangerang, sebagaimana diberitakan oleh Tribunnews Banjarmasin, 18 April 2025.

Padahal, Presiden Republik Indonesia telah secara terbuka memerintahkan agar kasus ini diusut hingga ke akar-akarnya. Ketika lembaga penegak hukum enggan menindaklanjuti perintah Presiden dan tidak responsif terhadap dugaan penyalahgunaan keuangan negara, maka diperlukan tindakan korektif yang tegas dan konstitusional.

Dengan ini, kami meminta kepada Jaksa Agung Republik Indonesia untuk mengambil alih penanganan perkara ini, berdasarkan kewenangan yang sah dan didukung oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dasar Hukum:

1.         Pasal 30 ayat (1) huruf d UU No. 16 Tahun 2004 jo. UU No. 11 Tahun 2021 tentang Kejaksaan RI:

            “Kejaksaan memiliki wewenang melengkapi berkas perkara tertentu dan untuk itu            dapat melakukan pemeriksaan tambahan sebelum dilimpahkan ke pengadilan.”

2.         Pasal 39 UU Kejaksaan RI:

            “Dalam hal terdapat alasan yang sah, Jaksa Agung dapat mengambil alih penyidikan       dari penyidik instansi lain.”

Alasan sah tersebut dapat berupa:

            1.         Tidak dilaksanakannya penyidikan secara objektif;

            2.         Mandeknya proses hukum;

            3.         Adanya konflik kepentingan atau tekanan politik;

            4.         Tuntutan masyarakat untuk keadilan.

3.         Putusan Mahkamah Konstitusi No. 006/PUU-I/2003 dan No. 130/PUU-XIII/2015:

            MK menegaskan bahwa Kejaksaan adalah lembaga penegak hukum yang independen dan berwenang penuh dalam proses penuntutan dan penyidikan untuk menjamin keadilan substantif.

4.         Asas Dominus Litis dalam Hukum Acara Pidana:

Menempatkan Kejaksaan sebagai pemegang kendali utama dalam proses pidana. Bila penyidikan oleh Polri tidak berjalan, Kejaksaan wajib mengambil langkah hukum demi penegakan keadilan.

Permohonan Kami:

Dengan dasar hukum tersebut, kami mendorong Yth. Jaksa Agung Republik Indonesia untuk:

   1.       Mengambil alih penanganan kasus Pagar Laut Tangerang dari Kepolisian;

   2.       Membentuk tim jaksa penyidik khusus yang independen dan transparan;

   3.       Menindaklanjuti setiap unsur dugaan korupsi dalam proyek tersebut hingga                      ke aktor intelektualnya;

   4.       Menjaga akuntabilitas kepada publik sesuai prinsip negara hukum.

Hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan institusi. Bila Polri lambat, Kejaksaan harus cepat. Bila kebenaran diabaikan, keadilan harus ditegakkan.

Kami percaya Kejaksaan Agung adalah benteng terakhir dalam memastikan uang rakyat tidak dikorupsi dan perintah Presiden tidak diabaikan.

 

JAKARTA 09 Juni 2025

Hormat kami,

Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Pemerhati Hukum / Dewan Penasehat Kongres Advokat Indonesia.

 

7 Juni 2025

"Audi et Alteram Partem": Fondasi Keadilan Proses dalam Revisi KUHAP Berdasarkan Asas Konstitusional dan Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

 "Audi et Alteram Partem": Fondasi Keadilan Proses dalam Revisi KUHAP Berdasarkan Asas Konstitusional dan Nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

KEADILAN BUKAN DATANG DARI KERTAS (BAP), MELAINKAN DARI SUARA MANUSIA YANG BERANI BERBICARA DI HADAPAN HUKUM.

Jakarta 7 Juni 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B. Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Pendahuluan

Salah satu prinsip paling mendasar dalam hukum acara pidana yang adil dan beradab adalah asas audi et alteram partem, yakni “dengarkan pula pihak yang lain.” Asas ini menjadi inti dari perlindungan terhadap hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana, serta merupakan pengejawantahan dari asas due process of law. Dalam konteks hukum acara pidana Indonesia, asas ini seharusnya menjiwai setiap tahapan pemeriksaan, mulai dari penyidikan hingga putusan pengadilan.

Namun demikian, Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) yang tengah dibahas saat ini masih menyisakan persoalan serius dalam penerapan asas ini, terutama terkait kedudukan dan penggunaan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) oleh hakim dalam proses pembuktian. Celah hukum yang memungkinkan hakim untuk membaca dan mendasarkan putusan pada BAP yang belum diuji secara kontradiktif dalam persidangan berpotensi menabrak prinsip audi et alteram partem, bahkan mengaburkan batas antara fungsi penyidik dan hakim.

I. Konsepsi Audi et Alteram Partem dalam Hukum Acara Pidana

Asas audi et alteram partem, yang secara harfiah berarti “dengarkan pula pihak yang lain”, merupakan prinsip fundamental dalam sistem hukum acara pidana modern. Asas ini menjamin bahwa setiap orang yang terlibat dalam proses hukum, khususnya terdakwa, memiliki hak untuk didengar, membela diri, dan menanggapi seluruh tuduhan yang diarahkan kepadanya. Prinsip ini menjadi tiang utama dalam perlindungan hak asasi manusia, terutama hak atas peradilan yang jujur dan adil (fair trial). Dalam konteks pidana, pelaksanaan asas ini mengharuskan semua bukti dan pernyataan diperoleh dan diuji secara terbuka di hadapan pengadilan yang netral.

Dalam praktik hukum acara pidana di Indonesia, pelaksanaan asas audi et alteram partem masih menghadapi tantangan serius, terutama dengan diberikannya ruang yang terlalu luas bagi hakim untuk menjadikan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebagai dasar pertimbangan hukum. BAP merupakan produk satu pihak, yaitu hasil pemeriksaan penyidik terhadap tersangka dan saksi-saksi di luar persidangan, tanpa keterlibatan prinsip kontradiktor atau uji silang secara langsung. Ketika BAP dijadikan dasar pembuktian utama oleh hakim tanpa diuji ulang secara terbuka dalam sidang, maka posisi terdakwa menjadi pasif dan kehadirannya di persidangan tidak lebih dari formalitas.

Praktik semacam ini secara substansial bertentangan dengan asas audi et alteram partem, karena menjadikan proses persidangan hanya sebagai verifikasi administratif terhadap dokumen pra-sidang. Padahal, substansi dari asas ini adalah agar hakim memperoleh keyakinan dari proses pemeriksaan terbuka yang melibatkan kedua belah pihak secara aktif. Ketika hanya satu sisi narasi—yakni versi penyidik dalam BAP—yang mendominasi, maka ruang klarifikasi, pembelaan, dan pencarian kebenaran materiil menjadi tertutup. Hal ini bertolak belakang dengan cita-cita keadilan dalam hukum acara pidana. Bahkan saya pernah mengalami sendiri dimana putusan hakim hanya menggunakan BAP saja. Fakta persidangan sama sekali tidak disentuh, padahal hukumn yang dijatuhkan adalah hukuman mati. Menyedikan !!! Apakah hal seperti ini masih perlu dipertahankan ???

Oleh karena itu, dalam revisi KUHAP mendatang, asas audi et alteram partem harus dikukuhkan secara eksplisit sebagai prinsip dasar yang mengikat semua tahapan proses peradilan pidana. Hakim harus ditegaskan hanya boleh membentuk keyakinan berdasarkan pembuktian di persidangan, bukan dokumen penyidikan. Semua alat bukti harus diuji secara terbuka dan kontradiktif. Dengan demikian, peradilan pidana di Indonesia tidak hanya menjunjung keadilan formal, tetapi juga menghadirkan keadilan substantif yang menghormati hak setiap warga negara untuk didengar secara setara di hadapan hukum.

II. Dukungan Normatif dari Al-Qur’an dan Alkitab 

Sebagai negara yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, penerapan prinsip keadilan dalam hukum nasional tidak dapat dilepaskan dari nilai-nilai agama. Prinsip audi et alteram partem sesungguhnya juga memiliki dasar normatif yang kuat dalam kitab suci umat Islam dan Kristen:

1.         Ayat Al-Qur’an:

            Surah Al-Hujurat (49): 6

            “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu        berita, maka periksalah dengan teliti...”

Ayat ini menjadi landasan kuat bahwa tidak boleh ada keputusan yang diambil berdasarkan satu sumber informasi tanpa verifikasi. Artinya, BAP sebagai dokumen sepihak tidak boleh langsung diyakini oleh hakim tanpa diuji dalam persidangan.

            Surah Al-Isra’ (17): 36

            “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan                           tentangnya...”

Ini memperingatkan agar hakim tidak menjatuhkan vonis tanpa dasar pengetahuan yang sah dan diuji, yakni melalui pembuktian terbuka, bukan hanya dokumen tertulis dari penyidik.

2.         Ayat Alkitab:

            Amsal 18:13

            “Jikalau seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan                             kecelaannya.”

Prinsip mendengar kedua belah pihak menjadi terang: keputusan tanpa mendengar sepenuhnya adalah bentuk kezaliman.

            Yohanes 7:51

            “Apakah hukum kita menghukum seseorang, sebelum ia didengar dan diketahui apa                     yang diperbuat-Nya?”

Ini adalah kutipan klasik dari asas audi et alteram partem, yang mengingatkan bahwa seseorang tidak boleh dijatuhi hukuman sebelum mendapat hak untuk didengar di forum yang sah.

III. Saran terhadap Revisi KUHAP

Untuk memperkuat jaminan atas asas audi et alteram partem dalam KUHAP yang baru, berikut adalah usulan norma dan ketentuan:

1.         Larangan Hakim Membaca dan Mengutip BAP Secara Substantif

Tambahkan pasal eksplisit yang melarang Majelis Hakim menjadikan BAP sebagai dasar keyakinan, kecuali untuk hal administratif (identitas, tanggal, lokasi pemeriksaan). Penggunaan BAP hanya boleh menjadi bahan perdebatan antara jaksa dan penasihat hukum.

2.         Bukti Sah Hanya yang Diperiksa di Persidangan

KUHAP harus menegaskan bahwa satu-satunya alat bukti yang sah untuk membentuk keyakinan hakim adalah yang diperoleh dan diuji secara terbuka dalam persidangan di hadapan semua pihak.

3.         Penguatan Peran Kontradiktor dan Hak Pembelaan

Perlu ditegaskan bahwa setiap alat bukti harus mendapat ruang untuk dikonfrontasi oleh terdakwa dan penasihat hukumnya. Tidak boleh ada bukti satu arah yang diterima tanpa diuji silang.

4.         Penegasan Pemisahan Fungsi: Penyidik ≠ Hakim

RUU KUHAP harus menyatakan bahwa hakim tidak berwenang melakukan pemeriksaan ulang terhadap BAP atau menyimpulkan fakta dari dokumen penyidikan. Hakim hanya menilai apa yang terungkap dan dibuktikan dalam ruang sidang.

Penutup.

Prinsip audi et alteram partem bukan sekadar asas prosedural, melainkan nilai keadilan substantif yang dijamin oleh agama dan konstitusi khususnya sila Ketuhanan Yang Mah Esa. Dalam revisi KUHAP ke depan, semestinya asas ini dijadikan salah satu fondasi utama agar proses hukum benar-benar mencerminkan keadilan yang sejati berdasarkan Pancasila dan UUD 45..

Sebab, Keadilan bukan datang dari kertas (BAP), melainkan dari suara manusia yang berani berbicara di hadapan hukum.

 

 

6 Juni 2025

Masa Kelabu Setelah KUHAP Disahkan: Ketika Petunjuk dan Keterangan Ahli Menjadi Alat Utama untuk Menghukum

Masa Kelabu Setelah KUHAP Disahkan: Ketika Petunjuk dan Keterangan Ahli Menjadi Alat Utama untuk Menghukum

Jakarta 6 Juni 2025

Oleh : Laksda TNI (Purn) Soleman B Ponto, ST, SH, MH, CPM, CPARB

Revisi Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) membuka pintu lebar bagi hakim untuk menjatuhkan hukuman hanya dengan dua alat bukti apa pun yang diikuti oleh keyakinan subjektif hakim. Petunjuk (circumstantial evidence) dan keterangan ahli kini dapat berdiri berdampingan dan cukup kuat untuk menghantar seseorang ke balik jeruji, meskipun tanpa saksi langsung, tanpa bukti materiel yang pasti.

Contoh yang paling mencolok adalah kasus Jessica Kumala Wongso dalam perkara kematian Wayan Mirna Salihin tahun 2016. Dalam kasus itu, tak ada saksi yang melihat langsung Jessica memasukkan racun. Tidak ditemukan sidik jari, tidak ditemukan rekaman saat racun dimasukkan ke dalam gelas. Namun Jessica tetap dijatuhi hukuman penjara 20 tahun. Dasarnya? Analisa ahli forensik, psikolog forensik, serta rekaman CCTV yang ditafsirkan sebagai petunjuk — tanpa konfirmasi faktual yang pasti. Inilah contoh penghukuman berbasis opini dan asumsi. Jika KUHAP baru diberlakukan dengan mekanisme ini, maka kasus Jessica akan menjadi pola, bukan pengecualian.

Lebih jauh lagi, sistem pembuktian seperti ini tidak hanya merusak keadilan secara yuridis, tapi juga melanggar nilai-nilai dasar negara Indonesia, yakni Pancasila, serta bertentangan dengan ajaran moral agama. Berikut adalah analisis setiap sila Pancasila, disandingkan dengan ayat  Al-Qur’an dan  Alkitab untuk menunjukkan bahwa penghukuman tanpa kepastian adalah penghinaan terhadap iman, akal sehat, dan martabat bangsa.

1.         Sila Pertama – Ketuhanan Yang Maha Esa

   Al-Qur’an – QS An-Nur (24): 4

            “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita baik… tidak mendatangkan empat                         orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali.”

   Alkitab – Ulangan 19:15

            “Satu orang saksi saja tidak cukup untuk menyatakan bersalah seseorang… harus                         ada dua atau tiga saksi.”

 Analisis:

Jika penghukuman dilakukan hanya karena keyakinan pribadi hakim atas hasil tafsir petunjuk dan pendapat ahli, itu bertentangan dengan ajaran kitab suci. Hukum yang berlandaskan iman tidak memperbolehkan vonis tanpa pembuktian yang pasti dan adil. KUHAP baru telah membuka jalan penghukuman yang tidak mencerminkan nilai Ketuhanan Yang Maha Esa.

 

2.       Sila Kedua – Kemanusiaan yang Adil dan Beradab

    Al-Qur’an – QS Al-Isra’ (17): 36

            “Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai ilmu tentangnya…”

            Alkitab – Amsal 17:15

            “Membenarkan orang fasik dan mempersalahkan orang benar, kedua-duanya adalah                   kekejian bagi TUHAN.”

Analisis:

Penghukuman tanpa dasar bukti yang pasti adalah bentuk perlakuan yang tidak adil. Ia merusak kemanusiaan. Sistem ini memungkinkan seseorang dipenjara berdasarkan tafsir yang tidak dapat diverifikasi secara objektif. Ini menggugurkan asas peradaban hukum dan mengkhianati sila kemanusiaan yang adil dan beradap.

3.       Sila Ketiga – Persatuan Indonesia

   Al-Qur’an – QS Ali Imran (3): 103

            “Berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu                           bercerai-berai…”

            Alkitab – 1 Korintus 1:10

            “Supaya kamu seia sekata dan jangan ada perpecahan di antara kamu…”

Analisis:

Hukum yang diskriminatif, apalagi bisa dimanipulasi oleh yang punya akses ke ahli, akan memecah bangsa. Rakyat tidak akan percaya lagi kepada institusi hukum. Jika masyarakat kecil merasa hukum hanya berpihak kepada yang kuat, maka persatuan menjadi ilusi. RUU KUHAP yang melegitimasi tafsir subjektif dalam penghukuman akan menghancurkan kohesi nasional.

4.         Sila Keempat – Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan

   Al-Qur’an – QS Asy-Syura (42): 38

            “...dan (bagi) orang-orang yang urusan mereka diputuskan dengan musyawarah…”

            Alkitab – Amsal 15:22

            “Rancangan gagal kalau tidak ada pertimbangan, tetapi terlaksana kalau penasihat                     banyak.”

Analisis:

Vonis pidana seharusnya lahir dari pertimbangan yang bijak, kolektif, dan terbuka. Tapi KUHAP baru menyerahkan semuanya pada “keyakinan hakim”. Ini menjadikan hakim sebagai penafsir tunggal kebenaran, bukan pemimpin musyawarah. Dampaknya adalah absolutisme hukum yang menjauh dari nilai demokrasi dan hikmah.

Sila Kelima – Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia

    Al-Qur’an – QS An-Nisa (4): 135

            “Tegakkanlah keadilan walaupun terhadap dirimu sendiri, ibu bapa, atau kerabatmu…”

            Alkitab – Imamat 19:15

            “Janganlah kamu berbuat curang dalam peradilan... adililah sesamamu dengan    kebenaran.”

Analisis:

Yang kuat bisa bayar banyak ahli. Yang lemah tidak. Bila opini ahli dijadikan alat bukti utama, maka keadilan hanya milik mereka yang mampu. KUHAP baru, bila tidak direvisi, akan meresmikan ketimpangan dalam peradilan. Maka keadilan sosial akan berubah menjadi slogan kosong belaka.

Penutup: Ketika KUHAP Bertentangan dengan Dasar Negara

Revisi KUHAP yang membolehkan hakim menjatuhkan pidana hanya dengan dua alat bukti apa pun, termasuk petunjuk (circumstantial evidence) dan keterangan ahli, bukan hanya berisiko melahirkan penghukuman yang tidak pasti dan tidak adil, tetapi juga telah melanggar ketentuan dasar negara Indonesia.

Pertama, KUHAP baru bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat, yang menyatakan bahwa tujuan negara adalah “melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia” — bukan menghukum warganya atas dasar dugaan dan asumsi.

Kedua, ketentuan ini bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan:

    “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang             adil…”

KUHAP yang membolehkan penghukuman hanya dengan petunjuk dan tafsir ahli menghilangkan kepastian hukum yang adil. Ini adalah pelanggaran terang terhadap konstitusi.

Ketiga, dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 dinyatakan bahwa:

    “Negara Indonesia adalah negara hukum.”

Tapi dengan dominasi keyakinan hakim atas bukti yang tak pasti, maka hukum berubah menjadi tafsir personal, bukan sistem objektif. Ini bukanlah praktik negara hukum, melainkan negara penafsiran—yang membuka jalan pada arbitrariness (kesewenang-wenangan).

RUU KUHAP yang disusun untuk menyempurnakan sistem hukum kita justru membawa ancaman baru: kriminalisasi berbasis dugaan. Kasus Jessica bukan akhir. Ia adalah awalan. Dengan disahkannya KUHAP seperti sekarang, masa kelabu keadilan Indonesia akan bermula.

Oleh karena itu, RUU KUHAP tidak hanya mengancam keadilan, tetapi juga mengkhianati amanat UUD 1945, nilai Ketuhanan, dan nilai kelima sila Pancasila. Maka, revisi menyeluruh terhadap sistem pembuktian dalam RUU KUHAP adalah suatu keharusan konstitusional dan kewajiban moral bangsa.